Lagu “Yaa Thaybah” versi Syiah dan Hadad Alwi terkontaminasi dengan
bentuk kesyirikan dan ghuluw. Syirik karena memuji Ali, Hasan dan Husein
radhiallahu anhum melebihi taraf normal sampai pada titik pengagungan
laksana Tuhan. Ghuluw karena sastra yang dibawakan tidak seharusnya
disandarkan kepada manusia.
Di mana letak penuhanannya?
Ada pada 3 kalimat berikut:
Pertama,
يَا دَوَالْعيَا نَا
اِشْتَقْنَا لِكْ وَالْهَوَى نَادَانَا، وَالْهَوَى نَادَانَا
Yaa dawal’ayanaa
Wal hawaa nadaana, wal hawa nadaana
Artinya:
Wahai penyejuk mata kami. Kami telah merindukanmu dan hawa itu telah memanggil kami, dan hawa itu telah memanggil kami.
Kedua,
يَا عَلِىَّ يَاابْنَ اَ بِى طَا لِبْ
مِنْكُمُ مَصْدَرُ المَوَا هِبْ
Yaa ‘aliy yaa ibna abi thalib
Minkummashdarul mawahib
Artinya:
Wahai Ali,wahai putera Abi Thalib darimu lah sumber keutamaan.
Ketiga,
يَا تُرَ ى هَلْ ءُرَى لِى حَاجِبْ
Yaa tura hal ura liy haajib
Artinya:
Wahai engkau yang dilihat (maksudnya ‘Ali pada baris sebelumnya), apakah tirai menjadi penghalang bagiku (dari melihatmu).
Sungguh jika dilihat pada tiga kalimat di atas, nyatalah mereka kufur
kepada Allah. Tidak ada kerinduan mereka kepada Allah, mereka tidak
ingat kepada Allah ketika mengucapkan kalimat-kalimat itu. Seakan-akan
semua hidup dan mati hanya dipersembahkan untuk keluarga ‘Ali dengan
melupakan Allah.
Bagaimanapun, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
adalah manusia biasa, bukan Tuhan. Di dalam nyanyian itu sampai
disanjung sebegitu, dianggap, dari Ali lah sumber anugerah-anugerah atau
bakat-bakat atau keutamaan-keutamaan. Ini sangat berlebih-lebihan alias
ghuluw.
Rasulullah Shalallahu alaihi wassallam bersabda: “Jauhilah
olehmu ghuluw (berlebih-lebihan), karena sesungguhnya rusaknya orang
sebelum kalian itu hanyalah karena ghuluw –berlebih-lebihan– dalam
agama.” (HR Ahmad, An-Nasaai, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Ibnu Abbas,
Shahih)
Bahkan Nabi Shallallahu alaihi wassallam sendiri melarang
kita, umatnya, agar jangan terlalu berlebihan memuji dan memuja diri
beliau. Pada diri beliau yang mulia saja terlarang, apalagi pada diri
orang lain, tentu hal itu dilarang keras. Beliau bersabda:
“Janganlah kalian memuji/menyanjung aku secara berlebihan, sebagaimana
kaum Nasrani menyanjung Isa bin Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka
katakanlah ‘hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Al-Bukhari (no. 3445),
at-Tirmidzi dalam Mukhtasharusy Syamaa-il al-Mu-hammadiyyah (no. 284),
Ahmad (I/23, 24, 47, 55), ad-Darimi (II/320) dan yang lainnya, dari
Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu)
Telah bercerita
kepada kami Al Humaidiy telah bercerita kepada kami Sufyan berkata, aku
mendengar Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepadaku ‘Ubaidullah bin
‘Abdullah dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhu bahwa dia mendengar ‘Umar
radliallahu ‘anhu berkata di atas mimbar, “Aku mendengar Nabi
Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: ‘Janganlah kalian melampaui
batas dalam memujiku (mengkultuskan) sebagaimana orang Nashrani
mengkultuskan ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka
itu katakanlah ‘abdullahu wa rasuuluh (hamba Allah dan utusan-Nya”).
(HR. Bukhari)
Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami
dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan
putera sayyid kami!’ Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa
(wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syaithan, aku (tidak
lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka
kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah
Allah berikan kepadaku.” (HR. Ahmad (III/153, 241, 249), an-Nasa-i
dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 249, 250) dan al-Lalika-i dalam
Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlussunnah wal Jamaa’ah (no. 2675). Sanadnya
shahih dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu)
Ali
radhiallahu anhu sendiri pernah disikapi seperti itu. Abdullah bin
Saba’, pendeta Yahudi dari Yaman yang pura-pura masuk Islam, bekata
kepada Ali: “Engkau lah Allah”. Maka Ali bermaksud membunuhnya, namun
dilarang oleh Ibnu Abbas. Kemudian Ali cukup membuangnya ke Madain
(Iran). Dalam riwayat lain, Abdullah bin Saba’ disuruh bertaubat namun
tidak mau. Maka ia lalu dibakar oleh Ali (dalam suatu riwayat). (lihat
Rijal Al-Kusyi, hal 106-108, 305; seperti dikutip KH Drs Moh Dawam
Anwar, Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI Jakarta, cetakan II, 1998, hal
5-6)
Rupanya antek-antek Abdullah bin Saba’ kini berleluasa
menyebarkan missinya. Kelompok yang oknum-oknumnya diakui sebagai para
pendukung tersebarnya aliran sesat di Indonesia itu juga merupakan
kelompok yang ghuluw dalam menyanjung Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Contohnya adalah nyanyian mereka dalam pengajian-pengajian
yang dikenal dengan nyanyian Ya Robbi bil Mushtofaa yang juga salah satu
lagunya Hadad Alwi.
Adakah fatwa Ulama tentang lagu ini?
Tentang lagu ini sudah dikomentari oleh Syaikh Sholih Ibn Sa’ad Al-Suhaimi dan Syaikh Ubad Al-Jabri yang dapat dibaca di http://alfirqatunnajiyyah.blogspot.com/…/02/yaa-thoybah.html
Selain lagu “Yaa Thaybah” ini, lagu-lagu Hadad Alwi yang lainnya juga
banyak mengandung unsur Syiah seperti “Ya Rabbibil Mustafa”, “Ummiy”,
dan bahkan dalam videonya juga terdapat batu karbala yang digunakan
sebagai atribut ritual Syiah sebagaimana dalam video klip “Yaa Thaybah”
di atas.
Wallahu’alam.
(banan/arrahmah.com)
Belum ada komentar untuk "Mengapa lagu “Yaa Thaybah” versi Syiah dan Hadad Alwi ini terlarang bagi umat Islam?"
Posting Komentar