PeduliFakta.Blogspot.com - Pejuang Hak Azasi Manusia (HAM) paling kondang usai Reformasi 1998
adalah Munir Said Thalib. Bukan saja para aktivis HAM, melainkan juga
masyarakat umum sudah pasti kenal sosok fenomenal ini. Badannya tidak
begitu tinggi dibanding rata-rata tinggi badan orang Indonesia, tetapi
prestasi kerjanya jauh melampaui kinerja aktivis LSM manapun.
Pria yang akrab disapa Cak Munir itu sudah menggeluti aktivitas
keberpihakan pada kaum yang terpinggirkan, sejak ia masih mahasiswa di
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Kisah kehidupan Cak Munir
semasa mahasiswa di Malang tak pernah hilang dari ingatan para aktivis
sepanjang masa.
Karir Munir dalam membela keadilan kian intensif begitu ia menjadi
pembela hukum di LBH Surabaya. Siapapun aktivis HAM dan pembela hukum di
Surabaya dan sekitarnya bisa dipastikan mengenal Munir di awal dekade
’90-an. Selain giat membela hak-hak buruh, nelayan dan tani, Munir juga
aktif menulis di media massa. Ia kerap mengisi diskusi dan
pandangan-pandangannya sangat jernih.
Sudah bukan rahasia lagi, kegiatan LBH Surabaya serta aktivitas Munir
pun selalu dalam pemantauan aparat keamanan. Suatu ketika di tahun
1993, Cak Munir bersama rekan-rekannya di LBH harus menghadapi
kecurigaan aparat, lantaran aksi protes para buruh kian meningkat usai
kematian aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo. Pangkal kecurigaan aparat
berasal dari diskusi-diskusi yang kerap digelar di kantor LBH di Jalan
Kidal, Kota Surabaya. Namun, aparat kesulitan membuktikan kecurigaan
tersebut.
Skandal DKP
Aktivitas Cak Munir kian bertambah saat ia ditarik ke LBH Jakarta.
Terlebih setelah peristiwa penyerbuan kantor Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) di Jalan Diponegoro Jakarta pada 27 Juli 1996 dan kasus-kasus
pelanggaran HAM terus bermunculan. Dalam melakukan pembelaan, Cak Munir
kerap melakukan penelusuran dan riset. Dari riset ini, banyak fakta baru
yang diungkap Cak Munir. Seperti riset lapangan Cak Munir terhadap
kasus penculikan aktivis.
Pernyataan Munir yang termuat di Harian Kompas pada 23 Desember 1998
menyebut indikasi keterlibatan aktor-aktor lain. Munir mengikuti secara
seksama proses peradilan militer terhadap personil Tim Mawar. Dari
pengamatannya yang kritis, Munir berpendapat adanya upaya untuk
melokalisir tanggungjawab kasus penculikan tersebut. Patut diduga,
pendapat kritis ini tak pelak membuat para aktor-aktor lain yang tak
tersentuh hukum kemudian geregetan pada Munir.
Wacana penghilangan paksa para aktivis 1998 itu rupanya menarik minat
Munir untuk dijadikan bahan tesis di Universitas Utrecht Belanda pada
2004. Pria berdarah Timur Tengah itu bahkan sudah menyiapkan proposal
tesisnya. Walau kasus itu sudah lewat enam tahun, tetapi Munir agaknya
mengetahui aktor-aktor kunci dari kasus tersebut. Pengetahuan almarhum
pada peristiwa tahun 1998 sangat mendalam. Jika diuraikan dalam
persidangan akademis yang terbuka di Universitas Utrecht, maka bisa
tersingkap permainan kotor para aktor di balik penghilangan sejumlah
aktivis 1998. Rupanya, gerak-gerik Munir terus dipantau pihak-pihak yang
hendak ‘melenyapkannya’. Bahkan, sejumlah sumber di Surabaya
menyatakan, Munir telah diawasi sejak di LBH Surabaya. Munir dipandang
sebagai ancaman bagi kelangsungan rezim status quo.
