PeduliFakta.Blogspot.com -- Revolusi Mental? Itu Cara
PKI!
Istilah ‘Revolusi Mental’
ternyata memang bukan isapan jempol belaka. Istilah ini sudah digunakan oleh
Karl Marx pada pertengahan abad 19. Dalam pengantar untuk edisi kedua dari
bukunya bertajuk ‘The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte’ yang terbit pada
tahun 1869, Marx menulis: “…Outside France, this violent breach with the
traditional popular belief, this tremendous mental revolution, has been little
noticed and still less understood…” (Di luar Perancis, kekerasan ini melabrak
kepercayaan umum yang tradisional, revolusi mental yang luar biasa ini, telah
sedikit diketahui dan masih kurang dipahami). Begitu kesimpulan Marx dalam
kalimat pengantar buku tersebut. Simpulan Marx itu tentu saja menunjukkan
salah-satu inti ajaran Marx tentang kebutuhan akan pertarungan kelas.
Buku kondang Marx itu
pertama kali terbit memang pada tahun 1852. Selain Marx, ada sohib karibnya,
Frederick Engels, yang juga memberikan kata pengantar. Dibanding Marx, kata
pengantar Engels tidak begitu menukik. Ia hanya mengurai saja, apa yang terjadi
di Prancis pada masa itu. Justru kata pengantar Marx di edisi kedua (1869) yang
secara terang-terangan menyebut perlunya ‘revolusi mental’, pendobrak keyakinan
lama.
Bagi Marx, ‘revolusi
mental’ merupakan keharusan untuk menata masyarakat, dari tatanan lama menuju
ke tatanan baru yang komunistis. Marx dan para pendukungnya mendorong
terjadinya ‘revolusi mental’, yang membenturkan kelompok satu ke yang lain.
Batasnya, siapa yang ikut mentalnya direvolusi, dan siapa yang tidak.
Tak pelak, karya Marx
menjadi sumber inspirasi bagi gerakan komunis internasional. Dimulai dari
gerakan kelas pekerja pada 1864 kemudian 1889, lalu 1919, nyaris seluruh
aktivis gerakan ini bersandar pada ‘revolusi mental’. Mereka memilah siapa
kawan siapa lawan, lalu berusaha memengaruhi publik lewat agitasi propaganda. Masuk
ke masyarakat, mempengaruhi komunitas buruh, menyelusup ke pasar dan pusat
keramaian untuk memprovokasi warga. Ini bagian dari cara ‘revolusi mental’.
Walau tak harus tersurat,
tetapi cara itu tersirat dalam hampir semua karya Marx pada kurun berikutnya.
Karya-karya yang gampang dicari di berbagai situs internet dewasa ini. Sulit
rasanya menepis anggapan, bahwa Marx tak mendorong ‘revolusi mental’ itu.
Khusus untuk mengubah
cara berpikir, para konseptor aksi komunis pada periode berikutnya, juga meniru
Marx. Dari 1864 sampai 1872, para pengikut Karl Marx, seperti Eugene Pottier
(penyair Prancis) dan Wilhelm Liebknecht (revolusioner Jerman), mulai menata
diri dalam ‘Internasional Pertama’ yang berbasis di London. Hubungan mereka
sangat erat pada kaum pekerja di kota tersebut. Mereka juga menulis selebaran.
Disebarkan secara luas, lalu dilihat reaksi masyarakat.
Intinya, para pelopor
komunisme sudah terbiasa menyebarkan pandangan-pandangan yang mengadu-domba
satu kelompok dengan kelompok lain demi sebuah ‘revolusi mental’. Seperti yang
dilakukan Georgi Plekhanov di Rusia. Ia memanas-manasi para penggarap lahan
agar bentrok dengan pemilik tanah. Sangat mirip kelak dengan aksi Nyoto tatkala
menggerakkan pemuda rakyat di lapangan.
