PEDULI FAKTA

Twitter @PeduliFakta

Tampilkan postingan dengan label Bagaimana Media Massa Menggiring Opini Publik?. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bagaimana Media Massa Menggiring Opini Publik?. Tampilkan semua postingan
Victim Playing Ala Jokowi Cs

Victim Playing Ala Jokowi Cs

Entah sampai kapan teknik pengalihan simpati ini akan terus digunakan. Mungkin sampai masyarakat cukup jeli dan pintar dalam membaca situasi (social and political quetion).

Pada awalnya dilakukan sederhana. Dalam skala kecil. Misalnya, dulu sempat ada kasus pembakaran posko relawan "you know who". Kemudian dihebohkanlah oleh media. Agar terkesan mereka menjadi korban dan menarik simpati dan dukungan bahwa mereka dizhalimi. Tentunya, berharap bahwa masyarakat kemudian menyalahkan kubu satunya sebagai tersangka.

Dan itu berhasil. Opini terbangun. Namun siapa sebenarnya pelaku pembakarannya? Mereka sendirilah yg melakukannya.

Pernah mendengar jargon "Hanya Kecurangan yg Dapat Mengalahkan Kita"? Ini juga adalah teknik victim playing dalam skala yg lebih besar dan 'rumit'. Dan lain sebagainya dan lain sebagainya.

Dan rupanya, victim playing juga masih digunakan untuk mendongkrak popularitas penguasa sekarang yg cenderung jatuh hingga 40% saja. Di tengah serapan APBN yg juga masih rendah. Di tengah ketidakmampuan (baca: ketidakpedulian) menangani bencana asap dan lainnya. Sekarang mereka bermain opini sebagai korban dengan pernyataan : "Jangan bakar hutan untuk menggulingkan pemerintahan".

Hey... Ayo buktikan saja perusahaan pembakar hutan itu. Jangan disembunyikan. Ada di pihak mana para pembakar durjana itu? Semua sangat bisa terjawab secara terbuka.

Mereka lupa, dalam psikologi introgasi, yg membuat statement atau opini atau alibi, justru yg pertama kali dicurigai.

Sudahlah, tidak perlu bersembunyi di balik victim playing. Tidak perlu juga bersembunyi di balik aksi para relawan kemanusiaan dalam menangani bencana ini. Tidak perlu menunjuk hidung si itu dan si ini. Buktikan saja kalian bekerja. Jika kalian bersih, kenapa harus risih? Jika benar, kenapa harus gentar? Jika memang tidak takut, jangan jadi pengecut.

Camkan, kalian, dengan kekuasaan kalian, sangat mungkin dapat membuat tipu daya. Tapi ingat, Allah Maha Melihat. Allah Maha berkuasa membongkar segala tipu daya.

Saran saya, bertaubat sebelum segala sesuatunya terlambat.

#MelawanMafiaPembakarHutan
#SelamatkanIndonesia
#LintasanPikiran

-AMI-

Jawa Pos Memfitnah Erdogan

Selasa 15 September kemarin Jawa Pos National Network [ JPPN ] memuat berita yang memuat foto selfie Erdogan dengan background tentara yang sedang mengusung peti jenazah.
Erdogan menyedihkan? Tidak
Yang menyedihkan adalah redaksi Jawa Pos.

Foto ini sejatinya di ambil dari majalah Nokta di Turki. Majalah humor satire yang seringkali menerbitkan foto editan untuk bahan tertawaan tanpa memperhatikan etika. Dan kabar terakhir, editor majalah Nokta sudah ditangkap.

Media sekelas Jawa Pos dengan mudahnya mengunggah berita seperti ini, padahal mereka akan dg mudah menemukan asal muasal foto ini jika mau.

Bisa jadi setelah di kalrifikasi mereka hanya menjawab "maaf, wartawan kami teledor", padahal berita ini di baca ratusan ribu pelanggan setianya. Dan yang pasti, oplah nya meningkat drastis.

Apakah ini ekspresi mereka tentang erdogan?
Atau memang JPPN tak ada beda dengan Nokta?

*foto diambil dari page Sahabat Erdogan*

Ternyata MetroTV dan Kompas yang Memfitnah Sutiyoso Dukung Lokalisasi Pelacuran

Publik sempat dikagetkan dengan pemberitaan yang beredar bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mendukung ide Ahok yang akan membangun lokalisasi pelacuran. Sejumlah media-media besar secara kompak memberitakanya.

Kompas.com memberitakan dengan judul : "Sutiyoso Dukung Ahok Bangun Area Lokalisasi Prostitusi", pada rabu (29/4/2015).

Dihari yang sama, metrotvnews.com juga memberitakan dengan judul "Sutiyoso Dukung Ahok Bangun Lokalisasi".

Kedua media ini mempelintir pernyataan Sutiyoso yang berbunyi : "Kalau memang baik, jalani saja. Prostitusi merupakan salah satu anak kandung dari kemiskinan, selain kejahatan. Cara meminimalisir keberadaannya dengan memperbanyak lapangan pekerjaan," kata Sutiyoso saat dihubungi, Rabu (29/4/2015).

Terungkapnya ada pemberitaan dusta yang dilakukan oleh media tersebut ketika Sutiyoso mengungkapkan sikapnya dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) TVONE edisi Selasa 19 Mei 2015. Sutiyoso menegaskan bahwa dirinya menolak lokalisasi pelacuran di Jakarta. (baca : Sutiyoso : Saya Tidak Pernah Mendukung Ide Ahok tentang Lokalisasi Pelacuran) [islamedia/mh]

SEJARAH HITAM KOMPAS MENGHINA UMAT ISLAM

Media yang digawangi kalangan Katholik ini memang gemar melakukan penipuan kepada masyarakat lewat berita-beritanya. Pemelintiran dan manipulasi berita kerap dilakukan untuk menggiring opini.

Salah satu korban yang kerap menjadi obyek "bullying" Kompas adalah FPI, bahkan pada 25 Desember 2014 tahun lalu, kompas menurunkan berita kalau FPI ikut menjaga gereja di wilayah Jawa Barat.

Pada tahun 2012 kompas juga memposting berita fitnah kalau Laskar FPI Makkasar turut mengamankan menjaga sejumlah gereja pada perayaan hari natal 25 Desember.

FPI Sering menjadi sasaran target pemberitaan miring kompas, pada tahun 2002 saat di sejumlah darah umat berbondong-bondong membakar sejumlah tempat pelacuran dan perdagangan miras, karena di anggap meresahkan masyarakat setempat. kompas langsung menuding kalau gerakan itu dilakukan oleh FPI.

Kali ini kompas kembali melecehkan Islam, pada Senin 27 April 2015 lalu, situs berita Kompas.com telah memuat tulisan berjudul “Kehidupan Rahasia Sultan Brunei dari Seks, Dusta, dan Hukum Syariah”.

Isi berita nya itu terang-terangan memojokkan Sultan Brunei Darussalam dan melcehkan syariat Islam yang diterapkan di negeri itu. Artikel itu menggambarkan kehidupan pribadi Sultan Brunei yang ditulis justru jauh dari syariat.

Bukan kali ini aja sejarah kompas menhina Islam, tepat di tahun 1990, wartawan senior Kompas Arswendo Atmowiloto, secara sengaja melakukan penistaan terhadap Islam. Melalui Tabloid Monitor binaan Kompas Gramedia Group, melancarkan hinaan kepada Nabi Muhammad SAW.

Kasus pelecehan tersebut kemudian dikenal sebagai "SKANDAL KEJAHATAN KOMANDO PASTOR (KOMPAS)". Kemudian menyeret Arswendo Atmowiloto yang merupakan kader jurnalis binaan bos Kompas Jakob Oetama mendekam di penjara. Arswendo Atmowiloto pada saat itu menjabat selaku Pemred Tabloid Monitor. Kasus ini tidak pernah dilupakan oleh ummat Islam.

Kompas merupakan jaringan pers dari perpanjangan kepentingan kelompok konglomerat aseng -asing dan menjadi representasi aspirasi ummat Katolik di Indonesia. Kehadirannya sering kali berupaya menyudutkan ummat Islam.

Serangkaian isu dan opini acap kali dihembuskan oleh Kompas untuk menggiring ummat Islam pada alur kepentingan mereka. Pembelaan Kompas kepada Jokowi menjelang Pilpres 2014 terlihat begitu gencar dan kasatmata.

Dan lagi-lagi, Arswendo Atmowiloto sang penghina Nabi tersebut tampil melontarkan pernyataan bahwa: "Jokowi adalah anugerah Tuhan...". Sebuah isyarat untuk membangkitkan konsolidasi politik ummat minoritas bersatu memenangkan Jokowi.

Tak hanya Arswendo Atmowiloto, tapi salah satu misionaris yang dibesarkan oleh Kompas, Franz Magnis Suseno bahkan melancarkan ancaman:

"Bila Jokowi tidak jadi presiden maka Indonesia akan rusuh...".

Luar biasa, para dedengkot Katolik tersebut saling bahu-membahu berserikat membela Jokowi secara sporadis.

Kini Jokowi sudah menjadi Presiden dan semua itu tidak lepas dari peran besar jaringan Kompas dan misionaris Katolik. Selanjutnya Kompas mulai gencar mendongkrak Ahok untuk tampil memimpin Jakarta.

