PEDULI FAKTA

Twitter @PeduliFakta

Tampilkan postingan dengan label Hanibal Wijayanto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hanibal Wijayanto. Tampilkan semua postingan
Klarifikasi Hartono Ahmad Jaiz Soal Berita 'ISIS Mau Ngebom Borobudur'

Klarifikasi Hartono Ahmad Jaiz Soal Berita 'ISIS Mau Ngebom Borobudur'

- Ustadz Hartono Ahmad Jaiz menampik tudingan sejumlah media liberal mainstream yang memberitakan soal Mujahidin Islamic State of Iraq and Sham (ISIS) yang kini menjadi IS (Islamic State) atau Daulah Islamiyah di Suriah.

Apa masalahnya?

Seperti yang ramai diberitakan sejumlah media nasional Detik.com, Viva.co.id, Metro TV, Sindonews.com serta Tribunnews.com konon berdasarkan ucapan Ustadz Hartono Ahmad Jaiz bahwa 'ISIS akan meledakkan Candi Borobudur' di Magelang, Jawa Tengah.

Benarkah?

Asal muasal ucapan Ustadz Hartono Ahmad Jaiz tak lain karena status yang diunggah pada tanggal 15 Agustus di Fanpage Facebook berjuluk “We Are Islamic State” 2014.

Berikut kutipan tulisan tersebut:

“Insya Allah akan dihancurkan oleh Mujahidin Khilafah Islamiyah!!!” demikian kutipan status tersebut sembari memuat artikel berjudul “Proyek Patung-patung di Indonesia Penghamburan Dana Demi Menabung Dosa” yang ditulis oleh Ustadz Hartono Ahmad Jaiz. Namun status yang telah lebih dari satu bulan diunggah ini sudah raib dari linimasa FB tersebut.

Menanggapi tudingan ini Ustadz Hartono mengirimkan klarifikasinya kepada Voa-Islam.com

Ustadz Hartono mengirimkan email klarifikasi kepada Voa-Islam agar tanggapannya atas simpang siur berita tersebut dimuat oleh Voa-Islam.com.

Ustadz menyatakan bahwa status yang diunggah itu adalah berasal dari tulisan lama yang ditulis dan telah dicetak pada 2007 silam.

Nah lho?

Ia menjelaskan bahwa itu diambil dari buku yang ditulisnya sendiri pada tahun 2007 berjudul Nabi-nabi palsu dan Para Penyesat Umat, yang diterbitkan Pustaka Al-Kautsar.

Demikian penjelasan Ustadz Hartono Ahmad Jaiz soal character assasination yang dialamatkan kepadanya, ia menyatakan bahwa ia sama sekali tidak terkait dengan kelompok mujahidin ISIS apalagi berencana meledakkan candi Borobudur. “Isu tersebut adalah bagian dari ISIS kemudian mau meledakkan Borobudur itu tidak benar."
Kejanggalan Isis Akan Mengancurkan Borobudur:

Jika umat Islam peka pada kegegabahan media sekuler mainstream ini sesungguhnya patut diduga ada yang memesannya, karena setidaknya ada lima kejanggalan.
1. Fanpage dibuat 14 Agustus 2014 dan kini sudah dihapus
Keanehan pertama, fanpage Facebook “We Are All Islamic State” baru dibuat pada Kamis, 14 Agustus 2014. Pada Jum’at, 15 Agustus 2014, fan page yang kini disukai 750 facebooker itu mengunggah status yang menyatakan Candi Borobudur akan dihancurkan oleh Mujahidin Khilafah Islamiyah. Anehnya, ia langsung diberitakan oleh Tribunnews dan Yahoo hari itu juga. Dan hari ini diberitakan oleh Sindonews.

Laman itu pun menjadi cepat populer setelah diberitakan ketiga media tersebut. Lebih dari 7000 facebooker menyebarkan berita “Rencana ISIS Menghancurkan Candi Borobudur Beredar di Media Sosial” di Tribunnews. Jadilah isu itu menyebar cepat di media sosial, termasuk juga Twitter dan Kaskus. Bahkan, ada pula informasi bahwa isu dari fan page itu telah masuk ke media cetak pagi tadi.