Jika Marx lebih banyak
memotret dinamika di Eropa utara (Prancis, Jerman dan Spanyol), maka Vladimir
Illich Lenin (VI Lenin) lebih fokus pada negerinya, Rusia. Seperti juga Marx,
Lenin banyak menulis selebaran untuk dibagi ke khalayak. Tujuannya,
menggerakkan masyarakat Rusia melawan Tsar Rusia kala itu.
Dalam karyanya berjudul
‘State and Revolution’ yang diterbitkan pertama kali pada 1918, Lenin secara
tersirat menyebutkan perlunya aksi dramatis menyingkirkan kaum kapitalis dan
birokrat. Dalam kitab itu, Lenin lebih tegas menekankan pentingnya ‘jiwa
revolusioner’ dibersihkan dari kaum borjuis dan oportunis.
Lenin beranggapan gerakan
Internasional Kedua (1889-1914), dikomandani Karl Kautsky, sudah jatuh
bangkrut. Sebabnya, tulis Lenin, belum ada revolusi yang bisa menggerakkan kaum
proletar (miskin) guna menggusur para kapitalis. Karenanya, Lenin menyodorkan
cara menggerakkan massa melalui penjelasan-penjelasan provokatif, membenturkan
satu bagian rakyat kepada bagian yang lain. Tak perlu diragukan, itulah cara
‘revolusi mental’ guna memulai benturan antar warga masyarakat.
Namun, harap jangan
mencari istilah ‘revolusi mental’ itu ke dalam buku ‘Manifesto Komunis’ yang
terbit pada 1848. Percuma. Sebab, istilah itu tak ada dalam buku ‘Manifesto
Komunis’. Dalam manifesto, Marx lebih suka menggambarkan pertarungan kelas,
contohnya kelas borjuis lawan kelas proletar. Walau terbit lebih awal,
manifesto komunis sebenarnya hanya untuk kebutuhan praktis.
Kebangkitan Komunis
Indonesia
Sejarah mencatat,
kebangkitan kelompok komunis di Hindia Belanda (kini Indonesia) berkat campur
tangan Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet atau kondang dipanggil
Henk Sneevliet. Pria yang sebelumnya sudah menjadi anggota komunis Belanda itu
juga merupakan organisator Komintern (Komunis Internasional). Begitu menginjakkan
kaki di Kota Surabaya sekitar tahun 1913, Sneevliet bergabung dengan redaksi
koran ‘Soerabajaasch Handelsblad’.
Pada 9 Mei 1914,
Sneevliet membentuk ‘Indische Sociaal Democratische Vereniging’ (ISDV,
perkumpulan sosial-demokrat Hindia Belanda) di kota yang sama. Melalui
perkumpulan ini, Sneevliet melancarkan kampanye hitam pada organisasi lain yang
tidak sehaluan. Sebaliknya, ia juga mulai aktif merekrut orang Indonesia untuk
menjadi juru penyebar kampanye hitam, seperti Semaun.
Sneevliet juga kemudian
bersentuhan secara luas dengan para aktivis Sarekat Islam (SI) yang lain,
semisal Alimin Prawirodirjo dan Darsono. Gagasan Sneevliet yang kuat
dipengaruhi ajaran Marxisme mulai ditularkan ke para aktivis SI. Mereka
terpengaruh, terutama pada ajaran Marxisme yang menyebutkan ‘Agama adalah Candu
bagi Rakyat’. Akibatnya, mereka pun mulai membatasi diri dari pergaulan dengan
sejawat dalam SI. Kedekatan dengan Sneevliet sudah mengubah diri mereka.
Pengaruh gagasan ‘revolusi mental’ ala Marxisme mulai merasuki jiwa dan pikiran
sejumlah aktivis SI. Berbagai bahan bacaan yang diperkenalkan Sneevliet dan
dialog-dialog bersamanya telah mampu menggoyahkan keyakinan para aktivis SI
‘Merah’.