Pembelaaan Kompas terhadap Ahok adalah bagian dari skenario untuk melanggengkan misi politik misionaris Katolik dan konglomerat Aseng menguasai negeri ini. Agenda busuk itu makin bergulir dan mulai dipahami oleh kaum muslim. Maka waspadalah !

Ayo Boikot Kompas..!!!

Bocor : Ternyata Media Tempo Hanyalah Kacungnya Rezim Jokowi

JAKARTA (voa-islam.com) - Selama ini bisnis media massa menjadi alat bagi sebagian orang yang memiliki modal untuk membangun image dan pencitraan dirinya kepada masyarakat.

Tidak peduli baik atau buruk kinerja dan kualitas kepemimpinan seseorang asal mampu membeli berita yang dijual media maka polesan beritanya akan semakin kinclong.

Bisnis media ini semakin menjamur pesat dikarenakan masyarakat Indonesia masih memiliki persepsi baik terhadap media. Apa yang diberitakan oleh media masih menjadi tolok ukur penilaian masyarakat pada tokoh tertentu.

Beredarnya surat pemerintah tentang penunjukan Tempo sebagai media mitra promosi dan pengumuman iklan tender seluruh Kementrian dan Lembaga non Kementerian, pemerintah pusat sampai daerah agar menggunakan media Koran Tempo menghebohkan jagad dunia maya.

Jadi pembelaan Tempo terhadap rezim Jokowi itu, dapat diduga ikut menikmati rente dari walikota 'ajaib' yang sekarang menjadi penghuni Istana. Benar-benar sangat aneh, media yang dielu-elukan kalangan liberal, ternyata hanyalah 'kacungnya' Jokowi.

Berikut adalah surat edaran yang dimaksud:

Waspada Rekayasa Pikiran

Waspada Rekayasa Pikiran

Jika engkau menyaksikan film FOCUS, film yg dibintangi oleh Will Smith yg berperan sebagai Nicky, seorang pencuri dan penipu profesional, engkau akan menyaksikan salah satu scene dimana Nicky bertaruh dengan Liyuan senilai 2 juta USD. Jenis taruhannya menarik, yakni Liyuan memilih salah satu nomor punggung pemain American Football. Dan Jess, rekan sejawat Nicky yg akan menebaknya.

Sebuah taruhan yg sulit tentunya. Karena setidaknya pemain football yg berada di lapangan dari kedua kubu berjumlah total 100 orang sudah termasuk pemain cadangan. Artinya, peluang Jess menebak angka yg dipilih Liyuan adalah 1:100. Namun, tak dinyana, ternyata Jess berhasil menebak nomor punggug pemain yg dipilih oleh Liyuan. Nomornya adalah 55. Nicky pun berhasil memenangkan taruhan senilai 2 juta USD tersebut.

Ketika ditanya oleh Jess, apakah ini sebuah kebetulan? Nicky pun menjawab ini bukan kebetulan. Namun, ternyata Nicky telah melakukan REKAYASA PIKIRAN, agar Liyuan selalu mengingat angka 55 dalam pikiran bawah sadarnya.

Semenjak Liyuan tiba dari Hongkong di Amerika, Liyuan secara tidak sadar dibuat selalu mengingat angka 55 secara tidak sadar. Mulai dari taksi yg ada angka 55-nya. Kamar hotel, ornamen pada lampu hias, pin yg digunakan oleh consierge saat membukakan pintu, sampai pada banner iklan yg menempel di taksi dan bus, semuanya ada angka 55. Dan memang demikian, secara bawah sadar (unconscious) pikiran kita akan mengingat sesuatu yg diulang-ulang. Dan saat diminta oleh Nicky memilih saah satu nomor untuk jadi bahan taruhannya, maka pikiran bawah sadar (uconscious mind) Liyuan akan tertarik kepada pemain yg menggunakan nomor punggung 55 di kaosnya.

Nah, kenapa saya menulis tentang fenomena pikiran bawah sadar dalam film Focus ini? Beberapa saat yg lalu di Metro TV (televisi milik SP, petinggi Partai Nasional Demokrat) menayangkan tayangan ulang Mata Najwa edisi "Pencuri Perhatian". Dimana tamu di Mata Najwa tersebut adalah Syahrini, Raditya Dika dan Basuki Tjahya Purnama (Ahok). Ya, Ahok.

Tayangan tersebut saya yakin BUKAN TIDAK SENGAJA ditayangkan. Melainkan ada tujuan untuk MEREKAYASA PIKIRAN. Kita tahu, bahwa saat ini Ahok sedang dalam posisi yg genting. Hak Interpelasi yg digulirkan oleh anggota DPRD terkait dengan APBD PALSU yg diserahkan ke Kementerian Dalam Negeri menjadi pasalnya. Belum lagi, sikap kalap Ahok yg kemudian mematikan nalarnya, malah membuka borok dirinya dan jajaran pemerintahannya (juga Gubernur sebelum dia yakni Joko Widodo) dengan adanya dana siluman dalam APBD tersebut. Padahal dana siluman tersebut sudah ada sejak 2013 dan 2014, saat Joko Widodo menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Tentunya, cara yg praktis dan efektif digunakan adalah merekayasa pikiran kebanyakan rakyat Indonesia agar citra dirinya tetap baik. Caranya adalah menayangkan hal-hal yg dikesankan baik mengenai Ahok. Mari kita lihat media-media pembelanya, tak henti-hentinya mencitrakan dan memanipulasi berita sehingga Ahok dikesankan orang yg baik dan terzhalimi. Berita, tayangan, testimoni (buatan), dan lain sebagainya ditayangkan berulang-ulang. Targetnya adalah berita dan tayangan tersebut terprogram pada pikiran bawah sadar (unconscious mind) sebagian rakyat Indonesia.

Sehinga, walau terbukti bersalah, dapat dipastikan ada banyak orang yg terhipnosis sehingga membela membabi buta.

Lalu pertanyaannya, apa yg harus kita lakukan agar tidak terhipnosis oleh pemrograman pikiran bawah sadar yg dilakukan oleh media-media pelindung para pencuri dan penipu? Seperti halnya judul film yg saya ceritakan di atas, FOKUS. Jangan mudah percaya. Jangan terlena. Perhatikan dengan seksama dan lakukan analisa. Curigalah dengan segala sesuatu yg tiba-tiba, tanpa cela, diberitakan/ditayangkan berulang-ulang dan terus menerus. Curigalah bahwa jika demikian, pasti ada yg tidak beres di sebaliknya.

Namun, yakinilah bahwa secanggih apapun REKAYASA PIKIRAN yg dilakukan dengan hal-hal yg 'baik', tidak akan pernah mengalahkan kebenaran yg sifatnya mutlak. Kebenaran akan tetap menjadi kebenaran. Ia tidak akan pudar walau diselubungi oleh ratusan kebaikan yg hanya rekaan.

Kebusukan Media l by Hafiz Ary

Kebusukan Media l by Hafiz Ary

Media menentukan siapa yg baik dan siapa yg jahat , yg baik bs dihukum jahat oleh media , yg jahat bs dicitrakan baik.

Operasi media membuat sesuatu yg bukan realita dianggap realita.

Media yg menentukan seseorang terbaik atau tidak, bersalah atau tdk, kosong atau isi, tdk peduli apapun realitanya.

Bersalah atau tdk ditentukan di ruang rapat dewan redaksi ... bukan dipengadilan.

Pencitraan koruptor adalah partai Islam pun bagian dr operasi media , padahal kita tau sendiri realitanya , siapa partai terkorup.

Skrg Islam dilabelkan ISIS, zaman SBY dilabelkan teroris , zaman suharto dilabelkan teroris , zaman belanda dilabelkan pemberontak , radikal.

Media menebar persepsi "masyarakat skrg sudah cerdas" , seolah2 mereka sudah mencerdaskan masyarakat. Pdhl yg trjadi sebaliknya.

Kenyataannya sdbaliknya media membuat masyarakat jd memusuhi yg benar dan mendukung yg salah .

Penyesatan opini semacam ini juga sudah terjadi di zaman para nabi .. Shingga nabi dipersepsikan salah.

Para nabi diopinikan sbg org gila, pemecah belah , penebar kebencian, tukang sihir dll.

Hari ini opininya muslim adalah ISIS, zaman SBY, muslim itu  teroris. Zaman suharto , muslim itu subversif.

KPK , densus , BNPT dalam rangkaian demonisasi Islam .. Jk tdk salah, dibuatlah spy seolah2 salah, jk pun salah dibesar2 bhw ini salah Islam.

Penegakan syariah Islam sbg kesepakatan pembentukan konsepsi negara pun dikhianati oleh sukarno.

Di zaman suharto diberlakukanlah asas tunggal , subversif menjadi label yg menjustifikasi pemberangusan Islam dan aktivis Islam.

Zaman suharto , media milik negara , informasi dikuasai oleh negara . Hari ini negara dimiliki penguasa media .

Demonisasi Islam ini terjadi di masyarakat barat juga terjadi di dunia Islam.

Ketidakfahaman dunia akan Islam , krn penyesatan opini, menjadi kerugian sendiri bagi dunia.

Bagian dr strategi demonisasi ini adalah standar ganda . Jk muslim bersalah maka Islam disalahkan, jk non muslim bersalah mk bkn salah agama.