Mengapa laman Facebook yang baru berumur puluhan jam dijadikan sumber berita dan bagaimana media-media itu menemukannya dengan cepat? Mempertimbangkan kredibilitas sumber berita dan faktor lainnya, bukankah ini janggal? seperti dilansir beritapopuler.com.
2. Mencatut Arrahmah.com
Dalam status “Inshaa Allah, akan di hancurkan oleh Mujahidin Khilafah Islamiyah !!!” bergambar Candi Borobudur itu, fan page “We Are All Islamic State” menyertakan artikel yang dirilis oleh Arrahmah.com pada Jum’at (14/8/2014) pagi. Tidak tahukah admin fan page bahwa Arrahmah adalah media yang gencar menolak ISIS?
3. Mencatut tulisan buku Ustadz Hartono Ahmad Jaiz yang dicetak 2007 silam
Artikel tentang haramnya patung yang disertakan fan page “We Are All Islamic State” dalam status tersebut adalah tulisan Hartono Ahmad Jaiz.

Ustadz menyatakan bahwa status yang diunggah itu adalah berasal dari tulisan lama yang ditulis dan telah dicetak pada 2007 silam, diambil dari buku yang ditulisnya sendiri pada tahun 2007 berjudul Nabi-nabi palsu dan Para Penyesat Umat, yang diterbitkan Pustaka Al-Kautsar.

4. ISIS, pengalihan isu atau mendiskreditkan Islam dan jargon Khilafah Islamiyah
Isu ISIS terus digoreng dan terkesan dibesar-besarkan oleh sejumlah media dan pihak-pihak tertentu. Isu ISIS terbukti mampu mendominasi pemberitaan melebihi isu tentang kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel di Gaza dan isu kecurangan Pilpres. Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) TNI Djoko Santoso termasuk salah satu pihak yang mencurigai isu ISIS adalah bagian dari pengalihan isu.

Selain itu, isu ISIS juga dicurigai sebagai alat untuk mendiskreditkan Islam, terutama yang menghendaki penerapan Islam secara kaffah. Dengan gencarnya pemberitaan ISIS, Islam bisa diidentikkan dengan kekerasan dan simbol-simbol Islam bisa diidentikkan dengan terorisme.

5. Teroristainment Dibangkitkan Secara Sistematis

Seperti ditulisa Voa-Islam sebelumnya, Hanibal Wijayanta dalam diskusi Dewan Pers, Wartawan Utama dan Produser Eksekutif Liputan ANTV ini  telah meliput penanganan kasus terorisme yang berbeda-beda, yakni sebelum Bom Bali I, setelah Bom Bali I Hingga Bom Marriott II, dan setelah Bom Marriott II.

"Sebagai informasi tambahan yang penting dan detail tentang beberapa kasus penanggulangan terorisme oleh polisi dan BNPT dari aparat lain --intelejen, militer, kejaksaan, maupun dari kepolisian sendiri-- dari sudut pandang mereka, juga saya paparkan sedikit, dengan maksud bahwa sebenarnya masalah terorisme juga ada dalam pantauan institusi lain." ungkap Hanibal.

Hanibal memaparkan juga bahwa "dari sepak terjang aparat kepolisian itu sebenarnya beberapa jenderal, agen utama intelijen, maupun perwira menengah yang selalu saya mintai pendapat setiap ada kasus, juga menemukan beberapa petunjuk bahwa beberapa kasus penanganan terorisme telah ditangani secara tidak pas."

Saya juga mengungkapkan perilaku kebanyakan wartawan kita yang tidak kritis, tidak curious terhadap informasi tunggal yang diberikan aparat.

Hanibal mengungkapkan "perilaku kebanyakan wartawan kita yang tidak kritis, tidak curious terhadap informasi tunggal yang diberikan aparat. Banyak pula wartawan yang malas riset, malas mengamati perilaku aparat, saksi, maupun saksi abal-abal. Kecenderungan wartawan yang tidak pernah membaca latar belakang besar di balik berbagai kasus terorisme juga saya singgung. Adanya praktek "embedded journalism" yang dilakukan oleh dua televisi berita juga saya ungkap, dan saya ceritakan juga kelucuan yang sering terjadi. Sayang kawan dari salah satu televisi berita kemudian meninggalkan arena diskusi, sementara kawan dari TV satunya memilih duduk manis sambil senyam-senyum saja sampai akhir acara."

