PEDULI FAKTA

Twitter @PeduliFakta

Tampilkan postingan dengan label Dian Jatikusuma. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dian Jatikusuma. Tampilkan semua postingan

Kumpulan Kata-Kata Bijak tapi koplak

 
Hal yang paling sulit dari banjir informasi di abad informasi, adalah menyaringnya…

Kemampuan yang paling hebat, dan juga paling mengerikan dari para filsuf, sastrawan, dan penulis amatiran (seperti saya), adalah merangkai kata-kata. Kemampuan persuasi, yang bisa membuat hal-hal yang sebenarnya koplak, terlihat bijak. Suatu hal-hal yang jelas salah pun, akan bisa terlihat luar biasa benar, luar biasa masuk akal, lengkap dengan argumen yang indah dan berbunga-bunga, yang kedengarannya muncul dari seorang bijak berjanggut yang sedang bersemedi di bawah pohon, lengkap dengan kicauan burung di latar belakang.

Kata-kata bijak berikut ini, saat pertama anda membacanya, anda mungkin akan manggut-manggut setuju, hati anda tersentuh, bahkan mata anda akan berkaca-kaca sambil menghela napas panjang sambil membatin: ‘iya juga yaa..’ Benarkah itu bijak? Yuk kita kritisi..

“Kita tidak perlu menghakimi keburukan orang lain. Biarlah itu urusan dia dengan Tuhannya. Hanya Tuhan yang tahu mana yang paling benar. Hanya Tuhan lah yang berhak menghakimi, di akhirat kelak..”

Wow, wow, wow, tunggu dulu.. Jika saja hanya Tuhan yang berhak menghakimi, mari kita bubarkan semua lembaga peradilan, karena manusia tidak berhak menghakimi bukan? Mau orang korupsi, mencuri, menjadi gay dan lesbian, menghina agama, bahkan membunuh orang lain, biarkan saja. Toh kita tidak berhak menghakimi orang lain kan? Hanya Tuhan yang berhak. Jadi jika ada polisi yang coba mendenda kita karena buang sampah atau merokok sembarangan di Singapura, tampar saja si sok tahu itu, dan katakan: “hanya Tuhan yang berhak menghakimi saya!!” Jika kita hanya membiarkan Tuhan yang mengadili semua keburukan-keburukan manusia di dunia, kita tidak perlu hukum lagi, dan mari kita kembali ke zaman batu (bahkan manusia zaman batu pun punya peraturan). 

“Kenapa kita ribut-ribut masalah yang sepele sih? Pornografi diributin, penulis buku yang mempromosikan lesbi dihalangin.. Lady Gaga diributin.. Mendingan urusin tuh koruptor, mereka yang lebih berbahaya bagi bangsa kita ini..”

Weks.. Ini sih sama saja dengan: “Ngapain kita tangkap orang yang nyolong sandal, tuh yang maling motor aja dikejar..”. Lha perbuatan buruk, besar atau kecil, tetap harus dihalangi. Jika orang tersebut menentang pornografi, bukan berarti dia diam saja terhadap koruptor kan? Bukankah lebih baik kita menjaga dari keduanya. Katakan: say no to pornografi dan korupsi! Dua-duanya, menurut saya, cepat atau lambat, akan menghancurkan negara ini. bahkan masyarakat barat sendiri pun cukup resah dengan pornografi, koq malah kita mendukungnya?

“Kenapa sih anti banget dengan seks bebas? Anti banget dengan rok mini? Padahal diam-diam toh suka nonton film porno, doyan seks juga, suka melototin paha juga.. Dasar otaknya aja yang kotor.. Bersihin tuh otaknya, jangan urusin pakaian orang lain.. Kalau otaknya bersih dan imannya kuat, mau ada yang telanjang di depannya juga ga akan tergoda.. Gak usah munafik dan sok suci deh..”

Lhaaa… Sebentar… Kelompok yang anti seks bebas bukan berarti mereka ga doyan seks ya.. Yang menjadi penentu adalah bagaimana cara kami menyalurkan hasrat kami.. Kami tentu saja suka seks, menikmati seks, tapi dengan pasangan kami, dengan cara yang bertanggung jawab.. Seks merupakan rahmat Tuhan, tapi nikmatilah secara bertanggung jawab.. Jika kami memang maniak seks yang suka meniduri semua makhluk yang berkaki dua, tentu saja kami dengan senang hati mendukung seks bebas.. Itu berarti kami makin bebas meniduri berbagai macam wanita tanpa harus pusing mikirin pampers dan susu, karena, dengan menyebarnya paham seks bebas, makin banyak wanita yang bersedia kami manfaatkan (dan kami tiduri), kemudian kami tinggalkan setelah puas..

Otak kami yang kotor? Ayolah, jika saja para lelaki diciptakan tanpa nafsu, maka sudah lama manusia punah.. Sudah kodratnya laki-laki akan tergerak nafsunya jika melihat paha wanita.. Jika ada lelaki yang dengan gagah berani bilang tidak tergerak nafsunya saat melihat paha wanita cantik, itu hanya omong kosong agar semakin banyak wanita yang memamerkan pahanya dengan senang hati.. Rok mini, memang diciptakan untuk memancing perhatian (dan nafsu) para lelaki.. Jika kami memang berfikiran kotor dan tak bisa menahan iman, tentu kami akan turun ke jalan untuk mendukung semua wanita memakai rok mini.. Makin banyak wanita yang bisa memuaskan nafsu kotor kami.. Jadi, siapakah yang berfikiran kotor dan tidak bisa menahan iman? Para lelaki yang menentang rok mini, atau pendukungnya? Para penentang seks bebas, atau pendukungnya?

Propaganda, seringkali seperti pelacur, menggunakan riasan tebal dan indah untuk menutupi kebusukan di baliknya..

Saya pernah tinggal di kos-kosan di Yogya, yang anak-anaknya terdiri dari berbagai macam aliran: agnostik, atheis, kejawen, liberal, penyembah keris, bahkan ada begitu bingung, sehingga akhirnya mengaku sebagai komunis relijius…

Dengan beragamnya fikiran yang pernah kami perdebatkan, diiringi menyeruput kopi dan menghisap rokok, fikiran saya dijejali dengan berbagai macam aliran lengkap dengan argumen yang luar biasa indah.. Mungkin itu yang membuat saya jadi terlatih mengasah logika, sambil garuk-garuk kepala, dan selalu mencoba melihat jauh ke balik kata-kata nan indah itu.. Nih, kata-kata bijak yang lagi trend saat ini:

“Lady Gaga koq diributin.. Apa bedanya dengan yang sudah ada di Indonesia? Penyanyi Indonesia juga banyak tuh yang seronok. Tuh penyanyi dangdut seronok masuk sampai ke kampung-kampung, ditonton anak-anak. Jika mau adil, yang seperti itu juga dilarang dong..”