Jk utk kepentingan barat , maka demokrasi didukung , jk mengancam kepentingan barat maka demokrasi dihancurkan. Kasus kudeta mursi mesir.

Dibuatlah daftar teroris , dimana makna teroris adalah semua yg mengancam kepentingan barat, dimana zionis dan salibis di belakangnya.

Sehingga Hamas adalah teroris , IM adalah teroris , sehingga refah turki dan FIS aljazair dihabisi.

Kenapa hamas disebut teroris? Krn lawan Israel. Kenapa IM disebut teroris? Krn langkahnya di mesir mengganggu kepentingan israel.

Taliban juga disebut teroris krn melawan invasi barat ke afganistan, dibesar2kanlah citra bahwa taliban teroris radikal kejam.

Amerika dulu bikin rambo 3 utk opini bahwa mrk pahlawan afghanistan, tp juga bikin "true lies" utk propaganda islam teroris.

Sebagian Umat Islam yg menjadi korban penyesatan opini pun tdk sadar , mrk justru bergabung melawan Islam.

Inilah pentingnya berpikir , tabayyun ... islam memerintahkan ini .

Krn bodoh, sebagian umat Islam berpikir hamas teroris , IM teroris , taliban teroris , dst.

Sebagian umat Islam pun percaya bahwa partai islam korup , menolak fakta sesungguhnya yg disembunyikan media , partai terkorup adalah partai sekuler.

Heboh Pengakuan Wartawati Ex Tempo: Kebobrokan Media di Indonesia

Ketika TEMPO Dihajar “Jilbab Hitam”


Bismillahirrahmaanirrahiim. Luar biasa, sebuah kejutan besar sekaligus ide hebat dari seseorang yang menamakan diri “Jilbab Hitam.” Dalam tulisannya di Kompasiana.com, pada 11 November 2013, telah menghebohkan banyak pihak. Tak kurang, Tempo sendiri menurunkan5 tulisan bantahan atas informasi yang dia paparkan. Bagaimanapun, tulisan “Jilbab Hitam” lebih kuat dari semua bantahan Tempo; dan sangat disayangkan, Kompasiana.com men-delete begitu saja tulisan itu. Bahkan dalam ulasan di Kompasiana.com disebutkan, bahwa “Jilbab Hitam” hanyalah pemain amatir, tulisannya dangkal. Bodoh, justru tulisan dia sangat kuat. Lebih kuat dari umumnya tulisan-tulisan di Kompasiana.com yang ngalor-ngidul gak jelas.
Karena mengapresiasi keberanian “Jilbab Hitam” dalam men-torpedo mesin bisnis media Tempo, kami ikut menayangkan tulisan tersebut, sebagai bentuk kebebasan menyampaikan pendapat dan ekspresi. Sumber tulisan dari Voa-islam.com. Berikut isi tulisan Sang “Jilbab Hitam” yang nyaris menggoyangkan kemapanan struktural media Tempo.