Hanibal kembali mengungkapkan "bahwa karena berbagai kejanggalan yang kasat mata itu, sebenarnya sebagian wartawan yang kritis mulai faham dan kemudian merasa malas untuk meliput kasus terorisme. Apalagi mereka juga menemukan pola-pola ciduk-pelihara-sikat dan bobok celengan yang semakin jelas dalam kasus-kasus terakhir. Malangnya, para korban seperti Pak Tony ikut kena dampak. Mereka jadi seolah dilupakan sama sekali."

Sebagai closing statement, "Saya juga ungkapkan bahwa banyak pejabat, bekas pejabat dan aparat militer maupun polisi yang telah mendukung saya untuk membukukan berbagai pengalaman liputan kami, tapi hingga kini saya belum sempat untuk merangkum semua kisah itu. Yang jelas, saya ingin negeri ini menjadi semakin baik, saya tak ingin kita panen bom terus-terusan sebagaimana terjadi sejak tahun 2000-an hingga awal tahun 2014, sementara para pelaku/so called terroris sesungguhnya hanya bagian dari korban permainan yang lebih rumit lagi."
Lagi-lagi mudahnya konspirasi jaringan media sekuler mendeskreditkan umat Islam, dosa atas fitnah pada Ustadz Hartono Ahmad Jaiz ini akan tercatat sebagai sejarah bahwa ketimpangan media sekuler pada umat Islam terus dipelihara.

Lagi-lagi mudahnya konspirasi jaringan media sekuler mendeskreditkan umat Islam, dosa atas fitnah pada Ustadz Hartono Ahmad Jaiz ini akan tercatat sebagai sejarah bahwa ketimpangan media sekuler pada umat Islam terus dipelihara. Sikap ini tidak profesional, malas mewawancarai narasumber, tak berimbang dan mengabaikan asas praduga tak bersalah. Berbeda jika kaum nasrani dan aseng yang berbuat kedzaliman. Seharusnya tidak terjadi pada media nasional berbiaya miliaran ini.

Naudzubillah, Islamophobia terus dilestarikan media dan cukongnya.

Hanibal Wijayanta: Media Massa dan Perubahan Sosial

Hanibal Wijayanta  )*

Wartawan  Utama,  Produser Eksekutif  Liputan  ANTV
Menurut  catatan sejarah,  media  massa  terbukti  mampu  mendorong dan  mengubah kondisi sosial  masyarakat.  Dengan pemberitaan  yang kontinyu, terarah  dan  sistematis, pers  mampu  mempengaruhi pilihan,  sikap  dan  opini masyarakat. Media  massa  juga  bisa  membujuk pembaca  dan  pirsawan, dengan  merangsang  emosi, perasaan  serta  pikiran mereka  lewat  berbagai pendapat  dan  komentar. Mereka  juga  bisa  memberikan  status legitimasi  terhadap  sesuatu hal.  Media  massa  juga  bisa  mendefinisikan  dan  membentuk  persepsi atas  realitas  tertentu kepada  para  pembaca. 

Karena  itu,  sejak  dulu  banyak  orang, penguasa, dan kelompok kepentingan,  memanfaatkan  media  massa  sebagai corong,  alat,  dan  mesin propaganda rekayasa  sosial.  Paul  Joseph  Goebbels,  Menteri Propaganda  Nazi  Jerman adalah  contoh  gamblang pemanfaatan  media  sebagai mesin  rekayasa  sosial.  Goebbels  adalah pelopor  dan  pengembang teknik  propaganda  Argentum  ad  nausem  atau  teknik  Big  Lie (kebohongan  besar). 

Prinsip  utama  teknik  ini  adalah  menyebarluaskan  berita bohong  melalui  media  massa  sebanyak mungkin  dan  sesering mungkin  sehingga  kebohongan itu  kemudian  dianggap sebagai  suatu  kebenaran. Cara  ini  cukup  sederhana,  namun  sangat  efektif dan  mampu  mengubah persepsi,  serta  pada  gilirannya  mengubah sikap  dan  perilaku masyarakat.  Dengan  memobilisir media  massa,  Goebbels membentuk  persepsi  Bangsa Jerman  adalah  ras  terbaik,  dan  Bangsa  Yahudi ras  terkutuk  yang  harus  dilenyapkan. 