Munir secara tersirat juga mengomentari keberadaan Dewan Kehormatan
Perwira (DKP). Menurutnya, penyelesaian melalui DKP bukan merupakan
langkah maju dari ABRI untuk penegakan hukum (Kompas, 25/8/1998).
Bahkan, sedari awal Munir dan Kontras menyatakan, pembentukan DKP
mendahului proses persidangan Mahkamah Militer (Mahmil) bertentangan
dengan Surat Keputusan (SK) Panglima ABRI No. 838/III/1995 tertanggal 27
November 1995 (Kompas, 6/8/1998).
Seharusnya, kata Munir, DKP dibentuk sesudah proses persidangan
mahmil, bukan sebaliknya. Saat itu, Munir juga melihat kejanggalan lain
dari DKP, karena tidak sesuai persyaratan kepangkatan tiga perwira
tinggi pemeriksa. Berbagai kejanggalan pada DKP ini kelak kemudian
mencuat kembali pada 2014, sejumlah purnawirawan bermartabat tampaknya
sepakat dengan logika Cak Munir dalam meluruskan sejarah. Namun
demikian, patut diduga, pengungkapan kejanggalan oleh Cak Munir ini bisa
meningkatkan ancaman kepada tokoh pembela HAM tersebut.
Skandal ‘Penghilangan’ Theys
Kasus penghilangan paksa lainnya yang menarik perhatian Munir adalah
tewasnya Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay pada 10
November 2001. Theys merupakan sosok yang sangat dihormati di Papua. Ia
memerjuangkan hak-hak rakyat Papua. Sebagai ketua organisasi yang
disegani, Theys mempunyai jejaring kerja yang bagus pada organisasi
lainnya.
Ketika Theys mendadak tewas di Muara Tami, Jayapura, kabar pun cepat
menyebar. Munir menepis dugaan Theys dibunuh karena urusan bisnis
(Tempo, 18/4/2002). Sebaliknya, Munir justru melihat ada kepentingan
lain dibalik penghilangan nyawa Theys. Kelak dikemudian hari, setelah
Munir tewas diracun, dalam kesaksian di persidangan kasus pembunuhan
Munir dengan terdakwa bekas Deputi V BIN Muchdi Pr di PN Jakarta Selatan
pada 16 September 2008, istri Munir, Suciwati, menunjukkan proposal
tesis (Detik, 16/9/2008). Proposal itu menukil tema sangat sensitif
dalam pelaksanaan HAM di Indonesia dan bakal diuji dalam forum akademis
di Universitas Utrecht Belanda.
Sebagai aktivis Kontras, Munir tentu mencermati seksama proses
pemeriksaan dalam kasus pembunuhan Theys di Papua itu. Sejumlah perwira
Kopassus sedang diperiksa Puspom TNI, meski sempat tersendat-sendat,
tetapi pemeriksaan jalan terus. Laporan harian The Jakarta Post pada 27
Juli 2002 menyebut sebuah surat dari seorang purnawirawan bernama Agus
Zihof kepada Kepala Staf TNI-AD Jenderal Ryamizard Ryacudu. Agus adalah
ayah Kapten Rianaldo, salah seorang perwira terperiksa. Dalam suratnya,
Agus menyatakan putranya telah ditekan menantu Kepala BIN saat itu Abdul
Makhmud Hendropriyono (AM Hendropriyono), yaitu Mayor Andika Perkasa,
agar mengakui pembunuhan terhadap Theys.
The Jakarta Post bahkan menuliskan, Mayor Andika Perkasa
mengiming-iming sebuah jabatan kelak kepada Rianaldo di jajaran BIN.
Sayangnya, Komandan Puspom TNI Brigjen Hendardji Supandji saat itu
menegaskan tidak akan menanyakan kebenaran laporan Agus Zihof itu kepada
Andika Perkasa.