Dalam bukunya berjudul
‘The Rise of Indonesian Communism’ (1965), peneliti Ruth McVey juga melukiskan
hubungan kerja Sneevliet dengan Adolf Baars. Pria yang juga disebut dalam
sejarah sebagai salah-satu tokoh pendiri komunisme di Indonesia. Baars banyak
menyurahkan waktunya membantu Sneevliet. Selama berbulan-bulan Sneevliet terus
memengaruhi para anak-didiknya. Campur-tangan Sneevliet ke dalam aktivitas SI
mengakibatkan organisasi yang berdiri tahun 1912 itu pecah. Semaun dan
rekan-rekan sehaluan yang sudah tercuci otaknya, lebih memilih bergabung dengan
Sneevliet. Mereka begitu terpesona dengan komentar-komentar Sneevliet.
Program cuci otak
Sneevliet ternyata mujarab. Setelah membersihkan para aktivis itu dari
pikiran-pikiran religius, lalu Sneevliet mengisinya dengan ajaran-ajaran Marxis
yang anti-agama. Dalam testimoni tulisannya yang terbit pada tahun 1926
bertajuk ‘The class struggle element in the liberation struggle of the
Indonesian people’, Sneevliet mengakui telah menyuntikkan gagasan revolusioner
ke dalam SI.
Kata ‘revolusioner’ bagi
komunis seperti Sneevliet, tentu saja, bermakna menyerabut seseorang dari
lingkungan asal. Taktik serupa juga diungkapkan Lenin pada tahun 1918. Semaun,
Alimin dan Darsono merupakan contoh bagaimana kepribadiannya sudah dicerabut
dari SI.
Mental mereka telah
direvolusi sedemikian rupa, sehingga mudah menjadi boneka komunis. Kelak di
kemudian hari, usai Konferensi Batavia pada Januari 1926, para kader komunis
yang sudah tercuci otaknya tersebut melakukan kesepakatan untuk aksi sepihak.
Mereka tak mau memerhitungkan syarat-syarat keberhasilan suatu aksi. Sebab,
bagi Alimin dan kawan-kawannya, yang terpening adalah beraksi frontal. Tak
peduli akan jatuh korban banyak.
Komintern sudah
sepenuhnya mengendalikan pikiran para petualang politik ini. Mereka tak lagi
bebas menentukan sikap. ‘Revolusi mental’ yang digarap kalangan internal PKI
dengan dukungan Sarekat Rakyat (SR) kian mendorong aksi pemberontakan Alimin
dan pendukungnya di Banten dan Silungkang, Sumatera Barat pada 1926-1927.
Pemberontakan ini gagal. Akibatnya, mereka jadi buronan pemerintah Hindia
Belanda.
PKI dan Revolusi Mental
Jika ulasan-ulasan DN
Aidit atau MH Lukman dibaca, maka segera tersirat keinginan kuat para pentolan
PKI itu untuk melakukan ‘revolusi mental’. Memang, secara tersurat sulit
menemukan istilah ‘revolusi mental’ dalam karya-karya tulis para tokoh PKI
tersebut. Namun, indikasi kuat segera tampak manakala membaca karya mereka.
Seperti penggambaran
Departemen Agitasi dan Propaganda (Depagitprop) pada tahap revolusi masyarakat
Indonesia. Dalam buku yang diterbitkan tahun 1958 berjudul ‘ABC Politik
Indonesia’, secara jelas tertulis desakan PKI agar dilakukan revolusi tanpa
perlu menimbang akibat-akibat negatifnya. Brosur PKI yang disebar ke masyarakat
itu berusaha menjelaskan alasan mengapa perlu suatu revolusi. Diantaranya, PKI
beranggapan penciptaan masyarakat sosialis hanya bisa terwujud melalui revolusi
komunis.
PKI menyembunyikan fakta
betapa besar korban yang timbul akibat revolusi Rusia. Organisasi komunis ini
secara sengaja tidak menyodorkan risiko-risiko akibat revolusi. Bagi para tokoh
PKI, program cuci-otak masyarakat perlu dimulai dengan menyebarkan pamflet
berisi ajakan revolusi. Memang, di dalam pamflet-pamflet PKI selalu disebut
alasan di balik revolusi itu, hanya saja pamflet itu tidak pernah menuliskan
dampak revolusi. Sehingga sadar atau tidak, siapapun yang tidak kritis membaca
pamflet PKI, maka ia akan mudah tercuci-otaknya.