Di  Indonesia, pers  juga  berfungsi sebagai  alat  rekayasa sosial.  Perubahan  terjadi sesuai  perkembangan  zaman. Di  masa  pergerakan, pers  menjadi  media  perlawanan  terhadap penjajah.  Media  menjadi penyemai  faham  nasionalisme. Coba  tengok  pamflet-pamflet,  koran, dan  majalah  di  zaman  Belanda seperti  Bintang  Timur, Cahaya  Asia,  Pasundan, Djawa,  Panjebar  Semangat dan  sebagainya.  Saat  itu  media  massa  menjadi agen  perubahan  sosial untuk  meraih  kemerdekaan.

Begitu  Indonesia merdeka  dan  partai politik  tumbuh,  pers  menjelma  menjadi alat  partai.  Koran, majalah  dan  kantor berita  menjadi  organ  partai,  mesin  agitasi  dan  propaganda,  demikian pula  wartawannya.  Harian Rakyat  menjadi  koran  onderbouw  Partai Komunis  Indonesia  (PKI), Merdeka  corong  Partai Nasionalis  Indonesia  (PNI), Abadi  media  Partai  Masyumi,  Partai Sosialis  Indonesia  (PSI)  punya  harian Indonesia  Raya  dan  Pedoman,  Nahdlatul Ulama  eksis  dengan koran  Duta  Masyarakat, dan  sebagainya.  Tiap  hari,  koran  hadir  dengan slogan  partai,  polemik, dan  debat  yang  berpihak  kepada partai  mereka.  Saat  itu  media  massa  menjadi pengarah  opini  dan  pembentuk  persepsi massa  sebagaimana  dikehendaki partai.

Ketika  Orde  Baru  menancapkan kekuasaan,  breidel  media  massa,  penangkapan dan  penahanan  wartawan atas  tuduhan  merongrong kewibawaan  pemerintah  sering terjadi.  Karena  tekanan bertubi-tubi,  wartawan,  pers  dan  media  massa  kompak tiarap.  Self-censorship  menjadi  lumrah, budaya  telepon  dimaklumi. Karena  takut  pada  hantu  breidel dan  tekanan  penguasa, pers  di  masa  Orde  Baru  bereinkarnasi.  Pers  berubah  menjadi penganjur  pembangunan,  corong penguasa,  dan  penyebar ide  kekaryaan  ala  Orde  Baru.  Dalam  keadaan ini,  pers  menjadi alat  rekayasa  sosial rezim  Orde  Baru.

Angin  segar  berhembus  saat  musim  reformasi tiba.  Seiring  keruntuhan Orde  Baru,  setelah tiga  dasa  warsa  dikerangkeng,  pers  akhirnya  ‘dibebaskan’. Surat  Izin  Terbit (SIT),  Surat  Izin  Usaha  Penerbitan Pers  (SIUPP)  dan  segala  tetek  bengek  perizinan dihapus.  Media  massa  menjadi  bebas, terbuka,  merdeka,  dan  berani  memberitakan hal-hal  tabu  menurut Orde  Baru.  Era  reformasi  membuka kesempatan  pers  memberitakan berbagai  konflik  sosial, kerusuhan  dan  kasus  penyalahgunaan  wewenang dari  berbagai  angle, tanpa  perlu  takut  bakal  dijewer pemerintah,  Departemen  Penerangan, maupun  tentara.  Saat  itu,  pers  menjadi  idola  masyarakat  yang  sekian  lama  terbelenggu  kekuasaan dan  menuntun  masyarakat menjadi  melek  informasi. 

Namun,  ketika keterbukaaan  makin  marak, faham  kebebasan  juga  makin  berkembang. Di  masa  ini,  sebagian  awak  pers  seolah kehilangan  orientasi.  Saking bebasnya,  mereka  kadang keblinger,  berlebihan  dan  bahkan  sering merasa  paling  benar  sendiri.  Tanpa  konfirmasi,  tanpa  cek  dan  ricek,  tanpa  mengedepankan  prinsip cover  both  side,  mereka berani  menurunkan  berita peka.  Di  masa  ini,  dengan enteng  pers  menerabas kode  etik,  melanggar prinsip  moralitas,  dan  pornografi  pun  merajalela. 