Sementara itu, nama Andika Perkasa rupanya juga mencuat ke publik
dari pengakuan Muchyar Yara dalam kasus penangkapan teroris Umar Faruq
pada 5 Juni 2002 di Masjid Jami’ Bogor (Majalah TEMPO Edisi 25 November –
1 Desember 2002, hal.69-87). Penangkapan Faruq diduga kuat melibatkan
operasi CIA di Indonesia. Laporan dari situs Open Society tahun 2013
melansir program penangkapan terduga teroris yang dikomandani CIA pada
2002. Untuk Indonesia, tulis laporan tersebut kembali menyebut
keterlibatan Kepala BIN saat itu, AM Hendropriyono dalam program ini.
Kiprah AM Hendropriyono
Abdul Makhmud Hendropriyono menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen
Nasional dari 9 Agustus 2001 – 8 Desember 2004. Pria yang akrab disapa
Hendropriyono itu merupakan putra pasangan Nurrina dan Raden Mas Wahyani
Mangkuprabowo. Meskipun Nurrina berasal dari Kalimantan Selatan, tetapi
ia bertemu jodoh dengan seorang ningrat dari Yogyakarta, kota kelahiran
Hendropriyono. Namun, Hendropriyono justru menjalani pendidikan formal
di Kota Jakarta.
Hendropriyono merupakan anak ketiga dari pasangan Nurrina-RM Wahyani
Mangkuprabowo. Ada enam saudara kandung dari Hendropriyono, yakni
Susetyo Prabowohadi (menikah dengan Endang Suheni, pasangan ini sudah
meninggal, Endang meninggal pada 21 Maret 2013), Setioadji, Aryono Setyo
Prabowo, Ratna Siti Sundari, Sri Haerulia Priswati dan Djati Nuswanto.
Dalam situs PT Rekayasa Industri (PT Rekind) yang berkantor di
Jakarta terdapat nama Aryono Susetyo Prabowo, yang ikut hadir dalam
penandatanganan memorandum kesepahaman (MoU) antara PT Rekind dan
Iranian Offshore Engineering and Construction Company (IOEC) pada 15
November 2007. IOEC merupakan perusahaan konstruksi asal Iran. Dan si
bungsu Djati Nuswanto kini bergabung dengan Hendropriyono Corporation
Indonesia yang berlokasi di Gedung Artha Graha Jakarta.
Dari hasil pernikahannya dengan Endang Sari Hartati, Hendropriyono
dikaruniai tiga anak. Mereka adalah Diah Erwiani Hendropriyono, Roni
Hendropriyono dan Diaz Hendropriyono. Si sulung Diah Erwiani kemudian
menikah dengan Andika Perkasa, perwira Kopassus yang kini berpangkat
Brigjen dan menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI-AD.
Pasangan itu kemudian memperoleh buah hati bernama Wiratama Akbar
Perkasa. Belakangan, nama Diaz dan Andika banyak diekspos media massa
terkait ramainya pemberitaan seputar pilpres dan isu Babinsa. Panglima
TNI Jenderal Moeldoko tampak berseberangan dengan rilis atas nama
Brigjen Andika Perkasa dalam situs resmi TNI AD.
Dalam situs tertanggal 8 Juni 2014 itu, Brigjen Andika menulis
institusi TNI AD sudah melakukan pengusutan dan menetapkan Koptu
Rusfandi dan Kapten Saliman dari Koramil Gambir telah melakukan
pelanggaran disiplin. Padahal, ketentuan pelanggaran terhadap
penyelenggaraan pemilu merupakan kewenangan Badan Pengawas Pemilu
(Bappilu). Bukan menjadi kewenangan TNI-AD.
Akibatnya, rilis yang diunggah Brigjen Andika dan ditulis ulang
sejumlah media massa itu bisa menimbulkan penafsiran, Babinsa memang
bersalah serta tak netral. Namun, hanya berselang dua jam setelah rilis
itu, Panglima TNI Jenderal Moeldoko menggelar jumpa pers dan menyatakan
Bappilu telah menegaskan TNI masih netral.
Peneliti Center For Democracy and Sosial Justice Studies (CeDSoS)
Umar Abduh menyatakan, masih ada hubungan kuat antara Hendropriyono dan
Andika Perkasa (rmol.com, 10/6/2014). Namun, ketika diwawancara
Gatranews (10/6/2014), Brigjen Andika enggan menanggapi soal hubungannya
dengan AM Hendropriyono.