Lha para pendukung kebebasan itu memangnya selama ini mendukung pelarangan pornografi sampai ke kampung-kampung? Dulu saat Inul banyak yang menentang, kaum liberalis juga menggunakan dalil yang sama: ‘yang lain juga dilarang doong’. Protes soal chef Sarah Quin (betul ga ya namanya?), juga ditentang dengan alasan: ‘dia ga sengaja tampil seronok koq’. Jika tempat-tempat maksiat digerebek, katanya menghalangi orang cari nafkah. Jika penyanyi dangdut seronok itu diprotes masyarakat sekitar, dijawab: urus dosa masing-masing, kalau ga suka ya ga usah nonton.. Bahkan di saat semua itu berusaha dikurangi dengan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi, banyak yang menjerit-jerit: “jangan memasung kebebasan berekspresi!” Intinya kan sebenarnya: “Jangan larang kami melakukan pornografi dan pornoaksi, di tingkat manapun! Mau kami menari bugil sambil mutar-mutarin baju di atas kepala di genteng rumah kami, yo jangan protes!” Jadi, kenapa membanding-bandingkan Lady Gaga ama Keyboard Mak Lampir? (julukan para pedangdut seronok di daerah kami..). Toh dua-duanya sebenarnya kalian dukung, atas nama kebebasan berekspresi? Kami, malah sedang berusaha menentang dua-duanya..

“Kita hidup dlm masyarakat yg sangat plural, sehingga setiap individu hendaknya bebas memilih & menjalankan apapun prinsip hidupnya (termasuk mendukung Irshad Manji atau Lady Gaga), lalu semuanya saling menghormati dlm segala perbedaan pilihan tsb”

Hmm.. Bijak dalam teori, kacau balau dalam praktek. Jika saja semua individu bebas menjalankan prinsip hidupnya, maka kita ga perlu nunggu suku Maya meramalkan akhir dunia. Bisa dibayangkan, jika banyak orang yang mendukung Sumanto (dulu), lalu menjalankan prinsip hidupnya sebagai kanibal, maka ayam goreng Kentucky ga bakal laris lagi, dan banyak orang yang nenteng-nenteng pisau daging dan botol merica di jalanan.. Atau, jika banyak orang yang mendukung Amrozi, (dulu) kemudian menjalankan prinsip hidupnya sebagai pelaku bom bunuh diri, maka terminal bus way yang paling sesak pun akan bubar dalam 5 detik (termasuk penjaga tiketnya) begitu ada lelaki menyandang ransel datang mendekat..

Ya, ya saya tahu.. Argumen saya di atas pasti akan berusaha dimentahkan dengan argumen: “yang penting kan ga merugikan kalian” dalam bentuk kata-kata bijak nan koplak berikut:

“Apa salahnya dengan pornografi? Atau lesbi? Atau perbuatan-perbuatan maksiat lainnya? Toh ga merugikan anda. Jika anda tidak suka, ya ga usah ditonton, ga usah diikuti. Jika takut anak anda terpengaruh, ya perkuat pendidikan iman anak-anak anda. Kalau iman sudah kuat, mau 1000 Lady Gaga datang ke Indonesia, iman kita (dan anak-anak kita) tidak akan terpengaruh..”

Hellooo.. Kita memang makhluk individu, tapi kita juga makhluk sosial. Setiap tindakan kita, sekecil apapun, akan berpengaruh terhadap lingkungan kita. Contoh gampangnya, kenapa kita protes sama tetangga kita yang buang sampah ke kali? “Toh sampahnya sampah dia sendiri (ya mana mungkin dia dengan ikhlas buangin sampahnya ente), kalinya bukan milik mbahmu, lantas kenapa ente yang sewot?” Lha memangnya kalo banjir, banjirnya muter-muter dulu cari siapa bajingan yang membuang sampah, lalu terus menyerbu menggenangi rumah tetangga anda saja sampai setinggi kepala?

Ok kita tidak suka perbuatan-perbuatan maksiat, dan kita berhasil menghindarinya. Lalu kita juga menanamkan iman yang kuat ke anak-anak kita, dan juga berhasil. Dan kita teriak ke luar sana: “Maree seneee Lady Gaga, Freddy Mercury, Jhon Kei dan Mak Lampir jadi satu!! Iman saya dan keluarga saya dah kuat koq!” Tapi sekian tahun ke depan, tiba-tiba ada anak tetangga kita yang kecanduan pornografi, lalu tidak tahan, dan akhirnya memperkosa anak perempuan kita.. Atau ada orang yang mabuk karena alkohol dan narkoba, lalu menabrak seluruh keluarga kita yang sedang jalan-jalan di trotoar.. Atau anak perempuan kita hilang, diculik sindikat yang menjualnya ke prostitusi.. Atau anak lelaki anda disodomi keluarga jauh anda.. Atau seorang pecandu merampok dan membunuh anda karena butuh uang untuk beli sabu.. Sama seperti banjir, ekses negatif dari perbuatan maksiat, tidak akan pernah pilih-pilih siapa korbannya, baik anda berbuat maksiat atau tidak..

Benar, bahwa kita tidak salah 100%, tapi, sebenarnya, kita tetap punya andil dalam hal itu. Kita sukses memperkuat iman keluarga kita, tapi kita abai dengan lingkungan kita. Itulah kenapa dalam Islam ada seruan: “amar makruf, nahi munkar”. Menyeru kepada kebajikan, mencegah kemungkaran. Jika kita mengabaikan kemunkaran di lingkungan kita, dengan prinsip: “urus dosa masing-masing”, yakinlah, cepat atau lambat, kita akan memetik hasilnya…

Masih enggan untuk amar makruf nahi munkar?

“Beri saya 10 media massa, maka saya akan merubah dunia..”

