PEDULI FAKTA

Twitter @PeduliFakta

Tampilkan postingan dengan label Kyai Kocak Vs Liberal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kyai Kocak Vs Liberal. Tampilkan semua postingan
Dilema Khatib Partisan

Dilema Khatib Partisan

Dilema Khatib Partisan

Drs. Cepluk Multikultur berseri-seri. Pasalnya, dia diminta menjadi khatib Idul Adha tahun ini. Di akun Facebooknya, Ustadz Cepluk, begitu biasa dia disapa, sudah nulis status panjang. Sekedar ngasih tahu bahwa dia akan naik mimbar tahun ini. Sekaligus ngundang jamaah fesbukiyyah nawarin mereka ikut solat dan bisa dengerin khutbahnya. Biar dapet pencerahan tulisnya. Apalagi jadi khatib tahun ini posisi Ustadz Cepluk sudah tidak seperti setahun lalu. Sekarang dia bukan lagi ustadz an sich, tapi tokoh kader partai yang sangat loyal, anggota dewan, deket dengan orang-orang gedean dan orang penting.

"Ini sangat strategis," pikirnya.

Apalagi saat panitia menyodorkan tema "Idul Quban Dan Revolusi Mental Melawan Kejahatan Sosial", Ustadz Cepluk sangat antusias.

"Oke, saya terima permintaan saudara. Tema yang saudara minta, cocok sekali dengan visi saya," sambut Ustadz Cepluk pada panitia.

Panitia mengangguk-angguk senang. Pasalnya, panitia juga punya target. Ustadz Cepluk itu sudah mulai tenar. Anggota dewan. Sering nongol di tivi pula. Saat dia jadi khatib nanti, pasti jama'ah membludak. Nah kalo jama'ah membludak, uang sumbangan jama'ah pastinya juga membludak.

"Tolong ya, nanti saat saya khutbah direkam."
"Baik, Pak. Kalo perlu rekaman videonya akan kami unggah di YouTube."
"Bagus!" sambut Ustadz Cepluk senang.

***

Sehari menjelang Idul Adha.

"Halo ustadz, saya Memet. Panitia salat Ied. Jangan lupa ya Ustadz, esok salat Ied jam setengah tujuh udah mulai. Ustadz khutbah."
"Lha? Besok khutbah?"
"Lha? Kan sebulan sebelumnya ustadz sudah menyatakan oke."
"Wadduh! Saya masih di Surabaya. Rapat konsolidasi partai. Kok, saya bisa lupa gini ya."

Twew!

Ustadz Cepluk memang super sibuk sejak sebelum pemilu legislatif. Sangat super sibuk menjelang pilpres. Untunglah calon presiden jagoannya menang telak. Nah karena sibuk jadi tim sukses dan menangani relawan, Ustadz Cepluk sampe lupa dia sudah punya janji jadi khatib Idul Adha tahun ini.
"Gimana dong Ustadz? Ribuan jamaah pasti kecewa kalo Ustadz batal naik mimbar. Bisa babak belur panitia."
"Jama'ahnya ribuan?"
"Perkiraannya begitu Ustadz. Promosi di Facebook dan Twitter ampuh. Sehari bisa lima puluhan yang konfirmasi nelpon panitia minta alamat lokasi salat. Belum lagi penduduk tiga kelurahan. Separuhnya saja yang hadir, sudah seribu dua ratusan."
Ustadz Cepluk melongo, tapi juga seneng. Lha, naskah khutbahnya bagaimana? Seketika Ustadz Cepluk mikir berat. Cling! Bohlam di kepalanya nyala. Idenya muncul. Ustadz Cepluk lega.
"Halo, jadi gimana Ustadz?"
"Oke oke. Malam ini juga saya terbang ke Jakarta. Tolong saya dijemput besok pagi."
"Baik, Ustadz. Syukron."

***

Ba'da Shubuh.