Pelan namun pasti,
program-program cuci-otak ala PKI tersebut menyasar bukan saja ke kalangan
kota, melainkan hingga ke desa-desa. Pamflet dan program disebarkan dengan
bahasa sederhana, tapi bisa memengaruhi cara berpikir orang awam. Sejak akhir
tahun 1958, para pengurus teras PKI membekali juru kampanyenya dengan trik-trik
kotor mencuci otak warga. Seperti dengan membuat kampanye hitam pada
lawan-lawan politik PKI.
Diantaranya menjuluki
Masjumi dan PSI sebagai kepala batu. Dalam Kongres Nasional ke-VI PKI di
Jakarta, Wakil Sekjen CC PKI Njoto pada pidato 9 September 1959 menuding parpol
yang kritis sebagai ‘kepala batu’. Njoto pula yang aktif turun ke lapangan
memengaruhi para kader-kader PKI agar rajin memprovokasi khalayak umum.
Revolusi Mental? Itu Cara PKI!
Istilah ‘Revolusi Mental’
ternyata memang bukan isapan jempol belaka. Istilah ini sudah digunakan oleh
Karl Marx pada pertengahan abad 19. Dalam pengantar untuk edisi kedua dari
bukunya bertajuk ‘The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte’ yang terbit pada
tahun 1869, Marx menulis: “…Outside France, this violent breach with the
traditional popular belief, this tremendous mental revolution, has been little
noticed and still less understood…” (Di luar Perancis, kekerasan ini melabrak
kepercayaan umum yang tradisional, revolusi mental yang luar biasa ini, telah
sedikit diketahui dan masih kurang dipahami). Begitu kesimpulan Marx dalam
kalimat pengantar buku tersebut. Simpulan Marx itu tentu saja menunjukkan
salah-satu inti ajaran Marx tentang kebutuhan akan pertarungan kelas.
Buku kondang Marx itu
pertama kali terbit memang pada tahun 1852. Selain Marx, ada sohib karibnya,
Frederick Engels, yang juga memberikan kata pengantar. Dibanding Marx, kata
pengantar Engels tidak begitu menukik. Ia hanya mengurai saja, apa yang terjadi
di Prancis pada masa itu. Justru kata pengantar Marx di edisi kedua (1869) yang
secara terang-terangan menyebut perlunya ‘revolusi mental’, pendobrak keyakinan
lama.
Bagi Marx, ‘revolusi
mental’ merupakan keharusan untuk menata masyarakat, dari tatanan lama menuju
ke tatanan baru yang komunistis. Marx dan para pendukungnya mendorong
terjadinya ‘revolusi mental’, yang membenturkan kelompok satu ke yang lain.
Batasnya, siapa yang ikut mentalnya direvolusi, dan siapa yang tidak.
Tak pelak, karya Marx
menjadi sumber inspirasi bagi gerakan komunis internasional. Dimulai dari
gerakan kelas pekerja pada 1864 kemudian 1889, lalu 1919, nyaris seluruh
aktivis gerakan ini bersandar pada ‘revolusi mental’. Mereka memilah siapa
kawan siapa lawan, lalu berusaha memengaruhi publik lewat agitasi propaganda.
Masuk ke masyarakat, mempengaruhi komunitas buruh, menyelusup ke pasar dan
pusat keramaian untuk memprovokasi warga. Ini bagian dari cara ‘revolusi
mental’.
Walau tak harus tersurat,
tetapi cara itu tersirat dalam hampir semua karya Marx pada kurun berikutnya.
Karya-karya yang gampang dicari di berbagai situs internet dewasa ini. Sulit
rasanya menepis anggapan, bahwa Marx tak mendorong ‘revolusi mental’ itu.