Saat ini, sungguh naif jika kita percaya media mainstream akan memberikan opini yang netral dan berimbang terhadap semua hal. Mereka akan memberikan opini yang sesuai dengan kepentingan sang pemilik (gimana kalo pemiliknya adalah Ryan Jagal?). Sungguh sangat berbahaya jika kita menganggap semua yang diberitakan media adalah berita yang 100% benar, tanpa berusaha mengkritisi dan mencari berita dari sudut pandang lain sebagai penyeimbang. Yuk, kita kritisi kata-kata bijak penutup ini.

“Menonton atau membaca pornografi, kekerasan, atau apapun tidak akan mempengaruhi saya. Toh semua manusia dibekali filter untuk menyaring, dan otak untuk berfikir. Jadi mau saya baca atau tonton ribuan kali pun , tidak akan merubah pendirian saya.. Satu kali nonton konser lady Gaga tidak akan membuat yg nonton jd pemuja setan dan lesbian kan?”

Hohohoho.. Yuk kita bandingkan keadaan sekarang dan keadaan 20 tahun yang lalu, tahun 80-90an. Zaman dulu, seks bebas di Indonesia masih sangat sedikit jumlahnya. Untuk kaum remaja saat itu, bergandengan tangan di depan umum saja, sudah menimbulkan ledekan yang membuat sang pelaku ingin menceburkan diri ke selokan terdekat. Lihat anak-anak sekarang? Mungkin anda sendiri yang dengan sukarela akan menceburkan diri ke selokan terdekat saat melihat gaya mereka berpacaran. Bahkan sekarang mereka dengan senang hati menyebarkan prilaku mereka dalam bentuk video yang jumlahnya mulai menyaingi produksi film porno Amerika dalam setahun.. Kenapa bisa bergeser? Apa anda kira para orang tua dan guru lah yang menanamkan dogma: “Anakku, kamu harus rajin-rajin seks bebas yaa, biar dapat rangking.. Yuk kita memasyarakatkan seks bebas dan menseks bebaskan masyarakat..”?

Jadi, siapa yang mengajari mereka? Jawabannya sederhana: media massa. Selama berpuluh-puluh tahun mereka menggempur otak bawah sadar kita dengan berbagai film, buku, berita, cerita, sinetron, dan lain-lain yang secara sangat halus menyiratkan: “Seks bebas itu hal yang biasa aja cooy.. Anak gaul, malu dong jika masih perawan di usia 18. Tuh, banyak artis idola kamu yang melakukannya.” Memang benar 1000 kali membaca, atau 1x nonton Lady Gaga belum tentu merubah kita.. Tapi, pesan-pesan itu ditanamkan selama berpuluh-puluh tahun, dalam bentuk jutaan pesan per tahun, dari berbagai arah, terhadap anda dan keluarga anda. Yakin anda dan keluarga anda tidak terpengaruh sedikitpun?

Siapa yang paling mudah bobol? Tentu saja anak anda. Anda kira, kenapa iklan McDonald dan rokok mengarah kepada anak-anak dan remaja? Karena merekalah berada dalam fase yang labil dan paling mudah dipengaruhi, dibandingkan orang tuanya. Saat mereka menjadi dewasa dan lebih bijaksana, rokok, junkfood dan seks bebas itu sudah menjadi kebiasaan mereka, candu mereka, sehingga mereka akan sangat sulit meninggalkannya, walau akhirnya paham kerusakan macam apa yang ada dibaliknya.

“Tetap ngga ngaruh maaas, iman gue kan KW1″ Mungkin. Tapi, sedikit banyak, anda akan terpengaruh. Anda akan menjadi permisif: “Biar ajalah orang lain melakukannya, yang penting aku tidak.. Toh banyak yang melakukan, dan itu bukan urusanku”. Itulah yang menjadi target selanjutnya: menanggalkan kontrol sosial anda.. Jika laju ‘cuci otak’ ini terus berlanjut, sepuluh tahun ke depan, jangan heran jika akhirnya kitalah yang mengekspor video porno ke Amerika dan masyarakat Amerika lah yang nonton konser Iwak Peyek Tour 2022.

“Jangan melihat siapa yang mengatakan dong. Kalau mau mengkritisi, kritisi gagasannya, kata-katanya, fikirannya. Jangan kritisi pribadi dan kelakuannya (bahasa alaynya: ad hominem).”

Oalaaah.. Saya beri contoh kasus ringan. Misalnya, kata-kata ini diucapkan dua orang yang berbeda: “Saya akan memajukan bangsa Indonesia. Saya akan berjuang menciptakan budaya bebas korupsi, pola hidup sederhana, dan mengikis habis kebohongan birokrat dan legislatif” Yang pertama, diucapkan oleh Buya Hamka. Satu lagi, diucapkan Angelina Sondakh. Saya rasa, yang pertama membuat anda manggut-manggut percaya, dan yang kedua membuat anda setengah mati menggigit bibir, lalu terguling karena tertawa terbahak-bahak.. Kenapa kata-kata yang sama persis, dengan nada sama persis, tapi diucapkan oleh dua orang yang berbeda, hasilnya bisa berbeda? Setiap kata-kata, sebijak apapun, selalu ada motif dibaliknya. Dan motif itu, sangat terkait dengan pribadi orang yang mengucapkannya. Jadi, kenapa kita tidak boleh mengkritisi pribadi yang mengucapkannya?

Jika anda ingin minta pendapat tentang gaya rambut, anda bertanya kepada penata rambut, atau ke tukang las? Jika saya bilang “lha masa tukang las mengerti soal gaya rambut”, apa itu ad hominem?

Kasus Irshad Manji adalah contoh lain yang gamblang tentang hal itu. Dia dibesar-besarkan media sebagai seorang reformis muslim yang berusaha mencerahkan umat Islam. Tapi di dalam bukunya, ia membantah prinsip-prinsip Islam sendiri dengan cara mempromosikan lesbian, gay dan transgender, menghina jilbab, bahkan meragukan kesempurnaan Al Quran.. Jika kita mengkritisi pribadinya yang lesbian (dan tentu saja ia akan berjuang keras agar lesbian dihalalkan dalam Islam) dan mengkritisi sikapnya yang meragukan Al Quran, di mana salahnya? Bukankah kita memang selalu menilai siapa yang berbicara, bukan hanya apa yang ia ucapkan? Bagaimana mungkin dia seorang muslim, jika ia meragukan Al Quran? Itu kan sama saja dgn ia mengaku lesbian, sambil menyatakan lagi jatuh cinta dgn Rhoma Irama.. Lha kenapa jika kami meragukan keislamannya, tiba-tiba muncul teriak-teriak histeris “Ad hominem! Ad hominem!?”