"Halo, Ustadz Noval?"
"Ya. Halo."
"Ustadz, Cepluk nih. Mao tanya, ente khutbah di mana pagi ini?"
"Oh Ustadz Cepluk. Saya di Maharaja. Ada apa?"

Ustadz Cepluk cerita ngalor ngidul ngetan ngulon. Ujung-ujungnya minta joinan teks khutbah. Noval maklum, bekas kawannya dulu itu sudah jadi orang penting. Banyak agenda sampe lupa bikin teks khutbah.

"Tapi, apa naskah saya cocok dengan Ustadz?"
"Ustadz bahas apa?"
"Berkorban kaitannya dengan revolusi mental."
"Wah, cocok, cocok. Tolong e-mailkan ya. Sekarang."
"Tapi ..."
"Udah engga usah tapi tapi. Saya tunggu. Oh iya, tolong ikhlaskan ya, naskah ustadz saya pake."

***

Lima menit menjelang salat.

Jamaah membludak. Jika dijumblah-jambleh, ada sekitar dua ribuan jama'ah. Panitia sudah menghitung-hitung, andaikan separuh saja jama'ah masing-masing berinfak 10.000, berarti sudah sepuluh juta infak terkumpul.
Lain panitia, lain Ustadz Cepluk. Ustadz Cepluk agak gelisah. i-Padnya sudah bolak-balik dibuka tutup. Rupanya e-mail dari ustadz Noval belom juga dia terima. Ustadz Cepluk sudah narik nafas berulang-ulang. Barulah matanya berbinar-binar lima menit menjelang salat saat i-Padnya bersiul tanda ada e-mail masuk. Waktu lima menit benar-benar waktu mepet. Saat i-Padnya dibuka, baru baca judulnya, imam sudah mau mulai takbir. Lega. Ustadz Cepluk sumringah.

Jama'ah terpukau. Khutbah Ustadz Cepluk luar biasa. Judulnya Revolusi Mental Ala Ibrahim 'alaihissalaam. Lama-kelamaan bahkan jama'ah pada heran, salut dan terharu.

"Sudah saatnya," seru Ustadz Cepluk, "umat meniru Ibrahim yang berani menghancurkan berhala dan maksiat, bukan malah mendukung maksiat. Berhala modern banyak wujudnya. Sekarang berhala itu bisa jadi jelmaan prostitusi. Dukung aparat menghilangkan praktek prostitusi, bukan malah jadi beking prostitusi," ucap Ustadz Cepluk dalam khutbahnya.

"Jika ada kelompok, organisasi, partai politik, LSM yang terang-terangan atau malu-malu mendukung si Dolly misalnya, mereka harus direvolusi mentalnya," lanjut Ustadz Cepluk lagi. Tapi suara Ustadz Cepluk mulai turun temponya.

"Berhala-berhala modern bisa juga berbentuk aliran-aliran sesat, kelompok pendukung nabi palsu, para phobia Islam, atau kumpulan orang-orang yang alergi dengan segala yang berbau larangan pornografi dan porno aksi, maka berhati-hatilah. Mereka-mereka itu lah yang perlu direvolusi mentalnya. Termasuk mental saudara-saudara juga perlu direvolusi jika saudara masih bergabung atau setuju dalam kelompok itu," tegas khutbah Ustadz Cepluk. Suara Ustadz Cepluk makin terus turun temponya.
"Berhala sekarang ini bisa jadi bentuknya adalah korupsi. Saudara-saudara, gunakan akal dan pikiran, jangan asal pilih, jangan asal ikut-ikutan, coba lihat itu, ada anggota dewan yang gagal dilantik karena kesangkut kasus korupsi. Kalau kemarin ada di antara kita yang memilih partai yang paling mererod koruptornya, mental saudara-saudara juga perlu direvolusi," sebut Ustadz Cepluk yang makin pelan suaranya. Tapi jama'ah malah antusias campur heran. Kok suara Ustadz Cepluk makin sirep.

Jama'ah terkesima. Mungkin kalau itu bukan khutbah, mereka pasti sudah bertepuk tangan riuh rendah.