Khusus untuk mengubah
cara berpikir, para konseptor aksi komunis pada periode berikutnya, juga meniru
Marx. Dari 1864 sampai 1872, para pengikut Karl Marx, seperti Eugene Pottier
(penyair Prancis) dan Wilhelm Liebknecht (revolusioner Jerman), mulai menata
diri dalam ‘Internasional Pertama’ yang berbasis di London. Hubungan mereka
sangat erat pada kaum pekerja di kota tersebut. Mereka juga menulis selebaran.
Disebarkan secara luas, lalu dilihat reaksi masyarakat.
Intinya, para pelopor
komunisme sudah terbiasa menyebarkan pandangan-pandangan yang mengadu-domba
satu kelompok dengan kelompok lain demi sebuah ‘revolusi mental’. Seperti yang
dilakukan Georgi Plekhanov di Rusia. Ia memanas-manasi para penggarap lahan
agar bentrok dengan pemilik tanah. Sangat mirip kelak dengan aksi Nyoto tatkala
menggerakkan pemuda rakyat di lapangan.
Jika Marx lebih banyak
memotret dinamika di Eropa utara (Prancis, Jerman dan Spanyol), maka Vladimir
Illich Lenin (VI Lenin) lebih fokus pada negerinya, Rusia. Seperti juga Marx,
Lenin banyak menulis selebaran untuk dibagi ke khalayak. Tujuannya,
menggerakkan masyarakat Rusia melawan Tsar Rusia kala itu.
Dalam karyanya berjudul
‘State and Revolution’ yang diterbitkan pertama kali pada 1918, Lenin secara
tersirat menyebutkan perlunya aksi dramatis menyingkirkan kaum kapitalis dan
birokrat. Dalam kitab itu, Lenin lebih tegas menekankan pentingnya ‘jiwa
revolusioner’ dibersihkan dari kaum borjuis dan oportunis.
Lenin beranggapan gerakan
Internasional Kedua (1889-1914), dikomandani Karl Kautsky, sudah jatuh
bangkrut. Sebabnya, tulis Lenin, belum ada revolusi yang bisa menggerakkan kaum
proletar (miskin) guna menggusur para kapitalis. Karenanya, Lenin menyodorkan
cara menggerakkan massa melalui penjelasan-penjelasan provokatif, membenturkan
satu bagian rakyat kepada bagian yang lain. Tak perlu diragukan, itulah cara
‘revolusi mental’ guna memulai benturan antar warga masyarakat.
Namun, harap jangan
mencari istilah ‘revolusi mental’ itu ke dalam buku ‘Manifesto Komunis’ yang
terbit pada 1848. Percuma. Sebab, istilah itu tak ada dalam buku ‘Manifesto
Komunis’. Dalam manifesto, Marx lebih suka menggambarkan pertarungan kelas,
contohnya kelas borjuis lawan kelas proletar. Walau terbit lebih awal,
manifesto komunis sebenarnya hanya untuk kebutuhan praktis.
Kebangkitan Komunis
Indonesia
Sejarah mencatat,
kebangkitan kelompok komunis di Hindia Belanda (kini Indonesia) berkat campur
tangan Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet atau kondang dipanggil
Henk Sneevliet. Pria yang sebelumnya sudah menjadi anggota komunis Belanda itu
juga merupakan organisator Komintern (Komunis Internasional). Begitu
menginjakkan kaki di Kota Surabaya sekitar tahun 1913, Sneevliet bergabung
dengan redaksi koran ‘Soerabajaasch Handelsblad’.
Pada 9 Mei 1914,
Sneevliet membentuk ‘Indische Sociaal Democratische Vereniging’ (ISDV,
perkumpulan sosial-demokrat Hindia Belanda) di kota yang sama. Melalui
perkumpulan ini, Sneevliet melancarkan kampanye hitam pada organisasi lain yang
tidak sehaluan. Sebaliknya, ia juga mulai aktif merekrut orang Indonesia untuk
menjadi juru penyebar kampanye hitam, seperti Semaun.