Sebagian  dari  mereka  kemudian hanya  mengikuti  keinginan pemilik  modal  dan  menyajikan  berita yang  ‘pokoknya  laku’  tanpa  peduli isi,  kualitas  dan  memaksakan  logika. Sementara  itu,  yang  lain  justru terjebak  perang  opini  para  pejabat, pemangku  kepentingan,  dan  kelompok  penekan yang  bebas  berkoar, sementara  pers  tak  mampu  memfilter pendapat  mereka.  Parahnya, jika  selama  puluhan tahun  bedil  dan  penjara  menjadi penakhluk  wartawan,  pers,  dan  media, kini  kibasan  cek  dan  gepokan rupiah  sangat  efektif menundukkan  kegalakan  mereka. 

Parahnya, jika  selama  puluhan tahun  bedil  dan  penjara  menjadi penakhluk  wartawan,  pers,  dan  media, kini  kibasan  cek  dan  gepokan rupiah  sangat  efektif menundukkan  kegalakan  mereka.
Dalam  kondisi ini,  peran  pers  sebagai  agen  perubahan  sosial tetap  berfungsi.  Namun, perubahan  sosial  yang  diembannya  bisa  melenceng  dan  menyimpang  dari  nilai  luhur  kemanusiaan,  etika, dan  agama.  Faham-faham aneh  bertebaran,  ide-ide melenceng,  dan  kesesatan berpikir  merajalela.  Sementara, mereka  yang  bergandengan tangan  dengan  pemilik modal,  penguasa  atau  kelompok  kepentingan juga  tak  lagi  berpihak  kepada kebenaran  sejati.  Kondisi semakin  parah  ketika pers  menjadi  sekadar tukang  foto  kopi,  tukang  gong,  pemberi  stempel dan  penyalur  ludah  narasumber  tanpa  pernah  mengkaji, menelaah  dan  menyaring informasi  secara  benar. 

Kini,  menjelang Pemilu  Presiden  2014,  masyarakat  disuguhi berbagai  media  yang  cenderung  berpihak. Seperti  yang  terjadi di  tengah  masyarakat dan  elit  penguasa, kini  media  massa  pun  terbelah. Media  yang  dimiliki bowheer  pendukung Calon  Presiden  A,  tulisan  atau  siarannya  cenderung berisi  puja-puji  untuk  kontestan  A,  dan  caci-maki bahkan  fitnah  kepada kontestan  B.  Sebaliknya media  milik  konglomerat pendukung  Calon  Presiden B,  tulisan  atau  siarannya  berisi puja-puji  untuk  kontestan B,  dan  berita buruk  serta  tudingan miring  ke  kontestan A.  Walhasil  isi  media  kini  penuh  dengan berita  panas,  insinuasi, provokatif,  dan  tidak  seimbang.   
Tak  hanya  karena  dimiliki milyarder  pendukung  Calon  Presiden,  para  wartawan  pun  terbelah  karena kecenderungan  dukungan  pribadi. Biasanya  dukungan  terbangun karena  kedekatan  mereka dengan  masing-masing  Calon, Partai  Pendukung,  atau  tokoh-tokoh  pendukung masing-masing.  Ada  juga  wartawan  dan  media  yang  menyatakan  keberpihakan mereka  karena  merasa lebih  sreg  dengan Calon  tertentu  dan  tidak  percaya kepada  Calon  lain.  Sedikit  banyak, dukungan  mereka  tercermin pada  produk  pers  dan  penyikapan mereka  terhadap  berbagai isu.  Media  sosial yang  kini  marak, semakin  menegaskan  kecenderungan keberpihakan  para  wartawan secara  pribadi.   

Sebagian  wartawan dan  media  massa  masih  mencoba bersikap  wajar  dengan sekadar  berkomentar  dan  menjelaskan  posisi mereka.  Namun  kini  banyak  di  antara  media  yang  dengan lantang  menyatakan  sebagai pendukung  kontestan  tertentu. Bahkan  ada  yang  memposisikan  diri  sebagai  endorser, tim  sukses,  dan  bahkan  seakan-akan menjadi  propaganda  officer  laksana  Joseph  Goebbels,  dengan turut  bermanuver  serampangan, brutal,  dan  ugal-ugalan. Tentu  saja  perkembangan ini  sangat  memprihatinkan. 