Para aktivis HAM di Indonesia tentu tidak akan pernah lupa pada
aktivitas intelijen Hendropriyono sepanjang Orde Baru berkuasa.
Khususnya dalam tragedi berdarah Talangsari, Lampung, pada 7 Februari
1989. Ketika itu, Hendropriyono menjabat sebagai Komandan Resor Militer
043/Garuda Hitam Lampung.
Pembantaian di Talangsari itu tak bisa terliput media massa, karena
akses ke lokasi seusai peristiwa sangat sulit. Para insan pers lebih
diarahkan sesuai petunjuk Danrem saat itu, yang memberikan informasi
sesuai selera penguasa. Keterangan Hendropriyono menjadi satu-satunya
informasi tentang peristiwa Talangsari. Peristiwa itu membuat nama
Hendropriyono justru melambung, naik pangkat jadi Brigjen dan ia masuk
ke lingkungan Badan Intelijen Strategis (Bais) ABRI, menempati posisi
sebagai Direktur D (penggalangan).
Hubungan Benny Moerdani dengan Hendropriyono tentu sangat akrab. Hal
ini terungkap dari memoar politik Jusuf Wanandi berjudul ‘Menyibak Tabir
Orde Baru’ (Februari 2014). Sekitar tahun 1993, menjelang Kongres Luar
Biasa (KLB) PDI di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, pada 2-6 Desember
1993, Benny Moerdani diam-diam mendorong Hendropriyono dan Agum Gumelar
agar mengawal Megawati supaya terpilih.
Baik Hendropriyono maupun Agum Gumelar sebenarnya harus mengikuti
jalur komando di bawah Kepala Bais Mayjen Arie Sudewo. Namun entah
mengapa, keduanya justru lebih mendengarkan instruksi Benny Moerdani.
Brigjen Agum Gumelar yang pernah menjadi ajudan Ali Moertopo berada di
Direktorat A (Keamanan Dalam Negeri) Bais, sedangkan pada saat yang sama
Hendropriyono berada di Direktorat penggalangan.
Kerja tandem dua jenderal intelijen itu pun akhirnya terbukti
berhasil mendorong Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI tahun 1993,
menggulingkan Soerjadi yang didukung pemerintah. Para aktivis PDI waktu
itu tak ada yang berani memprotes penggalangan yang dilakukan dua
jenderal ini, termasuk ketika pemerintah kemudian menggelar kongres di
Medan pada Juni 1996.
Di bawah pemerintahan Megawati (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004),
Hendropriyono kembali ke panggung politik. Ia ditunjuk sebagai kepala
BIN. Selama masa pemerintahan Megawati ini, kelompok muslim acap gencar
dicap sebagai ‘teroris’ dan ‘radikal’, meski tanpa bukti atau bukti
minim. Berbagai sumber menyebutkan hubungan Hendropriyono dengan
lembaga-lembaga intelijen Australia dan AS terjalin begitu erat dan
dekat. Tukar menukar informasi intelijen berlangsung tanpa diketahui
publik, hingga kemudian mencuat berbagai rekayasa penangkapan yang
mengikutsertakan elemen-elemen lembaga intelijen asing, seperti CIA.
Dalam sebuah acara di Hotel Satelit Surabaya sekitar awal tahun 2004,
almarhum Munir sudah mengungkapkan sinyalemennya tentang
rekayasa-rekayasa ini, meski ia belum memberikan gambaran utuh tentang
hal itu. Sayangnya, Cak Munir sudah tiada, sedangkan publik kini layak
bertanya, dimana gerangan isi koper Cak Munir yang berisi
dokumen-dokumen untuk bahan penulisan tesis itu? Jawabannya masih harus
menunggu keseriusan pemerintah menuntaskan masalah pembunuhan Munir
tersebut. TIM
(Yudisamara.org)
Belum ada komentar untuk "Koper Cak Munir dan AM Hendropriyono"
Posting Komentar