"Sidang Ied rahimakumullah. Yang terakhir, Ibrahim itu santun, akhlaknya karimah dan ucapannya lembut. Ibrahim hanya tegas pada kemusyrikan, galak pada berhala dan segala yang menyekutukan Allah dan kemunkaran. Tetapi segalak-galaknya Ibrahim pada kemusyrikan, beliau tidak pernah kasar pada penyembah patung sekalipun. Memang patung-patung musyrikin itu dihancurkan. Tapi saat tangan-tangan kukuh Ibrahim menghancurkan berhala-berhala itu dengan liukkan kapaknya, mulutnya tidak mengumbar sumpah serapah, "Bangsat! Bajjingan kalian semua!" Tidak saudara-saudara. Jika ada manusia yang levelnya tidak lebih tinggi dari telapak kaki Ibrahim saja memuntahkan umpatan semacam itu, bukan hanya mentalnya yang wajib direvolusi, tapi mulut dan lidahnya harus diganti dengan yang baru. Hatinya harus direndam dengan byclean pemutih. Dan otaknya harus diinstall ulang."

Do'a.

Jamaah puas tercerahkan. Panitia puas infak melimpah. Apalagi ada sate kambing dan sup iga sapi jadi lauk istimewa hari itu. Hanya Ustadz Cepluk yang pucat pasi. Esoknya Ustadz Cepluk dikabari, videonya sudah diunggah di YouTube. Ustadz Cepluk mendadak meriang.

Selamat merayakan Idul Adha 1435 H.

Malam Minggu yang berkesan di rumah santri, Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta, 2014.

Ndak Ikhlas

Ndak Ikhlas


Ndak Ikhlas

"Solat kok, pengen masuk surga. Ndak ikhlas itu," kata orang humanis, Naingdi namanya.
"Emang kalo solat yang ikhlas itu gimana sih, Mba?" kyai Adung mulai jail.
"Ya ra usah minta surga. Biarkan Tuhan yang menilai solat kita," kata Naingdi lagi sambil asik baca buku filsafat Barat.
"Gitu ya?"
"Iya. Bahasa sufinya, mau dimasukan surga atau neraka, sing penting Allah ridha."
"Oooo. Maaf nih, Mba. Sampeyan kalo makan baca do'a kaga?"
"Baca dong. Meskipun saya ini humanis, saya rajin do'a."
"Ah, bo ong kali. Jangan-jangan sampeyan kaga bisa baca do'a makan."
"Hei Kyai kolot, dengerin nih," Naingdi sewot. "Allaahumma baarik lanaa fiimaa razaktanaa waqinaa 'adzaabannaar!"
"Apaan artinya?"
"Yang pasti, minta, agar rezeki yang kita makan dapat berkah. Arti persisnya ndak penting."

Wkwkwkwkwkwkwkwk ....

"Sampeyan percaya kaga makna do'a itu?"
"Percaya. Kalo tidak, untuk apa saya baca."
"Ya ya ya ... Sampeyan ternyata kaga ikhlas."
"Ndak ikhlas apanya?"
"Sampeyan terlalu humanis sih, bisa baca do'a makan, tapi artinya kaga tau."

Twing!

"Hei mba yang humanis, doa' mao makan itu artinya, " Ya Tuhan kami, berkahilah apa yang telah Engkau rizkikan pada kami dan jauhkanlah kami dari adzab api neraka."
"Terus, masalah buat saya?"
"Masalahnya, sampeyan kaga ikhlas, cuman makan doang, minta dijauhin adzab neraka. Makan, makan aja!"

Gubrag!

Naingdi kelilipan buku filsafat.

Ciputat, 17 Desember 2013.
(Abdul Mutaqin)
Si Panjul Dan Pekan Kondom Nasional 2013

Si Panjul Dan Pekan Kondom Nasional 2013


Kyai Adung heran. Kebijakan Polwan menggunakan jilbab ditunda. Sekarang ada kebijakan lebih aneh, “Kondom Gratis”.