Sneevliet juga kemudian
bersentuhan secara luas dengan para aktivis Sarekat Islam (SI) yang lain,
semisal Alimin Prawirodirjo dan Darsono. Gagasan Sneevliet yang kuat
dipengaruhi ajaran Marxisme mulai ditularkan ke para aktivis SI. Mereka
terpengaruh, terutama pada ajaran Marxisme yang menyebutkan ‘Agama adalah Candu
bagi Rakyat’. Akibatnya, mereka pun mulai membatasi diri dari pergaulan dengan
sejawat dalam SI. Kedekatan dengan Sneevliet sudah mengubah diri mereka.
Pengaruh gagasan ‘revolusi mental’ ala Marxisme mulai merasuki jiwa dan pikiran
sejumlah aktivis SI. Berbagai bahan bacaan yang diperkenalkan Sneevliet dan
dialog-dialog bersamanya telah mampu menggoyahkan keyakinan para aktivis SI
‘Merah’.
Dalam bukunya berjudul
‘The Rise of Indonesian Communism’ (1965), peneliti Ruth McVey juga melukiskan
hubungan kerja Sneevliet dengan Adolf Baars. Pria yang juga disebut dalam
sejarah sebagai salah-satu tokoh pendiri komunisme di Indonesia. Baars banyak
menyurahkan waktunya membantu Sneevliet. Selama berbulan-bulan Sneevliet terus
memengaruhi para anak-didiknya. Campur-tangan Sneevliet ke dalam aktivitas SI
mengakibatkan organisasi yang berdiri tahun 1912 itu pecah. Semaun dan
rekan-rekan sehaluan yang sudah tercuci otaknya, lebih memilih bergabung dengan
Sneevliet. Mereka begitu terpesona dengan komentar-komentar Sneevliet.
Program cuci otak
Sneevliet ternyata mujarab. Setelah membersihkan para aktivis itu dari
pikiran-pikiran religius, lalu Sneevliet mengisinya dengan ajaran-ajaran Marxis
yang anti-agama. Dalam testimoni tulisannya yang terbit pada tahun 1926
bertajuk ‘The class struggle element in the liberation struggle of the
Indonesian people’, Sneevliet mengakui telah menyuntikkan gagasan revolusioner
ke dalam SI.
Kata ‘revolusioner’ bagi
komunis seperti Sneevliet, tentu saja, bermakna menyerabut seseorang dari
lingkungan asal. Taktik serupa juga diungkapkan Lenin pada tahun 1918. Semaun,
Alimin dan Darsono merupakan contoh bagaimana kepribadiannya sudah dicerabut
dari SI.
Mental mereka telah
direvolusi sedemikian rupa, sehingga mudah menjadi boneka komunis. Kelak di
kemudian hari, usai Konferensi Batavia pada Januari 1926, para kader komunis
yang sudah tercuci otaknya tersebut melakukan kesepakatan untuk aksi sepihak.
Mereka tak mau memerhitungkan syarat-syarat keberhasilan suatu aksi. Sebab,
bagi Alimin dan kawan-kawannya, yang terpening adalah beraksi frontal. Tak
peduli akan jatuh korban banyak.
Komintern sudah
sepenuhnya mengendalikan pikiran para petualang politik ini. Mereka tak lagi
bebas menentukan sikap. ‘Revolusi mental’ yang digarap kalangan internal PKI
dengan dukungan Sarekat Rakyat (SR) kian mendorong aksi pemberontakan Alimin
dan pendukungnya di Banten dan Silungkang, Sumatera Barat pada 1926-1927.
Pemberontakan ini gagal. Akibatnya, mereka jadi buronan
pemerintah Hindia
Belanda.
PKI dan Revolusi Mental
Jika ulasan-ulasan DN
Aidit atau MH Lukman dibaca, maka segera tersirat keinginan kuat para pentolan
PKI itu untuk melakukan ‘revolusi mental’. Memang, secara tersurat sulit
menemukan istilah ‘revolusi mental’ dalam karya-karya tulis para tokoh PKI
tersebut. Namun, indikasi kuat segera tampak manakala membaca karya mereka.