Heboh Pengakuan Wartawati Ex Tempo: Kebobrokan Media di Indonesia

Rabu, 13 Nov 2013.
Kebobrokan Media di Indonesia
Saya adalah seorang perempuan biasa yang sempat bercita-cita menjadi seorang wartawan. Menjadi wartawan TEMPO tepatnya. Kekaguman saya terhadap sosok Goenawan Mohamad yang menjadi alasan utamanya. Dimulai dari mengoleksi coretan-coretan beliau yang tertuang dalam ‘Catatan Pinggir’ hingga rutin membaca Majalah TEMPO sejak masih duduk di bangku pelajar, membulatkan tekad saya untuk menjadi bagian dalam grup media TEMPO. 
Dengan polos, saya selalu berpikir, salah satu cara memberikan kontribusi yang mulia kepada masyarakat, mungkin juga negara adalah dengan menjadi bagian dalam jejaring wartawan TEMPO. Apalagi, sebagai awam saya selalu melihat TEMPO sebagai media yang bersih dari praktik-praktik kotor permainan uang. Permainan uang ini, dikenal dalam dunia wartawan dengan istilah ‘Jale’ yang merupakan perubahan kata dari kosakata ‘Jelas’.
“Jelas nggak nih acaranya?”
“Ada kejelasan nggak nih?”
“Gimana nih broh, ada jale-annya nggak?”
Kira-kira begitu pembicaraan yang sering saya dengar di area liputan. Istilah ‘Jelas’ berarti acara liputannya memberikan ongkos transportasi alias gratifikasi kepada wartawan, dengan imbal balik tentunya penulisan berita yang positif. Dari kata ‘Jelas’, kemudian bergeser istilah menjadi ‘Jale’ yang menjadi kosakata slank untuk ‘Uang Transportasi Wartawan’. 
Perilaku menerima uang sudah menjadi sangat umum dalam dunia wartawan. Saya pribadi jujur sangat jijik dengan perilaku tersebut.
Ketika (akhirnya) saya bergabung dengan grup TEMPO di tahun 2006, sebagaimana cita-cita saya dulu sekali, saya merasa lega.
“Setidaknya, saya tidak menjadi bagian dari media-media ecek-ecek yang kotor dan sarat permainan uang” pikir saya.
Dulu, saya berpikir, media besar seperti TEMPO, Kompas, Bisnis Indonesia, Jawa Pos dan sebagainya, tidak mungkin bermain uang dalam peliputannya. Dulu, saya pikir, hanya media-media tidak jelas saja yang bermain seperti itu. 
Namun fakta berkata lain. Sempat tidak percaya karena begitu dibutakan kekaguman saya pada kewartawanan, Goenawan Mohamad, TEMPO dan lainnya, saya sempat menolak percaya bahwa wartawan-wartawan TEMPO, Kompas, Bisnis Indonesia, Jawa Pos, Antara dan lain-lainnya, rupanya terlibat juga dalam jejaring permainan uang.
Media-media tidak jelas atau yang lebih dikenal dengan media Bodrek bermain uang dalam peliputannya. Hanya saja, dari segi uang yang diterima, saya bisa katakan kalau itu hanya Uang Receh. 
Mafia-nya bukan disitu. Media-media Bodrek bukan menjadi mafia permainan uang dalam jual beli pencitraan para raksasa politik, korporasi, pemerintahan. Adalah media-media besar seperti TEMPO, Kompas, Detik, Antara, Bisnis Indonesia, Investor Daily, Jawa Pos dan sebagainya, yang menjadi pelaku jual beli pencitraan alias menjadi mafia permainan uang wartawan. 
Siapa tak kenal Fajar (Kompas) yang menjadi kepala mafia uang dari Bank Indonesia dalam permainan uang di kalangan wartawan perbankan?
Siapa tak kenal Kang Budi (Antara News) yang mengatur seluruh permainan uang di kalangan wartawan Bursa Efek Indonesia?
Siapa tak kenal duet Anto (Investor Daily) dan Yusuf (Bisnis Indonesia) yang mengatur peredaran uang wartawan di sektor Industri? 
Banyak lagi lainnya, yang tak perlu saya ungkap disini. Tapi beberapa nama berikut ini, sungguh menyakitkan hati dan pikiran saya, sempat menggoyahkan iman saya, lantas betul-betul membuat saya kehilangan iman. 
Adalah Bambang Harimurti (eks Pimred TEMPO yang kemudian menjadi pejabat Dewan Pers, juga salah satu orang kepercayaan Goenawan Mohamad di grup TEMPO) yang menjadi kepala permainan uang didalam grup TEMPO.
Siapa bilang TEMPO bersih? 
Saya melihat sendiri bagaimana para wartawan TEMPO memborong saham-saham grup Bakrie setelah TEMPO mati-matian menghajar grup Bakrie di tahun 2008 yang membuat saham Bakrie terpuruk jatuh ke titik terendah. Ketika itu, tak sedikit para petinggi TEMPO yang melihat peluang itu dan memborong saham Bakrie.
Dan rupanya, perilaku yang sama juga terjadi pada media-media besar lainnya, seperti yang sebut di atas. 
Memang, secara gaya, permainan uang dalam grup TEMPO berbeda gaya dengan grup Jawapos. Teman saya di Jawapos mengatakan, falsafah dari Dahlan Iskan (pemilik grup Jawapos) adalah, gaji para wartawan Jawapos tidak besar, namun manajemen Jawapos menganjurkan para wartawannya mencari ‘pendapatan sampingan’ di luar. Syukur-syukur bisa mendatangkan iklan bagi perusahaan.
TEMPO berbeda. Kami, wartawannya, digaji cukup besar. Start awal, di angka 3 jutaan. Terakhir malah mencapai 4 jutaan. Bukan untuk mencegah wartawan TEMPO bermain uang seperti yang dipikir banyak orang. Rupanya, agar para junior berpikir demikian, sementara para senior bermain proyek pemberitaan. 
Media sekelas TEMPO, Kompas, Bisnis Indonesia dan sebagainya yang sebut tadi di atas, tidak bermain Receh. Mereka bermain dalam kelas yang lebih tinggi. Mereka tidak dibayar per berita tayang seperti media ecek-ecek. Mereka di bayar untuk suatu jasa pengawalan pencitraan jangka panjang. 
Memangnya, ketika TEMPO begitu membela Sri Mulyani, tidak ada kucuran dana dari Arifin Panigoro sebagai pendana Partai SRI?
Memangnya, ketika TEMPO menggembosi Sukanto Tanoto, tidak ada kucuran dana dari Edwin Surjadjaja (kompetitor bisnis Sukanto Tanoto)? 
Memangnya, ketika TEMPO usai menghajar Sinarmas, lalu balik arah membela Sinarmas, tidak ada kucuran dana dari Sinarmas? Memang dari mana Goenawan Mohamad mampu membangun Salihara dan Green Gallery? 
Memangnya, ketika grup TEMPO membela Menteri BUMN Mustafa Abubakar dalam Skandal IPO Krakatau Steel dan Garuda, tidak ada deal khusus antara Bambang Harimurti dengan Mustafa Abubakar? Saat itu, Bambang Harimurti juga Freelance menjadi staff khusus Mustafa Abubakar. 
Memangnya, ketika TEMPO mengangkat kembali kasus utang grup Bakrie, tidak ada kucuran dana dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang saat itu sedang bermusuhan dengan Bakrie? Lin Che Wei sebagai penyedia data keuangan grup Bakrie yang buruk, semula menawarkan Nirwan Bakrie jasa ‘Tutup Mulut’ senilai Rp 2 miliar. Ditolak oleh bos Bakrie, Lin Che Wei kemudian menjual data ini ke Agus Marto yang sedang berseberangan dengan grup Bakrie terkait sengketa Newmont. Agus Marto sepakat bayar Rp 2 miliar untuk mempublikasi data buruk grup Bakrie tersebut. Grup TEMPO sebagai gerbang pembuka data tersebut kepada masyarakat dan media-media lain, dapat berapa ya? Lin Che Wei dapat berapa? 
Fakta-fakta itu, yang semula begitu enggan saya percayai karena fundamentalisme saya yang begitu buta terhadap TEMPO, sempat membuat saya frustrasi. Kalau boleh saya samakan, mungkin kebimbangan saya seperti seorang yang hendak berpindah agama. Spiritualitas dan mentalitas saya goncang akibat adanya fakta-fakta tersebut. Bukan hanya fakta soal permainan mafia grup TEMPO, tetapi juga fakta bahwa media-media besar bersama wartawan-wartawannya, lebih jauh terlibat dalam permainan uang dan jual beli pencitraan, layaknya jasa konsultan. 
Mereka, media-media besar ini, tidak bermain Receh, mereka bermain dalam cakupan yang lebih luas lagi, baik deal politik tingkat tinggi, juga transaksi korporasi kelas berat. 
Namun semua itu sebetulnya tidak terlalu saya masalahkan, hingga suatu hari saya lihat sendiri bahwa permainan uang dan jual beli pencitraan juga terjadi pada media tempat saya bekerja, TEMPO. Dikepalai oleh Bambang Harimurti sebagai salah satu Godfather mafia permainan uang dan transaksi jual beli pencitraan dalam grup TEMPO, kini tidak hanya bergerak dari dalam TEMPO, tetapi sudah menjadi jejaring antara grup TEMPO dengan para eks-wartawan TEMPO yang membangun kapal-kapal semi-konsultan untuk memperluas jaringan mereka, masih di bawah Bambang Harimurti. 
Saya pribadi, memutuskan resign dari TEMPO pada awal tahun 2013. Muak dengan segala kekotoran TEMPO, kejorokan media-media di Indonesia, kejijikan melihat jejaring permainan uang dan jual beli pencitraan di kalangan wartawan TEMPO dan media-media besar lainnya.
Praktik mafia TEMPO kini semakin menjadi-jadi. 
Agustus lalu, masih di tahun 2013, saya sempat mampir ke Bank Mandiri pusat di jalan Gatot Subroto. Saat itu, saya sudah resign dari grup TEMPO. Tak perlu saya sebut, kini saya bekerja sebagai buruh biasa di sebuah perusahaan kecil-kecilan, namun jauh dari permainan kotor TEMPO. 
Di gedung pusat Bank Mandiri itu, saya memang janjian dengan eks-wartawan TEMPO bernama Eko Nopiansyah yang kini bekerja sebagai Media Relations Bank Mandiri. Ia keluar dari TEMPO dan pindah ke Bank Mandiri sejak tahun 2009, karena dibajak oleh Humas Bank Mandiri Iskandar Tumbuan. 
Pada pertemuan santai itu, hadir juga Dicky Kristanto, eks-wartawan Antara yang kini juga menjabat sebagai Media Relations Bank Mandiri. Kami bincang bertiga. Pak Iskandar, yang dulu juga saya kenal ketika sempat meliput berita-berita perbankan sempat mampir menemui kami bertiga. Namun karena ada meeting dengan bos-bos Mandiri, pak Iskandar pun pamit. 
Sambil menyeruput kopi pagi, saya berbincang bersama Eko dan Dicky. Mulai dari obrolan ringan seputar kabar masing-masing, hingga bicara konspirasi politik dan berujung pada obrolan soal aksi lanjutan TEMPO dalam ‘memeras’ Bank Mandiri terkait kasus SKK Migas.
Saya lupa siapa yang memulai pembicaraan mengagetkan itu, meski sebetulnya kami sudah tidak kaget lagi karena memang kami, kalangan wartawan (atau eks-wartawan) sudah paham betul perilaku wartawan.
Siapapun itu, Eko maupun Dicky menuturkan keluhannya terhadap grup TEMPO. Begini ceritanya. 
“Ketika kasus suap SKK Migas yang melibatkan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini terkuak, saat itu beliau juga menjabat sebagai Komisaris Bank Mandiri. Dan memang harus diakui bahwa aktivitas transaksi suap, pencairan dana dan sebagainya, menggunakan rekening Bank Mandiri. Tapi ya itu kami nilai sebagai transaksi individu. Karena berdasarkan UU Kerahasiaan Nasabah, kami Bank Mandiri pun tidak dapat melihat dan memang tidak diizinkan menilai tujuan dari sebuah transaksi pencairan, transfer atau apapun, kecuali ada permintaan dari pihak Bank Indonesia, PPATK, pokoknya yang berwenang. Oleh sebab itu, kami tidak terlalu memusingkan soal apakah Bank Mandiri akan dilibatkan dalam kasus SKK Migas,” tuturnya. 
“Tiba-tiba, masuklah proposal kepada divisi Corporate Secretary dan Humas Bank Mandiri dari KataData. Itu lho lembaga barunya Metta Dharmasaputra (eks-wartawan TEMPO) yang didanai oleh Lin Che Wei (eks-broker Danareksa). Gua kira KataData murni bergerak di bidang pemberitaan. Eh, nggak taunya KataData juga bergerak sebagai lembaga konsultan. Jadi KataData menawarkan jasa solusi komunikasi kepada Bank Mandiri untuk berjaga-jaga apabila isu SKK Migas meluas dan mengaitkan Bank Mandiri sebagai fasilitator aksi suap,” ungkapnya. 
“Rekomendasinya sih menarik, KataData menawarkan agar aksi suap SKK Migas dipersonalisasi menjadi hanya kejahatan Individu, bukan kejahatan kelembagaan, baik itu lembaga SKK Migas maupun Bank Mandiri. Apalagi, Metta mengatakan bahwa tim KataData juga sudah bergerak di social media untuk mendiskreditkan Rudi Rubiandini dalam isu perselingkuhan, sehingga akan mempermudah proses mempersonalisasi kasus suap SKK Migas menjadi kejahatan individu semata,” jelasnya. 
“Data-data yang ditampilkan KataData memang menarik, karena riset data dilakukan oleh IRAI, lembaga riset milik Lin Che Wei yang menjadi penyedia data utama KataData. Kalau tidak salah waktu itu data utang-utang grup Bakrie yang dibongkar TEMPO juga dari IRAI ya? Itu lho, yang tadinya ditawarin ke pak Nirwan dan karena ditolak kemudian dibayarin Agus Marto Rp 2 miliar untuk menghajar grup Bakrie,” papar dia. 
“Kita sih waktu itu melaporkan proposal tersebut kepada para direksi Bank Mandiri. Dan selama sekitar 2 pekan, memang belum ada arahan dari direksi mau diapakan proposal tersebut. Penjelasan pak Iskandar (humas Bank Mandiri) sih, direksi masih melakukan koordinasi dengan Kementerian BUMN dan pemerintahan. Biar bagaimanapun ini isu besar, salah langkah bisa berabe akibatnya. Gua sih yakin, saat itu bos-bos lagi memetakan dulu kemana arah isu ini sebelum memberikan jawaban terhadap proposal yang masuk. Karena selain KataData juga ada dari pihak-pihak konsultan lainnya,” kata dia.
“Eeh, tau-tau Pak Iskandar bilang, gila, TEMPO makin jadi aja kelakuannya. Masak BHM (Bambang Harimurti) sampai menelpon langsung ke pak Budi (Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin) terkait proposal KataData yang memang belum kita respon karena masih memetakan arah isunya. Secara tersirat kita tau lah telepon itu semacam ancaman halus dari BHM dan KataData bahwa jika tidak segera direspon, maka data-data akan dipublikasi, tentunya dalam cara TEMPO mempublikasi data dong yang selalu penuh asumsi dan bertendensi negatif,” ungkap dia.
“Menurut Pak Iskandar, meski sudah diperingati soal bahaya menolak tawaran (alias ancaman) TEMPO grup adalah terjadinya serangan isu negatif kepada Bank Mandiri, rupanya Pak Budi (Direktur Utama Bank Mandiri) bersikeras tidak takut terhadap grup TEMPO. Penolakan memberikan respon cepat terhadap proposal KataData pun disampaikan kepada BHM (Bambang Harimurti),” singkap dia.
“Alhasil, terbitlah Majalah TEMPO edisi 18 Agustus 2013 dengan judul Setelah Rudi, Siapa Terciprat? yang isinya begitu mendiskreditkan Bank Mandiri dalam kasus SKK Migas. TEMPO membentuk opini bahwa aksi suap Rudi Rubiandini tidak akan terjadi apabila Bank Mandiri tidak memfasilitasinya,” keluh dia. 
“Ini kan semacam pemerasan halus atau pemerasan Kerah Putih dari jejaring TEMPO (Bambang Harimurti), KataData (Metta Dharmasaputra, Eks-Wartawan TEMPO) dan IRAI (Lin Che Wei, Eks-Broker Danareksa dan pendana utama KataData). Begitu edisi tersebut tayang, kita sih tepuk dada saja menghadapi mafia TEMPO dalam memeras korban-korbannya. Biasanya memang begitu polanya. Begitu ada kasus skala nasional, calon-calon korban seperti kita (Bank Mandiri) akan didekati oleh mereka, ditawari jasa konsultan dengan ancaman kalau tidak deal, ya di blow up. Padahal data yang mereka publish tidak sepenuhnya benar. Tapi semua orang juga tau kalau TEMPO sangat pintar memainkan asumsi dan tendensi negatif,” keluh dia. 
Mendengar cerita tersebut, dalam hati saya bersyukur kalau saya sudah tidak lagi menjadi bagian dari TEMPO yang sudah tidak bersih lagi. Mereka sudah menjadi bagian dari praktik mafia permainan uang wartawan dan transaksi jual beli pencitraan. Sama saja dengan media-media lainnya kayak Kompas, Antara, Detik, Bisnis Indonesia, Investor Daily, Jawa Pos dan lain-lain. 
Saya lega sudah dibukakan mata dan tidak lagi buta terhadap TEMPO maupun mimpi saya menjadi seorang wartawan yang bersih. Sulit menjadi bersih di kalangan wartawan. Godaan begitu banyak. Tidak hanya di luar organisasi tempat kamu bekerja, tetapi juga di dalam organisasi tempatmu bekerja. 
Hampir mirip seperti PNS, mengikuti arus korupsi adalah sebuah keharusan, karena jika tidak, karirmu akan mandek. Korupsi yang melembaga tidak hanya terjadi di lembaga pemerintah. Jejaring wartawan, media seperti yang terjadi pada grup TEMPO, meski mereka seringkali memeras dengan ‘kedok’ melawan korupsi, toh kenyataannya grup TEMPO telah menjadi bagian dari praktik mafia permainan uang wartawan dan transaksi jual beli pencitraan. 
TEMPO dan media-media besar lainnya tidak lagi bersih. Korupsi dalam grup TEMPO telah melembaga alias terorganisir, sebagaimana korupsi di organisasi pemerintahan, departemen dan sebagainya.
Saya bersyukur dibukakan mata dan dijauhkan dari dunia itu. Lebih senang dan tenang batin bekerja sebagai buruh biasa seperti yang saya lakukan kini. Insya Allah jauh dari dunia hitam. [selesai]