Si Panjul, anak mahasiswa semester empat, yang sok-sokan liberal, mendebat Kyai Adung soal itu. Katanya, soal jilbab jangan dibesar-besarkan.

“Yang pentingkan itu polwan hatinya sudah berjilbab, Kyai. Kalo hatinya sudah berjilbab, akan baik pula polwan itu. Jadi engga mesti pake jilbab formal. Yang penting yakin. Kalo yakin dengan tanpa jilbab kita bisa baik, ya sudah.” begitu katanya.

Nah, soal kondom gratis, dia setuju. Katanya, urusan zina sudah ada sejak zaman nabi. Maka kondom adalah solusinya.

“Sampeyan jangan asal ngomong.”
“Loh, kan masalah zina emang sejak zaman nabi sudah ada. Iya kan?”
“Betul. Ingat, para nabi sangat keras melarang berzina. Pake kondom atau engga, haram, Panjul!”
“Kyai, coba sedikit keluar dari persoalan halal-haram. Ini persoalan HIV. Penularannya sudah engga karu-karuan. Kondom solusinya.”
“Solusinya cuman satu. Taat pada larangan agama. Jauhi zina. Kaga pake biaya. Murah.”
“Ini bukan persoalan agama, Kyai. Ini persoalan sosial.”

Twew!

“Njul, inget masa depan. Jauhi zina.”
“Kan pake kondom, Kyai.”
“Astaghfirullaah. Jadi sampeyan pake?”
“Ya, dikasih. Dipikir-pikir memang aman. Ya sudah nikmati saja.”
“Percuma pake kondom, Panjul. Tetap haram hukumnya.”
“Tapi kan lebih aman, Kyai.”
“Emang sampeyan yakin kalo pake kondom lebih aman?”
“Yakin.”
“Kalo bocor?”
“Wah, kalo bocor itu diluar kendali, Kyai.”
“Mestinya sampeyan harus yakin.”
“Yakin apa?”
“Yang penting kan hati sampeyan sudah berkondom!”

Gubrak!
Si Panjul keselek karet .... gelang!

Ciputat, 2 Desember 2013.
(Abdul Mutaqin)
Berpikir Beda

Berpikir Beda


"Itu pinsil," kata Kyai Adung.

"Salah, Kyai. Ini kayu," kata si pengidap sepilis.

"Iye. Ato kalo engga kayu, itu arang, Kyai," kata temennya si pengidap itu.

"Lha, tapi mafhumnya, semua orang sepakat itu pinsil. Buat ngegambar ato nulis. Semua orang tahu itu."

"Ha ha ha ...makanya jangan kolot, Kyai. Kebenaran itu banyak jalannya. Kyai boleh saja sebut pensil. Tapi jangan salahkan orang kalo mau nyebut itu kayu atau arang. Agama juga gitu. Jalan kebenaran itu luas. Bukan milik Islam doang. CObalah berpikir beda."

"Jangan bawa-bawa agama dulu dah. Pensil aja dulu. Ane bukan nyalahin, hanya saja, ijma'nya batang kayu yang mirip sumpit dan ada arengnya ini disebut pinsil. Coba kalo ada orang mao bikin gambar, terus minta pada anak sampeyan "Tong, bapak mao bikin gambar kampret nih. Ambilin kayu ya!" Itu anak pastinya bingung."

"Itu karena anaknya kurang cerdas. Mestinya anak itu mikir, kayu yang bisa buat gambar adalah pinsil."

"Lha, itu ujung-ujungnya pinsil juga. Petong!" 

"Maksudnya, alur perpikirnya begitu."

"Yah, sussah ngomong ama tai!" celetuk Kyai Adung.

"Siapa yang tai!?"

"Ya sampeyan."

"Saya Mesrowo. Saya orang. Bukan tai!" Mesrowo sewot.

"Heh, Pak Mesrowo, coba sampeyan belek itu perut sampeyan. Ada tainya kaga?!"

Gubrak!
Ciputat, 06 Februari 2014.

(Abdul Mutaqin)