Padahal,  pers,  media  massa, dan  wartawan,  telah  ditahbiskan  sebagai watchdog  alias  anjing  penjaga demokrasi.  Pers  juga  sering  dijuluki sebagai  the  fourth  estate alias  pilar  keempat negara.  Dia  juga  dijuluki  sebagai ujung  tombak  perubahan sosial  atau  the  agent  of  social changes,  dan  bahkan merekalah  the  servants  of  the  thruth atau  para  pengabdi kebenaran. 

Dengan  serangkaian predikat  itu,  sudah  selayaknya  wartawan  dan  media  mengambil posisi  netral,  setia  kepada  profesi yang  mewajibkan  dia  tidak  berpihak kepada  siapa  pun,  dan  setia  kepada  pilihan hidup  untuk  menjadi pengawal  kebenaran.  Belum  lagi  jika  kita  mencermati pernyataan  Pemimpin  Perancis Napoleon  Bonaparte:  “A  journalist is  a  grumbler, a  censurer,  a  giver  of  advice,  a  regent  of  sovereigns,  a  tutor  of  nations.  (Seorang wartawan  adalah  penggerutu, tukang  kritik,  pemberi saran,  pemilik  kedaulatan, guru  bangsa).
Namun,  serangkaian julukan  hebat  itu  kini  seolah hanya  menjadi  mitos. Banyak  insan  pers  terjangkiti  sindrom heroisme  gara-gara  julukan-julukan  wah  tadi.  Sindrom ini  sering  berubah menjadi  penyakit  akut.  Meski  tak  semua,  banyak wartawan  dan  media  yang  secara sengaja  memposisikan  diri  tinggi,  dan  merasa  jumawa dengan  berbagai  label  yang  terlanjur diberikan.  Sindrom  heroisme ini  juga  memunculkan semacam  ilusi  kekebalan di  kalangan  insan  pers  dan  media  massa, sehingga  dengan  enteng memprovokasi,  memancing,  dan  memberitakan  hal-hal sumir  dan  insinuatif. 

Ada  sementara wartawan  merasa  seolah bisa  melanggar  aturan, etika,  norma,  maupun undang-undang,  karena  merasa memiliki  ‘vaksin  kekebalan’ yang  tak  dimiliki kalangan  lain.  Insan  pers  kadang merasa  memiliki  ‘kasta’ lebih  tinggi  dari  pada  profesi lain,  sehingga  sering mengharap  fasilitas  dari  pemegang  oritas, kekuasaan  atau  masyarakat. Padahal,  profesi  wartawan sama  seperti  profesi lain.  Wartawan,  jurnalis, reporter,  juga  manusia. Mereka  bisa  lupa,  salah  dan  khilaf,  serta  harus  tetap  menaati  hukum, norma,  etika,  dan  peraturan. 
Melihat  kiprah sebagian  jurnalis,  pers,  dan  media  menjelang  Pemilu Presiden  2014  ini,  tak  pelak  lagi  bahwa  situasi  panas  di  tengah masyarakat  ini  tak  lepas  dari  peran  media. Selain  berbagai  berita, iklan  yang  mondar-mandir menghiasi  layar  televisi, terdengar  di  radio, terpampang  di  halaman media  cetak,  dan  muncul  di  media  internet, turut  membentuk  persepsi masyarakat  tentang  cita-cita, keinginan,  harapan  di  masa  depan, serta  para  pemimpin yang  mereka  harapkan. Namun,  media  pun  telah  menguak sisi  gelap  persepsi masyarakat,  sikap  atas  perbedaan  pendapat, faham  dan  keyakinan yang  berbeda,  serta  pensikapan  yang  beragam  terhadap berbagai  hal  yang  menyangkut  peri  kehidupan  mereka. 

Sungguh  sangat  menggembirakan jika  media  massa  mampu  mengarahkan, mengubah  dan  membentuk masyarakat  Indonesia  menjadi lebih  baik  dengan berbagai  silang  pendapat yang  berkecamuk  menjelang Pemilu  Presiden  2014  ini.  Tapi  betapa  mengerikannya jika  media  massa  dan  wartawan justru  menjadi  penyumbang terbesar  bagi  perpecahan dan  kehancuran  negeri ini.