Nah, kata bijak terakhir ini, mungkin adalah yang paling masuk akal, dan paling sulit dibantah. Tapi mungkin juga, inilah kata-kata bijak yang paling koplak..

“Di masyarakat yang plural ini, janganlah ada pemaksaan kehendak. Biarlah setiap orang melakukan pilihannya sendiri, tanpa paksaan. Sesuatu yang dipaksa itu pasti tidak baik. Nilai yang dianut setiap orang berbeda, jadi jangan paksakan nilai yang kamu anut terhadap orang lain.. Jangan jadi tirani mayoritas..”

Sulit membantahnya kan?

Pertama-tama, saya tanya dulu: apakah sebagian besar dari kita memang dengan sukarela masuk kerja jam 8 dan pulang jam 5 atau bahkan lembur? Apakah memang kita yang memohon-mohon agar jatah cuti kita setahun cukup dua minggu? Apa anda memang luar biasa ikhlas dengan jumlah gaji anda sekarang? Jika tidak, kenapa anda tidak coba mengatakan kepada atasan anda sekarang:”Maaf pak, sebenarnya saya menganut paham bahwa kerja itu hanya 3 jam sehari, cuti 6 bulan dalam setahun, dengan gaji minimal 30 juta. Jadi, jangan paksakan kehendak bapak..”

Apa anda dulu saat remaja belajar dengan sukarela, ikhlas bin legowo?

Semua hukum dan undang-undang, apalagi dalam alam demokrasi, pada prinsipnya, adalah pemaksaan kehendak, dari sebagian besar masyarakat yang sepakat, kepada masyarakat lainnya yang tidak sepakat. Memangnya semua orang setuju dengan UU tentang Narkotika? Atau UU tentang Korupsi? Atau bahkan UU Pajak? Apa anda kira semua wajib pajak memang sudah gatal setengah mati ingin membayar pajak sebesar itu? Lha kenapa kaum liberal ga pernah menjerit-jerit di jalanan: “Jangan paksakan kehendak! Biarkan mereka bayar pajak seikhlasnya..”

Jadi kenapa, saat ada penduduk di suatu daerah setuju untuk memberlakukan perda anti prostitusi, perjudian dan miras, dengan hukuman cambuk bagi pelakunya, kaum liberal tiba-tiba lantang berteriak “Itu melanggar HAM!”. Anda kira memenjarakan orang itu tidak melanggar HAM nya untuk hidup bebas merdeka? Dan kenapa, ketika RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi berusaha disahkan, tiba-tiba saja prinsip demokrasi berdasar suara terbanyak dianggap sebagai tirani mayoritas? Jika memang begitu, ga ada salahnya dong jika para pecandu narkoba dan miras ramai-ramai naik xenia untuk demo di jalanan dan berteriak “Jangan jadi tirani mayoritas! Kalian sudah melanggar HAM kami untuk ajeb-ajeb sampai pagi..”.

Jika saja setiap undang-undang harus disepakati semua orang dulu baru bisa disahkan, maka kita tidak akan pernah punya undang-undang satu pun. Yang tidak boleh, adalah memaksa dengan kekerasan. Jika sudah banyak yang setuju, dan memang UU itu demi kebaikan bersama (sama seperti kita dipaksa belajar saat remaja), di mana salahnya?

Penutup

Jujur, saya tidak membenci orang-orang liberal. Beberapa teman-teman dekat saya adalah orang liberal. Dan saya tahu, beberapa dari mereka, memang yakin bahwa yang mereka perjuangkan adalah demi kebaikan bangsa.. Tapi, banyak juga di antara mereka yang hanya ingin menciptakan lingkungan yang tepat, untuk melampiaskan nafsu mereka..

Tapi, saya koq sama sekali tidak sreg melihat arah menuju kebebasan yang mulai sangat kebablasan ini. Lihat generasi muda kita. Terus terang, jika melihat gang motor melintas yang membuat saya ngeri, video porno remaja yang terbit seminggu sekali, anak-anak SD di warnet yang saling memaki sambil mendownload lagu “selinting ganja di tangaaan…”, remaja yang membentak ibunya, siswa SMP menjual diri demi beli handphone, dan penjual narkoba yang jauh lebih banyak daripada indomaret, saya kadang-kadang pingin kemas-kemas dan pesan tiket ojek sekali jalan ke Timbuktu. Bukan ini lingkungan yang saya bayangkan bagi saya dan anak-anak saya kelak.. Dan saya bisa bayangkan masa depan negara kita jika para remaja yang seperti ini yang menjadi para pemimpin kita kelak..

Lantas apa yang bisa kita lakukan? Mengharapkan media mainstream untuk mendidik remaja kita, sama saja seperti mengharapkan Lady Gaga mengisi kuliah subuh. Mereka lah yang menolak paling keras dan berjuang menggiring opini masyarakat setiap kali kita ingin negara mengendalikan mereka. Kadang-kadang, saya merasa, mereka lah yang menjadi lembaga superbody. Dan ingatlah: para wartawan media, adalah karyawan, yang tunduk pada kehendak majikan mereka.

Jurnalisme warga seperti kompasiana, forum-forum seperti kaskus, blog-blog, dan media-media online lainnya, mungkin itulah satu-satunya harapan kita di masa depan. Sulit melawan media mainstream? Jelas, jika dilakukan sendirian. Tapi, saya yakin, banyak orang-orang yang memiliki nurani di luar sana yang, saya harap, bersedia menyeimbangkan dan memulihkan cuci otak masyarakat dari pengaruh yang telah media massa berikan. Ingatlah, revolusi raksasa yang merubah bangsa Arab sudah membuktikan, bahwa kekuatan jurnalisme warga yang bersatu bahkan mampu menumbangkan para pemimpin yang didukung salah satu negara terkuat di dunia. Demi hidup kita, dan hidup anak-anak kita, apa itu bukan sesuatu yang pantas diperjuangkan?