Seperti penggambaran
Departemen Agitasi dan Propaganda (Depagitprop) pada tahap revolusi masyarakat
Indonesia. Dalam buku yang diterbitkan tahun 1958 berjudul ‘ABC Politik
Indonesia’, secara jelas tertulis desakan PKI agar dilakukan revolusi tanpa
perlu menimbang akibat-akibat negatifnya. Brosur PKI yang disebar ke masyarakat
itu berusaha menjelaskan alasan mengapa perlu suatu revolusi. Diantaranya, PKI
beranggapan penciptaan masyarakat sosialis hanya bisa terwujud melalui revolusi
komunis.
PKI menyembunyikan fakta
betapa besar korban yang timbul akibat revolusi Rusia. Organisasi komunis ini
secara sengaja tidak menyodorkan risiko-risiko akibat revolusi. Bagi para tokoh
PKI, program cuci-otak masyarakat perlu dimulai dengan menyebarkan pamflet
berisi ajakan revolusi. Memang, di dalam pamflet-pamflet PKI selalu disebut
alasan di balik revolusi itu, hanya saja pamflet itu tidak pernah menuliskan
dampak revolusi. Sehingga sadar atau tidak, siapapun yang tidak kritis membaca
pamflet PKI, maka ia akan mudah tercuci-otaknya.
Pelan namun pasti,
program-program cuci-otak ala PKI tersebut menyasar bukan saja ke kalangan
kota, melainkan hingga ke desa-desa. Pamflet dan program disebarkan dengan
bahasa sederhana, tapi bisa memengaruhi cara berpikir orang awam. Sejak akhir
tahun 1958, para pengurus teras PKI membekali juru kampanyenya dengan trik-trik
kotor mencuci otak warga. Seperti dengan membuat kampanye hitam pada
lawan-lawan politik PKI.
Diantaranya menjuluki
Masjumi dan PSI sebagai kepala batu. Dalam Kongres Nasional ke-VI PKI di
Jakarta, Wakil Sekjen CC PKI Njoto pada pidato 9 September 1959 menuding parpol
yang kritis sebagai ‘kepala batu’. Njoto pula yang aktif turun ke lapangan
memengaruhi para kader-kader PKI agar rajin memprovokasi khalayak umum.
Aksi Njoto itu merupakan
wujud dari langkah-langkah PKI untuk mencuci otak masyarakat. Semua fakta
diputar-balik oleh Njoto, demi kepentingan program ‘revolusi mental’ di
masyarakat. Langkah serupa juga dilakukan Aidit. Ia bukan saja gemar
menjelaskan tahap-tahap pembentukan masyarakat Indonesia ke berbagai kalangan
di dalam negeri, bahkan sampai ke luar negeri pun dilakukan Aidit.
Ketika berkunjung ke
Sekolah Tinggi Partai Komunis Cina di Peking, RRT, pada 2 September 1963, DN
Aidit begitu antusias menjelaskan tahap perkembangan masyarakat Indonesia.
Tahap-tahap itu tentu sangat penting bagi PKI. Sebab, dari tahap-tahap inilah
kemudian PKI bisa merancang aksi cuci-otak.
Boleh dikata, tahap-tahap
perkembangan masyarakat Indonesia yang dibuat PKI itu sesungguhnya merupakan
pemetaan terhadap situasi dan kondisi masyarakat. Dari pemetaan tersebut, maka
tentu saja mudah untuk membidik berbagai kalangan yang hendak direvolusi
mentalnya. Jika bidikan ini berhasil, maka PKI kemudian akan mudah menggerakkan
mereka.
Label artikel Anti Komunisme |
Joko Widodo |
Jokowi |
PKI
judul Revolusi Mental Jokowi itu adalah PKI...By : PEDULI FAKTA
Ditulis oleh:
Unknown - Selasa, 15 Juli 2014
awa bahaya laten komunis
BalasHapusmulai merasuki pemerintahan indonesia
Jual Baju loreng murah