Atas tulisan di atas Tempo memberikan tanggapan sebagai berikut:
Majalah Tempo bersama lembaga riset KataData dituding melakukan pemerasan terhadap Bank Mandiri berkaitan dengan kasus Rudi Rubiandini. Tudingan itu ditulis oleh penulis anonim dengan nama Jilbab Hitam, yang mengaku bekas wartawan Tempo angkatan 2006, di media sosial Kompasiana, Senin, 11 November 2013. Di tulisan berjudul “TEMPO dan KataData ‘Memeras’ Bank Mandiri dalam Kasus SKK Migas?” disebutkan Direktur Utama PT Tempo Inti Media Tbk Bambang Harimurti menelepon Dirut Mandiri Budi Gunadi Sadikin menanyakan soal proposal KataData, yang menawarkan diri sebagai konsultan komunikasi terkait penangkapan Direktur SKK Migas Rudi Rubiandini. Rudi adalah komisaris bank pemerintah itu.Menurut penulis itu, karena Mandiri tak meloloskan proposal KataData, majalah Tempo lalu menerbitkan laporan bertajuk “Setelah Rudi, Siapa Terciprat?” pada edisi 18 Agustus 2013 dengan gambar sampul Rudi Rubiandini. “Saya malah baru tahu ada proposal Metta (KataData) ke Mandiri dari tulisan ini. Kalau Tempo jauhlah dari memeras. Iklan yang diduga ‘bermasalah’ saja kami tolak kok,” kata Bambang. KataData adalah lembaga riset yang dipimpin Metta Darmasaputra, mantan wartawan Tempo. Menurut dia, staf humas Mandiri, Eko Nopiansyah, yang disebut dalam tulisan itu sudah ditanya, dan membantahnya. “Kata Eko, hoax, dia tak pernah bertemu dengan eks wartawanTempo angkatan 2006, atau angkatan berapa pun, atau yang bukan eks wartawan Tempo, dan membicarakan yang dituduhkan penulis artikel itu,” kata Bambang.

Dari sisi ruh tulisan, jelas tulisan “Jilbab Hitam” lebih kuat, lebih jujur, lebih asli, tidak dibumbui bahasa-bahasa hipokrit dan formalisme. Tidak salah jika orang seperti “Jilbab Hitam” layak diberi anugerah: Media Whistleblower Award.

Oh ya, karena tulisan di atas penting, silakan di-copy dan disimpan. Jangan sampai nanti seperti Kompasiana.com, baru juga tulisan nongol, langsung delete saja. Sayang sekali. Itulah cara “media” membela “sesama media” sekuler.

Oke, terimakasih. Terimakasih juga buat “Jilbab Hitam”. Meskipun banyak orang mencoba meremehkanmu; tapi tulisanmu menceritakan realitas sebenarnya tentang kebobrokan dunia media. Terimakasih sobat.

Cara MetroTipu Menghabisi Prabowo

PeduliFakta.Blogspot.com Metro TV Menghancurkan Prabowo Dengan Teori Kontradiksi Ala Komunis.

Metro TV mengulang-ulang saat Jokowi dan JK mendeklarasikan pencalonannya sebagai calon presiden dan wakil presiden, di Gedung Juang, hanya menggunakan sepeda ontel. Diiringi masa pendukungnya, dan terus dielu-elukan
Akan tetapi Sesekali Metro TV memunculkan gambar Prabowo, dan diselilingi dengan kerusuhan yang terjadi di bulan Mei '98. Kerusuhan Mei '98 sebagai peristiwa yang pahit, dan akan selalu dikenang oleh bangsa Indonesia...

Benar-benar bisa mempengaruhi keyakinan, perasaan, pikiran, dan membentuk persepsi rakyat luas.karena Rakyat atau publik setiap hari dijejali atau dicekoki seakan fakta-fakta yang kontradiksi...

Kelakuan Media Pro Jokowi, TEMPO Dipolisikan Karena Fitnah Pimred RCTI Ditangkap KPK

PeduliFakta.Blogspot.com -- Arya Sinulingga, Pemimpin Redaksi RCTI melaporkan media "Tempo" ke Bareskrim Mabes Polri, Jumat (18/7/2014) pagi, didampingi oleh kuasa hukumnya, Habiburahman.

Kuasa Hukum Arya, Habiburahman menilai pemberitaan tersebut sudah terencana. Dan apa yang diberitakan itu sulit direhabilitasi.

"Ini terencana, beritakan dan seolah-olah meralat. Jadi mereka tahu dan pemberitaan sudah kemana, sulit direhabilitasi hanya dengan penghapusan timline. Sepak terjang mereka sudah diketahui," terang Habiburahman di Bareskrim Mabes Polri.

Lebih lanjut Habiburahman menjelaskan, pihak Tempo ingin mencemarkan nama baik, dan ingin mencoba bersembunyi di balik ketentuan pers.

"Kami laporkan Tempo sebagai media, ya penanggung jawabnya. Kami laporkan karena mereka sudah melanggar produk UU, mulai dari KUHP, UU ITE, UU No 1 tentang penyebaran berita bohong," tegas Habiburahman.

Habiburahman menambahkan pihaknya akan berupaya maksimal untuk memperbaiki nama baik Arya Sinulingga dan Prabowo. "Nama baik dibangun puluhan tahun, bisa runtuh dengan berita bohong yang mereka sebarkan," ujarnya.

MEDIA JANGAN JADI PEMECAH BELAH BANGSA


Pengamat media Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Iswandi Syahputra, khawatir dengan pemberitaan di media massa terkait masalah pemilihan presiden (pilpres). Pemberitaan dinilainya dapat memicu perpecahan di Indonesia.

“Berita media yang bertubi-tubi menerpa masyarakat itu merupakan proses stigmatisasi. Satu kubu bisa membenci kubu lain seperti orang yang bermusuhan. Jika stigma kubu lawan adalah musuh sudah terbentuk, maka tunggulah saatnya terjadi perang saudara,” ujarnya di Jakarta, Rabu (16/7/2014).