“Orang-orang yang mencari kebenaran itu, seperti air. Jika dihadang, ia berbelok. Dibendung, ia akan merembes. Bahkan jika dibendung dengan menggunakan beton dalam bendungan raksasa, ia akan menguap.. Ia tidak akan pernah lelah mencari jalannya…”
 
By : dian jatikusuma (dgn sedikit perubahan)

Peduli Fakta Pacaran

Kadang-kadang, pacaran itu, mirip pelacuran terselubung..

Coba anda langganan koran kuning (koran berita yang entah bagaimana sukses memadukan berita kriminal, cerita seks, cerita horor, dan iklan kobra oil dalam satu halaman) selama satu bulan. Kemudian coba anda survei, berapa banyak berita tentang kasus seorang wanita muda menuntut pria yang menidurinya untuk bertanggung jawab?

Coba anda nongkrong selama sebulan di polres terdekat, di dalam sebuah unit yang diberi nama gagah: PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak). Jika anda berhasil nongkrong sebulan di sana tanpa diusir, diborgol, atau disangka wartawan koran kuning, coba hitung berapa kasus yang sama (seorang wanita curcol dadakan ke seorang polwan tentang seorang pria bajingan yang memakai taktik hit and run) yang dilaporkan ke PPA. Jujur saja, anda mungkin akan terkejut dengan hasil hitungan anda.

Sering kali, kita lupa bahwa: pacaran itu bukan menikah. Para wanita, apalagi di zaman materialistik sedang populer, tanpa malu dan sungkan menganggap sang pacar sebagai suami secara finansial, alias ATM berjalan. Sudah tidak asing lagi saya mendengar teman-teman pria saya harus jungkir balik memenuhi permintaan sang pacar: makan di tempat mewah, beli baju-tas-sepatu, beli BB, beli sepeda motor, bahkan ada yang entah bagaimana berhasil merayu sang pria malang untuk membelikan sebuah rumah.  “Lho mas, itu kan untuk menguji rasa sayang dia ke saya? Kalau dia memang sayang, masa dia ga bersedia berkorban untuk saya.. Kalau pas pacaran saja dia sudah pelit, gimana kalau sudah menikah?”.

Hmm.. Begitu ya? Kalau begitu, para cowok juga sah-sah saja dong berkata: “Saya juga ingin menguji rasa sayang cewek saya mas. Kalau memang dia sayang, masa ga mau tidur dengan saya? Lha kalau pas pacaran aja dia sudah ga mau melayani saya pas lagi horny, gimana pas udah nikah?”

Jadilah: pacaran, seperti ajang jual beli. Sang wanita berharap materi, sang pria berharap ‘sesuatu dan lain hal’. Dan transaksi tersebut, dilakukan tanpa ikatan hukum yang jelas..

Hubungan antara dua manusia itu, hampir sama di semua bidang, baik itu bisnis, pekerjaan, cinta: sebaiknya ada hukum yang jelas dan mengikat. Untuk bisnis, kita bersedia susah payah menempeli materai ke lembar perjanjian kerja sama dan mendaftarkannya ke notaris terdekat. Untuk pekerjaan, kita jauh lebih memilih bekerja dengan ikatan yang jelas secara hukum: berapa lama jam kerja, berapa gaji yang diterima, apa saja hak dan kewajiban kita sebagai pekerja, dan sanksi yang diterima kedua pihak jika ada yang mungkir.

Lantas, kenapa untuk hubungan cinta, tiba-tiba kita jadi polos dan hanya percaya dengan kata-kata? Saat sesuatu hampir terjadi, bagaimana mungkin para wanita kehilangan akal sehat dan percaya dengan kata-kata bullshit yang dilandasi nafsu “Tenang dek, kalau hamil, abang pasti tanggung jawab laah.. Udah rileks aja.. Enak enak..” ? Hubungan bisnis telah membuktikan berkali-kali: sesuatu perjanjian tanpa ikatan hukum yang jelas, sering kali akan menjadi penyesalan besar di belakang hari. Kenapa seolah-olah kita tidak belajar hal itu, dalam hubungan cinta? Kenapa kita seolah-olah yakin rasa cinta kita akan bertahan selamanya? Kebanyakan nonton film remaja nan romantis tentang indahnya cinta?

Jika perasaan sentimentil nan lugu itu sedang ada di dalam hatimu sekarang sista, sadarlah: itu cuma film. Dalam film, tanpa perlu menikah, sang pria terlihat luar biasa gentle, mengabulkan semua keinginan sang wanita, mengucapkan puisi tiap 5 menit sekali, memukuli segerombolan manusia serigala yang mengancam, terbang jauh-jauh hanya untuk melihat kamu selama beberapa menit, berlutut dan bersumpah bahwa hanya kematian yang akan memisahkan, bahkan bersedia mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan nyawa kamu. Film-film itu, lupa mencantumkan syarat dan ketentuan yang berlaku*, bagi sebagian pria: tanpa payung hukum, semua itu kami lakukan asalkan kamu tetap cantik dan muda, ga melahirkan sesuatu yang butuh pampers dan susu, tidak pernah haid dan nifas, ga pernah cerewet minta uang belanja di saat kantong lagi kempes, dan ga punya orang tua yang bisa bikin menantunya mati berdiri..

Ingatlah sista: pacaran, adalah suatu hubungan antar dua manusia, tanpa ada payung hukum yang jelas. Kedua pihak bisa mengucapkan janji apa saja: memberi kebahagiaan, mencintai seumur hidup, menikahi, pendidikan dan kesehatan gratis, memberantas korupsi, bebas banjir dan macet: apa saja. Dan hanya berdasarkan kata-kata itu, kamu tiba-tiba terlentang pasrah menyerahkan milikmu yang paling berharga. Belajarlah. Sungguh, banyak pria di luar sana yang bersedia bersumpah demi Tuhan, demi leluhur, dan demi neneknya, asal kamu bersedia lompat ke kasur bersamanya. So, sebelum dirimu memilih seorang pacar, yang sering kali hanya berdasarkan romantisme, penampilan fisik, dan kesediaan sang pria untuk berkorban, mungkin sebaiknya kamu meluangkan waktumu sebulan untuk nongkrong di PPA. Yakinlah, cara pandangmu terhadap pacaran, tidak akan pernah sama lagi…


Dan mungkin, mudah-mudahan, pada akhirnya, kamu akan sadar bahwa satu-satunya solusi untuk hubungan cinta yang sehat adalah: menikah..