Iswandi melanjutkan, sejak awal media telah mengalami polarisasi berdasarkan dukungannya terhadap pasangan capres-cawapres tertentu. Dia pun melihat saat ini hampir tidak ada media yang tidak berpihak.

“Hampir seluruh media sudah berpihak dalam pilpres ini. Mayoritas dari media mainstream terlihat dengan jelas berpihak pada pasangan nomor dua. Berkolaborasi dengan lembaga survei, tiap hari isi beritanya quick count melulu. Ini pasti ada tujuannya,” jelasnya.

Dia menilai keberpihakan media tersebut justru akan menjadi ancaman bagi demokrasi. Salah satunya dalam masalah quick count.

“Media itu diyakini sebagai salah satu pilar demokrasi. Bagaimana media dapat ciptakan iklim demokratis jika dalam pilpres sudah tidak netral dan berpihak. Demikian juga dengan quick count, bagaimana mau quick count mau benar kalau dibayar pasangan tertentu. Ini anomali demokrasi”, jelasnya.

Bahkan saat ini, media massa seperti pihak yang ikut bersaing dalam pilpres. Sesama media saling menjatuhkan. Padahal media memiliki kekuatan membentuk opini publik. Di tingkat bawah, berita media bisa dipegang sebagai nilai baik dan buruk oleh masyarakat.

“Masyarakat jadi bisa terpicu konflik jika media ikut-ikutan mendukung pasangan tertentu. Media membuka jalan bagi terciptanya perang saudara,” ucap mantan komisioner KPI itu.

Untuk itu Iswandi menghimbau, dalam kondisi politik sudah panas saat ini, sebaiknya media menjalankan fungsi jurnalisme damai. “Jangan memanasi situasi, tapi beri solusi. Buatlah berita dengan pertimbangan ‘jika’ ‘maka’. Jika saya beritakan ini maka dampaknya seperti ini,” katanya

Ia mengingatkan, negara Yugoslavia tutup usia pada umur 88 tahun demikian juga Uni Soviet yang besar dan kokoh bubar pada umur 74 tahun karena konflik. “Mengerikan sekali jika Indonesia bubar menjelang usia 69 tahun akibat perang saudara dan itu terjadi karena media ikut memanasi situasi,” tandasnya.

Hanibal Wijayanta: Media Massa dan Perubahan Sosial

Hanibal Wijayanta  )*

Wartawan  Utama,  Produser Eksekutif  Liputan  ANTV
Menurut  catatan sejarah,  media  massa  terbukti  mampu  mendorong dan  mengubah kondisi sosial  masyarakat.  Dengan pemberitaan  yang kontinyu, terarah  dan  sistematis, pers  mampu  mempengaruhi pilihan,  sikap  dan  opini masyarakat. Media  massa  juga  bisa  membujuk pembaca  dan  pirsawan, dengan  merangsang  emosi, perasaan  serta  pikiran mereka  lewat  berbagai pendapat  dan  komentar. Mereka  juga  bisa  memberikan  status legitimasi  terhadap  sesuatu hal.  Media  massa  juga  bisa  mendefinisikan  dan  membentuk  persepsi atas  realitas  tertentu kepada  para  pembaca. 

Karena  itu,  sejak  dulu  banyak  orang, penguasa, dan kelompok kepentingan,  memanfaatkan  media  massa  sebagai corong,  alat,  dan  mesin propaganda rekayasa  sosial.  Paul  Joseph  Goebbels,  Menteri Propaganda  Nazi  Jerman adalah  contoh  gamblang pemanfaatan  media  sebagai mesin  rekayasa  sosial.  Goebbels  adalah pelopor  dan  pengembang teknik  propaganda  Argentum  ad  nausem  atau  teknik  Big  Lie (kebohongan  besar). 

Prinsip  utama  teknik  ini  adalah  menyebarluaskan  berita bohong  melalui  media  massa  sebanyak mungkin  dan  sesering mungkin  sehingga  kebohongan itu  kemudian  dianggap sebagai  suatu  kebenaran. Cara  ini  cukup  sederhana,  namun  sangat  efektif dan  mampu  mengubah persepsi,  serta  pada  gilirannya  mengubah sikap  dan  perilaku masyarakat.  Dengan  memobilisir media  massa,  Goebbels membentuk  persepsi  Bangsa Jerman  adalah  ras  terbaik,  dan  Bangsa  Yahudi ras  terkutuk  yang  harus  dilenyapkan. 

Di  Indonesia, pers  juga  berfungsi sebagai  alat  rekayasa sosial.  Perubahan  terjadi sesuai  perkembangan  zaman. Di  masa  pergerakan, pers  menjadi  media  perlawanan  terhadap penjajah.  Media  menjadi penyemai  faham  nasionalisme. Coba  tengok  pamflet-pamflet,  koran, dan  majalah  di  zaman  Belanda seperti  Bintang  Timur, Cahaya  Asia,  Pasundan, Djawa,  Panjebar  Semangat dan  sebagainya.  Saat  itu  media  massa  menjadi agen  perubahan  sosial untuk  meraih  kemerdekaan.

Begitu  Indonesia merdeka  dan  partai politik  tumbuh,  pers  menjelma  menjadi alat  partai.  Koran, majalah  dan  kantor berita  menjadi  organ  partai,  mesin  agitasi  dan  propaganda,  demikian pula  wartawannya.  Harian Rakyat  menjadi  koran  onderbouw  Partai Komunis  Indonesia  (PKI), Merdeka  corong  Partai Nasionalis  Indonesia  (PNI), Abadi  media  Partai  Masyumi,  Partai Sosialis  Indonesia  (PSI)  punya  harian Indonesia  Raya  dan  Pedoman,  Nahdlatul Ulama  eksis  dengan koran  Duta  Masyarakat, dan  sebagainya.  Tiap  hari,  koran  hadir  dengan slogan  partai,  polemik, dan  debat  yang  berpihak  kepada partai  mereka.  Saat  itu  media  massa  menjadi pengarah  opini  dan  pembentuk  persepsi massa  sebagaimana  dikehendaki partai.

Ketika  Orde  Baru  menancapkan kekuasaan,  breidel  media  massa,  penangkapan dan  penahanan  wartawan atas  tuduhan  merongrong kewibawaan  pemerintah  sering terjadi.  Karena  tekanan bertubi-tubi,  wartawan,  pers  dan  media  massa  kompak tiarap.  Self-censorship  menjadi  lumrah, budaya  telepon  dimaklumi. Karena  takut  pada  hantu  breidel dan  tekanan  penguasa, pers  di  masa  Orde  Baru  bereinkarnasi.  Pers  berubah  menjadi penganjur  pembangunan,  corong penguasa,  dan  penyebar ide  kekaryaan  ala  Orde  Baru.  Dalam  keadaan ini,  pers  menjadi alat  rekayasa  sosial rezim  Orde  Baru.

Angin  segar  berhembus  saat  musim  reformasi tiba.  Seiring  keruntuhan Orde  Baru,  setelah tiga  dasa  warsa  dikerangkeng,  pers  akhirnya  ‘dibebaskan’. Surat  Izin  Terbit (SIT),  Surat  Izin  Usaha  Penerbitan Pers  (SIUPP)  dan  segala  tetek  bengek  perizinan dihapus.  Media  massa  menjadi  bebas, terbuka,  merdeka,  dan  berani  memberitakan hal-hal  tabu  menurut Orde  Baru.  Era  reformasi  membuka kesempatan  pers  memberitakan berbagai  konflik  sosial, kerusuhan  dan  kasus  penyalahgunaan  wewenang dari  berbagai  angle, tanpa  perlu  takut  bakal  dijewer pemerintah,  Departemen  Penerangan, maupun  tentara.  Saat  itu,  pers  menjadi  idola  masyarakat  yang  sekian  lama  terbelenggu  kekuasaan dan  menuntun  masyarakat menjadi  melek  informasi. 

Namun,  ketika keterbukaaan  makin  marak, faham  kebebasan  juga  makin  berkembang. Di  masa  ini,  sebagian  awak  pers  seolah kehilangan  orientasi.  Saking bebasnya,  mereka  kadang keblinger,  berlebihan  dan  bahkan  sering merasa  paling  benar  sendiri.  Tanpa  konfirmasi,  tanpa  cek  dan  ricek,  tanpa  mengedepankan  prinsip cover  both  side,  mereka berani  menurunkan  berita peka.  Di  masa  ini,  dengan enteng  pers  menerabas kode  etik,  melanggar prinsip  moralitas,  dan  pornografi  pun  merajalela. 

Sebagian  dari  mereka  kemudian hanya  mengikuti  keinginan pemilik  modal  dan  menyajikan  berita yang  ‘pokoknya  laku’  tanpa  peduli isi,  kualitas  dan  memaksakan  logika. Sementara  itu,  yang  lain  justru terjebak  perang  opini  para  pejabat, pemangku  kepentingan,  dan  kelompok  penekan yang  bebas  berkoar, sementara  pers  tak  mampu  memfilter pendapat  mereka.  Parahnya, jika  selama  puluhan tahun  bedil  dan  penjara  menjadi penakhluk  wartawan,  pers,  dan  media, kini  kibasan  cek  dan  gepokan rupiah  sangat  efektif menundukkan  kegalakan  mereka. 