(Dian Jatikusuma)

Para wanita (muda), coba sekali-sekali nongkrong di PPA!

 
Oleh: Dian Kaizen Jatikusuma | 04 March 2012 | 22:06 WIB

*PPA = Perlindungan Perempuan dan Anak, unit khusus di kantor polisi untuk menangani pengaduan kekerasan terhadap perempuan dan anak

Beberapa bulan terakhir ini, saya harus mondar-mandir ke kantor polisi..

Saudara saya, menderita kasus KDRT selama sepuluh tahun pernikahannya. Sang suami kerap memukuli saudara saya, menganiaya ketiga anak lelakinya, tidak mempunyai pekerjaan tetap, berjudi, dan selalu mengganggu semua makhluk yang rambutnya melebihi pundak. Anda sebutkan semua kejelekan yang bisa dilakukan seorang suami, maka hal itu pernah dilakukan sang suami.

Semua usaha sudah dilakukan: komunikasi antar suami istri, mediasi lewat orang tua, mediasi lewat ketua RT, lewat pemuka agama, dan beberapa bulan ini mediasi lewat polisi. Mungkin hanya PBB saja yang belum pernah memediasi masalah ini. Hasilnya: nol besar. Siklus yang sama selalu terjadi: mediasi, sang suami membaik sebentar, lalu beberapa bulan kemudian, saudara saya akan muncul pagi-pagi di rumah dengan membonceng tiga anak kecil di sepeda motornya, biasanya salah satu dari mereka menderita luka-luka yang cukup parah akibat pukulan sang suami.

Setiap kali saya ke unit PPA, menemani saudara saya mengadu ke polisi (ternyata berurusan dengan polisi memang melelahkan), saya menyaksikan berbagai laporan yang masuk dalam satu hari, dan itu cukup mengubah cara pandang saya terhadap hidup..

Ada kasus pemerkosaan anak di bawah umur, seorang istri buta huruf yang dianiaya suaminya (yang PNS di kantor gubernur) karena protes suaminya menikah lagi, seorang remaja belasan dilarikan berhari-hari dari rumah oleh seorang lelaki yang sudah beristri, bahkan saya pernah menyaksikan seorang murid SD, ditemani oleh orang tuanya, mengadukan gurunya karena menghukumnya di sekolah (dan luar biasanya, orang tua si anak tidak mau berdamai..). Sungguh membuat saya jadi sadar, di balik kenyamanan yang selama ini saya alami di dalam rumah saya yang damai, di luar sana, setiap hari, ada ratusan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di luar sana.

Banyak dari para wanita ini, tidak tahu tentang sisi gelap sang suami sebelum menikah. Banyak juga yang sudah tahu bahwa sang calon suami punya sisi gelap, tapi karena sesuatu dan lain hal (biasanya menggunakan kata-kata yang membuat saya mengerutkan kening sambil tersenyum miris: “saya sudah cinta mati…”), tetap berkeras menikah dengan sang suami, sambil berharap sang suami akan berubah setelah menikah. Jika setelah menikah tidak juga berubah, maka sang wanita berharap sang suami berubah setelah punya anak. Jika tidak juga berubah, dan semuanya mulai tak tertahankan, maka keluarga lah yang harus turun tangan. Dan jika tidak berubah juga (dan itulah yang sering terjadi), maka muncul lah mereka ke PPA, dengan bekas-bekas kursi atau benda tumpul lainnya di sekujur tubuh mereka, sambil berharap aparat hukum melakukan mukjizat sehingga mampu mengubah suami mereka…

Harapan itu, sering kali terlalu tinggi.. Sering kali sang suami digiring ke kantor polisi dalam keadaan gemetar, menangis minta ampun kepada polisi dan sang istri, sambil bersumpah menghiba-hiba bahwa ia tidak akan pernah melakukannya lagi. Jika hal itu tidak mampu menggugah sang istri untuk mencabut gugatan, maka keluarga sang suami akan datang, menggunakan pengaruh, atau jurus menghiba-hiba yang sama, yang bertujuan menekan sang istri untuk menarik gugatan.

Dan coba tebak, sekali saja gugatan itu dicabut, maka akan susah sekali membangkitkan kembali kasus yang sama. Dan sering kali, begitu gugatan itu dicabut, kekerasan itu akan tetap berulang, tentu saja dengan modus yang lebih mengerikan: “kuculik dan kusiksa anak-anak jika berani mengadu lagi ke polisi”, bahkan ada beberapa kasus di mana sang suami langsung menghabisi sang istri, jika sang istri tidak bisa dihalangi lagi untuk mengadu ke polisi.. Tinggal serumah, berhadapan setiap hari, bahkan tidur di ranjang yang sama dengan ancaman terus menerus seperti itu, yakinlah, bukan kehidupan yang ingin kalian jalani…

Saya cuma bisa menyalurkan kegundahan hati saya, dengan tulisan ini. Saudari-saudariku, berfikirlah panjang.. Secinta mati apapun anda terhadap pasangan anda saat ini, berfikir panjanglah.. Jika pasangan anda pernah meletakkan tinjunya yang keras ke atas kulit lembut kalian bahkan di saat kalian masih pacaran, jangan lah terlalu berharap hal itu akan berubah menjadi sentuhan cinta kasih di saat kalian telah menikah.. Jika pasangan kalian menunjukkan taringnya setelah kalian menikah, segera lah cari bantuan di saat pertama kali hal itu terjadi.. Itu memang aib, dan pernikahan muda kalian akan terancam. Tetapi, itu bukan apa-apa, dibandingkan menghabiskan hidup bertahun-tahun mengalami kekerasan yang makin parah, yang bahkan akan merusak masa depan anak-anak kalian, dan menciptakan siklus kekerasan di masa depan…

Juga ingatlah, jangan terlalu mudah menyerahkan kesucian kalian terhadap pasangan kalian sebelum menikah.. Di PPA, kalian bisa menyaksikan setiap hari, pengaduan tentang mungkir janjinya sang kekasih untuk menikahi, betapapun mesranya rayuan pasangan sang wanita sebelum merenggut kesucian dan menghamilinya.. Kasus seperti itu dengan mudah kalian baca tiap hari di koran-koran kriminal, dan herannya, kalian sering tidak belajar apa-apa dari situ.. Harus kah kalian menyaksikan langsung?