Parahnya, jika  selama  puluhan tahun  bedil  dan  penjara  menjadi penakhluk  wartawan,  pers,  dan  media, kini  kibasan  cek  dan  gepokan rupiah  sangat  efektif menundukkan  kegalakan  mereka.
Dalam  kondisi ini,  peran  pers  sebagai  agen  perubahan  sosial tetap  berfungsi.  Namun, perubahan  sosial  yang  diembannya  bisa  melenceng  dan  menyimpang  dari  nilai  luhur  kemanusiaan,  etika, dan  agama.  Faham-faham aneh  bertebaran,  ide-ide melenceng,  dan  kesesatan berpikir  merajalela.  Sementara, mereka  yang  bergandengan tangan  dengan  pemilik modal,  penguasa  atau  kelompok  kepentingan juga  tak  lagi  berpihak  kepada kebenaran  sejati.  Kondisi semakin  parah  ketika pers  menjadi  sekadar tukang  foto  kopi,  tukang  gong,  pemberi  stempel dan  penyalur  ludah  narasumber  tanpa  pernah  mengkaji, menelaah  dan  menyaring informasi  secara  benar. 

Kini,  menjelang Pemilu  Presiden  2014,  masyarakat  disuguhi berbagai  media  yang  cenderung  berpihak. Seperti  yang  terjadi di  tengah  masyarakat dan  elit  penguasa, kini  media  massa  pun  terbelah. Media  yang  dimiliki bowheer  pendukung Calon  Presiden  A,  tulisan  atau  siarannya  cenderung berisi  puja-puji  untuk  kontestan  A,  dan  caci-maki bahkan  fitnah  kepada kontestan  B.  Sebaliknya media  milik  konglomerat pendukung  Calon  Presiden B,  tulisan  atau  siarannya  berisi puja-puji  untuk  kontestan B,  dan  berita buruk  serta  tudingan miring  ke  kontestan A.  Walhasil  isi  media  kini  penuh  dengan berita  panas,  insinuasi, provokatif,  dan  tidak  seimbang.   
Tak  hanya  karena  dimiliki milyarder  pendukung  Calon  Presiden,  para  wartawan  pun  terbelah  karena kecenderungan  dukungan  pribadi. Biasanya  dukungan  terbangun karena  kedekatan  mereka dengan  masing-masing  Calon, Partai  Pendukung,  atau  tokoh-tokoh  pendukung masing-masing.  Ada  juga  wartawan  dan  media  yang  menyatakan  keberpihakan mereka  karena  merasa lebih  sreg  dengan Calon  tertentu  dan  tidak  percaya kepada  Calon  lain.  Sedikit  banyak, dukungan  mereka  tercermin pada  produk  pers  dan  penyikapan mereka  terhadap  berbagai isu.  Media  sosial yang  kini  marak, semakin  menegaskan  kecenderungan keberpihakan  para  wartawan secara  pribadi.   

Sebagian  wartawan dan  media  massa  masih  mencoba bersikap  wajar  dengan sekadar  berkomentar  dan  menjelaskan  posisi mereka.  Namun  kini  banyak  di  antara  media  yang  dengan lantang  menyatakan  sebagai pendukung  kontestan  tertentu. Bahkan  ada  yang  memposisikan  diri  sebagai  endorser, tim  sukses,  dan  bahkan  seakan-akan menjadi  propaganda  officer  laksana  Joseph  Goebbels,  dengan turut  bermanuver  serampangan, brutal,  dan  ugal-ugalan. Tentu  saja  perkembangan ini  sangat  memprihatinkan. 

Padahal,  pers,  media  massa, dan  wartawan,  telah  ditahbiskan  sebagai watchdog  alias  anjing  penjaga demokrasi.  Pers  juga  sering  dijuluki sebagai  the  fourth  estate alias  pilar  keempat negara.  Dia  juga  dijuluki  sebagai ujung  tombak  perubahan sosial  atau  the  agent  of  social changes,  dan  bahkan merekalah  the  servants  of  the  thruth atau  para  pengabdi kebenaran. 

Dengan  serangkaian predikat  itu,  sudah  selayaknya  wartawan  dan  media  mengambil posisi  netral,  setia  kepada  profesi yang  mewajibkan  dia  tidak  berpihak kepada  siapa  pun,  dan  setia  kepada  pilihan hidup  untuk  menjadi pengawal  kebenaran.  Belum  lagi  jika  kita  mencermati pernyataan  Pemimpin  Perancis Napoleon  Bonaparte:  “A  journalist is  a  grumbler, a  censurer,  a  giver  of  advice,  a  regent  of  sovereigns,  a  tutor  of  nations.  (Seorang wartawan  adalah  penggerutu, tukang  kritik,  pemberi saran,  pemilik  kedaulatan, guru  bangsa).
Namun,  serangkaian julukan  hebat  itu  kini  seolah hanya  menjadi  mitos. Banyak  insan  pers  terjangkiti  sindrom heroisme  gara-gara  julukan-julukan  wah  tadi.  Sindrom ini  sering  berubah menjadi  penyakit  akut.  Meski  tak  semua,  banyak wartawan  dan  media  yang  secara sengaja  memposisikan  diri  tinggi,  dan  merasa  jumawa dengan  berbagai  label  yang  terlanjur diberikan.  Sindrom  heroisme ini  juga  memunculkan semacam  ilusi  kekebalan di  kalangan  insan  pers  dan  media  massa, sehingga  dengan  enteng memprovokasi,  memancing,  dan  memberitakan  hal-hal sumir  dan  insinuatif. 

Ada  sementara wartawan  merasa  seolah bisa  melanggar  aturan, etika,  norma,  maupun undang-undang,  karena  merasa memiliki  ‘vaksin  kekebalan’ yang  tak  dimiliki kalangan  lain.  Insan  pers  kadang merasa  memiliki  ‘kasta’ lebih  tinggi  dari  pada  profesi lain,  sehingga  sering mengharap  fasilitas  dari  pemegang  oritas, kekuasaan  atau  masyarakat. Padahal,  profesi  wartawan sama  seperti  profesi lain.  Wartawan,  jurnalis, reporter,  juga  manusia. Mereka  bisa  lupa,  salah  dan  khilaf,  serta  harus  tetap  menaati  hukum, norma,  etika,  dan  peraturan. 
Melihat  kiprah sebagian  jurnalis,  pers,  dan  media  menjelang  Pemilu Presiden  2014  ini,  tak  pelak  lagi  bahwa  situasi  panas  di  tengah masyarakat  ini  tak  lepas  dari  peran  media. Selain  berbagai  berita, iklan  yang  mondar-mandir menghiasi  layar  televisi, terdengar  di  radio, terpampang  di  halaman media  cetak,  dan  muncul  di  media  internet, turut  membentuk  persepsi masyarakat  tentang  cita-cita, keinginan,  harapan  di  masa  depan, serta  para  pemimpin yang  mereka  harapkan. Namun,  media  pun  telah  menguak sisi  gelap  persepsi masyarakat,  sikap  atas  perbedaan  pendapat, faham  dan  keyakinan yang  berbeda,  serta  pensikapan  yang  beragam  terhadap berbagai  hal  yang  menyangkut  peri  kehidupan  mereka. 

Sungguh  sangat  menggembirakan jika  media  massa  mampu  mengarahkan, mengubah  dan  membentuk masyarakat  Indonesia  menjadi lebih  baik  dengan berbagai  silang  pendapat yang  berkecamuk  menjelang Pemilu  Presiden  2014  ini.  Tapi  betapa  mengerikannya jika  media  massa  dan  wartawan justru  menjadi  penyumbang terbesar  bagi  perpecahan dan  kehancuran  negeri ini.


Perbedaan Jokowi, Prabowo, dan SBY dalam Menyikapi Kritik Media

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendudukan dan penyegelan kantor TV One oleh massa PDIP dan pendukung Jokowi-JK menunjukkan bagaimana sikap Jokowi dan pendukungnya terhadap kritikan. Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah Pangi Syarwi Chaniago memaparkan perbedaan menyikapi kritikan antara Jokowi, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Prabowo Subianto.

Menurut Pangi, cara-cara pihak Jokowi menduduki dan menyegel stasiun TV One bertolak belakang dari komentar Jokowi selama ini yang menjunjung kebebasan pers. "Kalau caranya seperti ini apakah nanti ketika Jokowi berkuasa berita-berita kritis disensor semua atau media tersebut dicabut izinnya oleh Jokowi. Sekarang belum jadi presiden saja sudah main kepung," kata Pangi kepada Republika, Kamis (3/7).

Pangi menilai, kubu Jokowi telah gagal membentuk opini publik. Ia menyesalkan sikap dari Sekjen PDIP sekaligus ketua tim pemenangan Jokowi-JK Tjahjo Kumolo yang ikut membolak-balik emosional pemilih sehingga massa PDIP berbuat anarkis.

Menurut Pangi, hal tersebut berbeda dengan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat berkuasa. Partai Demokrat yang didirikan SBY dan menjadi partai penguasa kerap menjadi sasaran kritik dari berbagai media mulai dari masalah korupsi hingga masalah Cikeas. "Namun SBY tak membredel atau mencabut izin media yang mengkritiknya. Jokowi dan PDIP belum teruji. SBY lebih demokratis," kata Pangi.
Sikap Jokowi dan pendukungnya juga berbeda dengan Prabowo Subianto. Selaku calon presiden, Prabowo pernah dituding berbagai kritikan. Mulai dari dituduh penculik, pembunuh, hingga psikopat, namun Prabowo tetap diam dan tak ada reaksi marah di depan publik.
Seperti diketahui, Puluhan orang yang mengatasnamakan relawan pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mendatangi Kantor TV One di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur, Kamis (3/7) dini hari. Kedatangan mereka untuk melakukan protes atas pemberitaan yang menyebut Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merupakan sarang komunis. Selain stasiun TV One di Jakarta, massa PDIP juga telah menduduki dan menyegel stasiun TV One yang ada di Yogyakarta.