Para wanita (muda), cobalah sekali-kali nongkrong di PPA, bukan hanya di mall atau cafe.. Maka, cara pandang kalian terhadap hidup, tidak akan pernah sama lagi…

fb: Dian Jatikusuma

twitter: @DianJatikusuma

Kenapa yang Enak-enak Diharamkan?

 
Kenapa yang Enak-enak Diharamkan?
Oleh: Dian Kaizen Jatikusuma | 27 May 2012 | 16:36 WIB

“Kenapa semua yang enak-enak, itu diharamkaaaan..” (Rhoma Irama)

Pernah baca koran? Jika ada judul headline besar: “Peresmian tempat ibadah di Kepulauan Seribu”, dan ada judul artikel kecil di halaman yang sama: “seorang nenek-nenek diperkosa 5 satpam”, yang mana yang duluan anda baca?

Jika anda ingin mengajak segerombolan orang untuk mengisi malam, mana yang lebih mudah: mengajak mereka ke pertemuan agama, atau mengajak mereka ke diskotik dan mencekik botol sampai pagi?

Berapa banyak para perokok yang tahu bahaya besar dari merokok? Nah pertanyaan saya selanjutnya: berapa yang berhasil berhenti? Berapa banyak pengguna narkoba yang sebenarnya tahu, bahwa hidup mereka kemungkinan besar berakhir dengan jarum suntik masih menancap di leher? Lantas, berapa banyak yang berhasil berhenti sebelum menginjak penjara atau terbaring di liang kubur?

Saya rasa, semua wanita juga tahu bahwa menjadi pelacur itu buruk. Menjadi pelacur sama saja seperti memilih menjadi media penyebar penyakit, memakan rezeki anak dan istri orang lain, dan sekaligus menghancurkan masa depannya sendiri. Tapi, kenapa banyak wanita yang memilih melakukannya?

Manusia, pada dasarnya, memang lebih mudah diajak melakukan sesuatu yang menyenangkan, daripada sesuatu yang membosankan.. Lebih memilih melakukan sesuatu yang mudah, daripada yang sulit. Lebih mudah diajak berbuat maksiat, daripada diajak lari pagi.. Tentu saja, jauh lebih menyenangkan mengejar-ngejar cewek mabuk di diskotik berjam-jam daripada mendengar ceramah seorang pemuka agama selama 2 jam. Tentu saja, bagi para wanita, jauh lebih mudah mencari nafkah dengan cara berbaring terlentang sambil memikirkan daftar barang yang ingin dibeli, daripada harus bersusah payah mengayuh sepeda untuk jualan jamu.. Tapi, dalam jangka panjang, manakah yang lebih baik?

Lucunya, walaupun manusia tahu perbuatannya itu buruk, tapi dia tetap ingin terlihat mulia. Contoh gampangnya: para perokok akan senang luar biasa jika ada yang memberi alasan “merokok kan menyumbangkan devisa buat negara”, atau “memberikan lapangan pekerjaan kepada ratusan ribu buruh pabrik rokok” sampai alasan yang ngarang-ngarang “agar penduduk dunia tidak terlalu padat bro..” Para pelacur juga sangat senang memberikan alasan: “semua ini karena pemerintah tidak sanggup menyediakan lapangan pekerjaan”, “saya berjuang demi anak-anak saya mas” dan apologi yang menjengkelkan “saya juga nyumbang mesjid lhoo”. Faktanya, ada jutaan wanita di luar sana, dengan keterbatasan pilihan pekerjaan yang sama, dengan jumlah anak yang jauh lebih banyak, tapi memilih banting kerja siang malam untuk mencari rezeki yang halal…

Dan parahnya lagi, jika kita memang hobi melakukan perbuatan buruk, kita sering tidak rela kalau kita melakukannya sendirian (‘kalau gue emang brengsek, gue harus brengsek berjamaah!’). Coba aja anda memproklamasikan niat anda berhenti merokok kepada semua orang, maka para perokok di sekitar anda akan gelisah.. Akan banyak muncul ucapan-ucapan “loe ga asyik lagi deh..”, “sebatang aja kan ga papa bro.. buat pergaulan..” Bahkan orang-orang yang biasanya menyembunyikan rokoknya di celana dalam (biar tidak diminta), tiba-tiba dengan sukarela akan melemparkan sebungkus rokok ke depan anda..

Itulah kenapa hukum agama kadang-kadang terlihat terlalu keras.. Itu memang untuk menekan naluri manusia, untuk memaksa diri kita sendiri menghindari perbuatan-perbuatan maksiat yang menyenangkan, yang sebenarnya demi kebaikan kita juga. Selama ini kita rasanya terlalu lunak menoleransi para kriminal, para pelaku maksiat, dengan alasan HAM, atau belas kasihan. Apa yang kita lakukan selama ini untuk membuat mereka bertobat? Kita berikan mereka tempat berteduh, makan gratis, dan kesempatan reuni dengan kriminal yang lain untuk saling menularkan ilmu kriminal mereka. Kenapa ga sekalian diberi beasiswa untuk belajar ke mafia Hong kong?

Jika saja korupsi, pemerkosaan, pembunuhan, pengedar dan pemakai narkoba diancam hukuman yang berat tanpa pandang bulu (misalnya: hukuman mati), mudah-mudahan, angka kejahatan akan berkurang drastis. Jika seorang pengedar narkoba mendapat hukuman mati, mungkin benar, itu tidak akan menyelamatkan para korban narkoba yang sudah jatuh.. Tapi, itu akan bisa menyelamatkan para calon-calon pengedar yang lain, dan para calon-calon korban narkoba yang lain, karena, mereka akan berfikir 100x lagi, sebelum tergoda mengikuti naluri manusia, untuk mencari kemudahan dan kesenangan..

Apa yang terlihat mudah dan menyenangkan, belum tentu baik untuk jangka panjang..

Orang yg mau, seribu daya
Orang yang tidak mau, seribu dalih..