Aksi massa tersebut tak terlepas dari pernyataan Sekretaris Jendral DPP PDI Perjuangan sekaligus ketua tim pemenangan Jokowi-JK Tjahjo Kumolo yang  menyerukan seluruh kader partai berada dalam posisi siaga satu. Seruan ini menyusul pemberitaan di stasiun televisi TV One yang memberi kesan PDI Perjuangan mengusung kader Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Sikap saya sebagai sekjend partai anggota kader PDI Perjuangan segera kami siaga satu," kata Tjahjo dalam keterangan pers yang dikirimkan Kepala Humas Protokoler DPP PDI Perjuangan, Giyanto, Selasa (2/7).

Tjahjo mengatakan pemberitaan TV One yang menyebut PDIP kawan PKI dan musuh Angkatan Darat merupakan fitnah dalam situasi krisis. Dia mengatakan saat ini PDI Perjuangan sedang menyiapkan surat izin ke Polda Metro Jaya untuk mengepung Studio TV One. "Disiapkan segera mengepung studio TVone- surat Ijin ke Polda Metro kami siapkan," ujar Tjahjo.
Memperkosa Berita ala Metro Tv

Memperkosa Berita ala Metro Tv

Sebagaimana terpantau pada pemberitaan online, hari ini (27/5) banyak dijumpai gelaran atau agenda politik khususnya dalam rangka persiapan menjelang Pilpres 2014. Hari libur Isro Mi’roj ini memberikan sedikit keleluasaan untuk juga mengikuti pemberitaan di televisi. Sudah menjadi rahasia umum bagi siapapun di republik ini tentang cerita “keberpihakan” dua media televisi yang notabene adalah sama-sama televisi berita. Sebut saja, Metro tv dan tvOne, dua-duanya bisa dikatakan 11-12, setali tiga uang, sama saja.
Kali ini fokus perhatian adalah pada Metro tv yang kebetulan kualitas gambarnya di area saya tinggal dapat ditangkap lebih bagus ketimbang tvOne. Kebetulan lainnya adalah Metro tv memulai “pertarungan berita”-nya lebih awal hari ini (sekira pukul 11) yaitu dengan tayangan live “Rakernas Partai Nasdem” yang dihadiri tokoh-tokoh partai koalisi (baca: kerjasama/gotong royong), beserta Capres-Cawapres yang juga turut hadir. Itulah yang membuat mata ini tertuju pada pemberitaan di Metro tv dan enggan beranjak untuk beberapa saat lamanya.
“Memperkosa berita” sebagaimana judul dari tulisan ini bukanlah pemberitaan pada saat Rakernas Partai Nasdem tersebut melainkan sekira beberapa saat setelah acara tersebut berakhir, yaitu manakala pemberitaan beralih pada “dukungan artis”, kurang lebih begitu judul berita tersebut. Beruntung pemberitaan ini bersifat live sehingga dapat lebih dinikmati suasana liputannya. Sekiranya liputan akan menayangkan rencana kedatangan “capres tertentu yang diusung” ke Gang POTLOT yang merupakan salah satu markas artis atau musisi itu. Membaca judul pemberitaan yang disertakan tersebut, opini publik termasuk saya sudah barang tentu menanti-nantikan bentuk dukungan seperti apa yang dimaksud, apakah dalam bentuk deklarasi atau bagaimana. Belakangan diketahui bahwa bentuk “dukungan” tersebut adalah dengan penyerahan manifesto serta kesediaan tampil dalam keadaan mendesak (baca: terancam kalah).
Yang menarik adalah, sebelum acara inti tersebut disuguhkan, dalam liputan live pula, Prita Laura menampilkan wawancara dengan para Slankers (fans dari Slank) yang sedang nongkrong di Gang Potlot yang merupakan markas kebanggaan mereka tersebut. Sebagai pengantarnya, Prita sempat bercerita sedikit seputar group musik Slank yang didukung oleh komunitas Slankers di seluruh Indonesia. Prita mengatakan pula bahwa Slank beserta komunitas Slankers ini memiliki sisi potensial untuk menjadi sebuah partai politik, begitu kelakarnya. Dikelilingi oleh sekira lima orang Slankers, Prita Laura kemudian menanyakan seputar dukungan Slank dan juga menggali apakah para Slankers akan mengikuti group musik Slank yang mereka idolakan itu.
Disinilah awal mula munculnya jawaban yang tidak sesuai dengan harapan (baca: nyeleneh) dari para Slankers. Mereka mengatakan bahwa belum tentu dukungan politik mereka akan sama dengan para personel Slank. Menanggapi jawaban yang sepertinya diluar harapan (unexpected answer) tersebut, dengan mimik yang sedikit berubah, Prita mencoba lagi mengulang pertanyaan yang kurang lebih sama ke Slankers lainnya hingga 2 atau 3 kali berganti mic. Namun, lagi-lagi jawabannya mirip-mirip, kali ini lebih tegas lagi, mereka para Slankers mengatakan bahwa komunitasnya merupakan komunitas yang sudah demokratis dan saling menghormati pilihan satu sama lainnya. Yang menjadi lucu adalah, opini bahwa Slankers akan mengikuti Slank ini justru dimunculkan berulang-ulang oleh Prita Laura dan dibawa dalam sesi selanjutnya yaitu dalam diskusi dengan pengamat, meski sudah dibantah sendiri oleh para Slankers pada sesi wawancara sebelumnya.
Sikap yang ditunjukkan Prita seperti ini tidaklah menunjukkan sebuah penggalian berita yang alami (naturalistic inquiry) yang seharusnya dimiliki oleh para jurnalis profesional seperti dirinya. Mungkin, apa yang dikatakan oleh ‘bos’ Metro tv sendiri, Surya Paloh, dalam Rakernas pagi harinya belum betul-betul dipahami oleh para jurnalisnya. Surya Paloh dengan tegas dan berapi-api mengatakan bahwa “katakan yang benar itu benar dan yang salah itu tetap salah.” Statemen seperti inilah yang seharusnya dapat diinternalisasikan oleh seluruh kru pemberitaan Metro tv sehingga berita yang didapat juga benar-benar berita yang berbobot dan tidak berpihak. Dalam hal ini, mau tidak mau, sudah seharusnya mereka belajar dari para Slankers yang lebih mempunyai prinsip dan lebih demokratis dari hanya sekadar menjadi “boneka” ataupun pem-beo.
Kejadian lucu hari ini mengenai pemberitaan di Metro tv nampaknya tidak berhenti disitu saja. Di acara berita utama Metro tv, ada satu lagi berita yang kebetulan tertangkap mata dan sulit akal ini untuk bisa memahami logika bahasa yang diberikan. Berita itu diberi judul yang kurang lebihnya adalah “Sultan menolak tawaran jurkam (kubu tertentu).” Dari judul ini, harapan saya akan berita yang muncul selanjutnya adalah sosok Sultan yang mengatakan dengan tegas ataupun eksplisit bahwa saya menolak tawaran menjadi jurkam, dsb.
Alih-alih mendapatkan berita seperti itu, justru tidak ada satu katapun yang dapat menjadi pembenaran untuk judul yang telah diberikan itu. Logikanya adalah, Sultan sudah mendapat tawaran dan kemudian ditolaknya. Namun, yang terjadi, Sultan sama sekali belum mendapatkan tawaran, “enggak… belum…” itulah tanggapan yang dilontarkan Sultan atas pertanyaan para pemburu berita.
Dengan demikian, sudah selayaknya kata “tawaran” itu dihilangkan dari judul berita yang digunakan Metro tv sebagai propaganda penggiringan opini tersebut. Memang, dalam beberapa pemberitaan online, pemberitaan serupa juga bermunculan seperti dari Tribunnews dengan judul “Sultan Tolak Jadi Jurkam …”, atau juga Vivanews dengan judul “Terganjal UU, Sri Sultan Batal Jadi Jurkam …”. Namun, kedua pemberitaan online tersebut dirasa sudah tepat dengan mengaitkan statemen Sultan tersebut dengan pernyataan Ketum partai tertentu yang memang berniat menggandeng Sultan menjadi jurkam. Mereka serta tidak memunculkan kata baru “penawaran” sebagaimana dilakukan Metro tv. Sekali lagi, itu baru sebatas niatan (yang bersifat pasif) dan belum diwujudkan dalam bentuk tawaran (yang cenderung bersifat aktif). Oleh karenanya, kata “tawaran” menjadi sangat tidak relevan dengan konteks pemberitaan yang dimaksud. Mungkin ada kalanya, sekali lagi, para pekerja media yang bernaung di bawah Metro tv agar dapat lebih menghayati atau mencamkan kata-kata yang dikeluarkan oleh atasan mereka sendiri: “Katakan yang benar itu benar, dan yang salah itu adalah salah”.

(Roko Patria Jati)