Sebut saja dia si Jelita. Sepanjang hidupnya, dia bernasib sangat malang. Dia lahir di keluarga yang sangat miskin. Ayah dan ibunya meninggal saat dia masih kecil. Jelita kemudian dirawat oleh pamannya, dan pamannya kemudian memperkosa dia saat dia mulai menginjak bangku SD. Tidak tahan dengan perlakuan pamannya, ia melarikan diri dari rumah, dan ditampung oleh keluarga jauh ayahnya. Nasib malangnya belum berhenti di situ. Saat ia menyelesaikan SMUnya, ia menikah dengan pacarnya, yang ia sayangi dengan sepenuh hati. Sayangnya, sang suami sukses membuktikan apa yang sudah dikatakan keluarga dan teman-teman si Jelita jauh sebelum mereka menikah: bahwa sang suami memang pecundang. Sang suami pemabuk, tukang judi, main perempuan, dan seakan-akan itu belum cukup: ia juga gemar menjadikan Jelita sasaran tinjunya saat ia sedang terlalu mabuk untuk memukuli orang lain. Dan cerita itu ditutup dengan ending menyedihkan: sang suami menjual Jelita menjadi pelacur, untuk membayar hutangnya..

Ok, time out. Cerita sedihnya, cukup sampai di situ dulu. Sering mendengar cerita semacam itu? Di koran mingguan, majalah bulanan, atau acara di televisi? Kita terbawa oleh cerita itu, kita ikut berkaca-kaca, dan hati kita sebagai manusia, tersentuh. Itu normal. Kita jadi menaruh simpati kepada si Jelita, sebagai korban dari dunia yang kejam ini. Kita jadi memaklumi perbuatannya, dan naluri kita sebagai seorang penolong (dengan menunggang kuda putih dan menyanyikan lagu opera) bangkit. Mereka harus kita selamatkan!

Izinkan saya menceritakan pelatihan yang pernah saya ikuti. Dalam salah satu sesi, sang trainer membahas tentang berenang. Beliau bertanya: “siapa yang tidak bisa berenang?” Separuh dari peserta (dari sekitar 800 peserta) angkat tangan. Beliau kemudian menanyai satu per satu para non-perenang tadi: “kenapa anda tidak bisa berenang?”.

Muncullah berbagai jawaban: “rumah saya jauh dari kolam renang”, “saya pernah tenggelam saat belajar renang, jadi trauma..”, “saya sibuk, ga sempat belajar renang”. Semua memberikan alasan, yang bagi kami saat itu, terdengar sangat masuk akal dan luar biasa bagus. Sayangnya, sang trainer, menghancurkan kesan tersebut dalam sekejap..

“Baik, mari kita bahas satu per satu alasan yang diberikan. Alasan pertama: rumah saya jauh dari kolam renang. Wah, jadi semua yang bisa berenang ini, punya kolam renang di rumahnya? Ada tidak, yang rumahnya jauh dari kolam renang, tapi bisa berenang?” Banyak peserta yang angkat tangan.

“Ok, alasan kedua: saya pernah tenggelam saat belajar, jadi trauma. Jadi semua yang bisa berenang ini, langsung menggunakan gaya kupu-kupu saat belajar? Ada tidak, di antara mereka yang bisa berenang ini, tenggelam saat belajar?” Kali ini semua orang yang bisa berenang angkat tangan.

“Nah, alasan ketiga: saya sibuk. Jadi mereka yang bisa berenang ini, semuanya pengangguran ya? Ada tidak, di antara yang bisa berenang, sehari-harinya adalah orang yang luar biasa sibuk?” Banyak juga peserta yang angkat tangan.

Kita, manusia, adalah makhluk yang unik. Kita butuh alasan yang mulia, untuk membenarkan tindakan-tindakan buruk kita. Nyaris semua pelaku kriminal bisa menceritakan latar belakang perbuatannya dengan sangat bagus, bahkan luar biasa masuk akal, sehingga akhirnya para pelaku itu menyimpulkan: mereka terpaksa melakukan itu, dan yang salah adalah mereka yang “di luar sana”. Bahkan pelaku pembunuhan sadis seperti Crowley si Dua Pistol pun benar-benar menganggap dia terpaksa melakukan pembunuhan sadis, bahwa “sang korban lah yang memaksanya”, dan ia juga bercerita bahwa ia banyak melakukan perbuatan-perbuatan baik selama hidupnya.

Kembali ke masalah pelacuran tadi: nyaris semua pelaku pelacuran juga sanggup menceritakan kisah latar belakang yang membuat kita kadang-kadang manggut-manggut memaklumi sambil menyeka mata kita. Tapi terkadang, kita jadi melupakan fakta: ia bukan satu-satunya manusia di dunia ini yang pertama kali mengalami hal itu. Kisah Jelita pernah di alami ratusan, bahkan ribuan wanita lain sebelumnya. Tapi apakah semuanya tetap bertahan di dunia pelacuran? Saya yakin ada banyak wanita di dunia ini yang mengalami kisah yang persis sama, yang memilih menceraikan suaminya saat ia dijual menjadi pelacur, atau, jika sudah tercebur, ia akan berusaha segera keluar dan mencari jalan lain yang halal.

Jalan hidup kita, adalah hasil pilihan-pilihan kita. Apapun nasib malang yang pernah menimpa kita (ayolah, nasib malang juga pernah menimpa semua orang), tidak bisa menjadi pemakluman terhadap hal-hal buruk yang kita lakukan. Jika kita memilih tetap melakukan perbuatan buruk itu, itu lah pilihan kita, bukan keterpaksaan kita. Jika kita memilih menjadi salah satu media penyebar penyakit menular seksual, memakan rezeki anak dan istri dari laki-laki yang meniduri kita, dan merusak masa depan kita sendiri, maka, tidak ada latar belakang hidup, atau siapapun, yang berhak kita salahkan, selain diri kita sendiri.

Sangat banyak pelacur yang berkali-kali dibina, diberi keterampilan dan modal, yang kembali ke pekerjaan yang sama. Alasannya tentu saja sederhana: pekerjaannya mudah dengan penghasilannya sangat lumayan, apalagi untuk para pelacur kelas tinggi.

Terpaksa? Ada jutaan wanita di luar sana yang hidup di bawah garis kemiskinan, dengan latar belakang kisah yang jauh lebih menyedihkan, tetapi mereka tetap mengerahkan segala upaya mereka, banting tulang siang dan malam, untuk mencari rezeki yang halal. Terpaksa kah? Atau pilihan kah?

“Kita adalah makhluk yang unik, yang memerlukan alasan yang mulia untuk semua perbuatan buruk kita, kemalasan-kemalasan kita..”