Home » Semua post berkategori Dian Jatikusuma
Tampilkan postingan dengan label Dian Jatikusuma. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dian Jatikusuma. Tampilkan semua postingan
Peduli Fakta Pacaran
Kadang-kadang, pacaran itu, mirip pelacuran terselubung..
Coba anda
langganan koran kuning (koran berita yang entah bagaimana sukses
memadukan berita kriminal, cerita seks, cerita horor, dan iklan kobra
oil dalam satu halaman) selama satu bulan. Kemudian coba anda survei,
berapa banyak berita tentang kasus seorang wanita muda menuntut pria
yang menidurinya untuk bertanggung jawab?
Coba anda
nongkrong selama sebulan di polres terdekat, di dalam sebuah unit yang
diberi nama gagah: PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak). Jika anda
berhasil nongkrong sebulan di sana tanpa diusir, diborgol, atau disangka
wartawan koran kuning, coba hitung berapa kasus yang sama (seorang
wanita curcol dadakan ke seorang polwan tentang seorang pria bajingan
yang memakai taktik hit and run) yang dilaporkan ke PPA. Jujur saja,
anda mungkin akan terkejut dengan hasil hitungan anda.
Sering kali, kita lupa bahwa: pacaran itu bukan menikah.
Para wanita, apalagi di zaman materialistik sedang populer, tanpa malu
dan sungkan menganggap sang pacar sebagai suami secara finansial, alias
ATM berjalan. Sudah tidak asing lagi saya mendengar teman-teman pria
saya harus jungkir balik memenuhi permintaan sang pacar: makan di tempat
mewah, beli baju-tas-sepatu, beli BB, beli sepeda motor, bahkan ada
yang entah bagaimana berhasil merayu sang pria malang untuk membelikan
sebuah rumah. “Lho mas, itu kan untuk menguji rasa sayang dia ke saya?
Kalau dia memang sayang, masa dia ga bersedia berkorban untuk saya..
Kalau pas pacaran saja dia sudah pelit, gimana kalau sudah menikah?”.
Hmm.. Begitu ya?
Kalau begitu, para cowok juga sah-sah saja dong berkata: “Saya juga
ingin menguji rasa sayang cewek saya mas. Kalau memang dia sayang, masa
ga mau tidur dengan saya? Lha kalau pas pacaran aja dia sudah ga mau
melayani saya pas lagi horny, gimana pas udah nikah?”
Jadilah: pacaran,
seperti ajang jual beli. Sang wanita berharap materi, sang pria berharap
‘sesuatu dan lain hal’. Dan transaksi tersebut, dilakukan tanpa ikatan hukum yang jelas..
Hubungan antara
dua manusia itu, hampir sama di semua bidang, baik itu bisnis,
pekerjaan, cinta: sebaiknya ada hukum yang jelas dan mengikat. Untuk
bisnis, kita bersedia susah payah menempeli materai ke lembar perjanjian
kerja sama dan mendaftarkannya ke notaris terdekat. Untuk pekerjaan,
kita jauh lebih memilih bekerja dengan ikatan yang jelas secara hukum:
berapa lama jam kerja, berapa gaji yang diterima, apa saja hak dan
kewajiban kita sebagai pekerja, dan sanksi yang diterima kedua pihak
jika ada yang mungkir.
Lantas, kenapa
untuk hubungan cinta, tiba-tiba kita jadi polos dan hanya percaya dengan
kata-kata? Saat sesuatu hampir terjadi, bagaimana mungkin para wanita
kehilangan akal sehat dan percaya dengan kata-kata bullshit yang
dilandasi nafsu “Tenang dek, kalau hamil, abang pasti tanggung jawab
laah.. Udah rileks aja.. Enak enak..” ? Hubungan bisnis telah
membuktikan berkali-kali: sesuatu perjanjian tanpa ikatan hukum yang jelas, sering kali akan menjadi penyesalan besar di belakang hari.
Kenapa seolah-olah kita tidak belajar hal itu, dalam hubungan cinta?
Kenapa kita seolah-olah yakin rasa cinta kita akan bertahan selamanya?
Kebanyakan nonton film remaja nan romantis tentang indahnya cinta?
Jika perasaan
sentimentil nan lugu itu sedang ada di dalam hatimu sekarang sista,
sadarlah: itu cuma film. Dalam film, tanpa perlu menikah, sang pria
terlihat luar biasa gentle, mengabulkan semua keinginan sang wanita,
mengucapkan puisi tiap 5 menit sekali, memukuli segerombolan manusia
serigala yang mengancam, terbang jauh-jauh hanya untuk melihat kamu
selama beberapa menit, berlutut dan bersumpah bahwa hanya kematian yang
akan memisahkan, bahkan bersedia mengorbankan nyawanya untuk
menyelamatkan nyawa kamu. Film-film itu, lupa mencantumkan syarat dan ketentuan yang berlaku*, bagi sebagian pria: tanpa
payung hukum, semua itu kami lakukan asalkan kamu tetap cantik dan
muda, ga melahirkan sesuatu yang butuh pampers dan susu, tidak pernah
haid dan nifas, ga pernah cerewet minta uang belanja di saat kantong
lagi kempes, dan ga punya orang tua yang bisa bikin menantunya mati
berdiri..
Ingatlah sista:
pacaran, adalah suatu hubungan antar dua manusia, tanpa ada payung hukum
yang jelas. Kedua pihak bisa mengucapkan janji apa saja: memberi
kebahagiaan, mencintai seumur hidup, menikahi, pendidikan dan kesehatan
gratis, memberantas korupsi, bebas banjir dan macet: apa saja. Dan hanya
berdasarkan kata-kata itu, kamu tiba-tiba terlentang pasrah menyerahkan
milikmu yang paling berharga. Belajarlah. Sungguh, banyak pria di luar
sana yang bersedia bersumpah demi Tuhan, demi leluhur, dan demi
neneknya, asal kamu bersedia lompat ke kasur bersamanya. So, sebelum
dirimu memilih seorang pacar, yang sering kali hanya berdasarkan
romantisme, penampilan fisik, dan kesediaan sang pria untuk berkorban,
mungkin sebaiknya kamu meluangkan waktumu sebulan untuk nongkrong di
PPA. Yakinlah, cara pandangmu terhadap pacaran, tidak akan pernah sama
lagi…
Dan mungkin, mudah-mudahan, pada akhirnya, kamu akan sadar bahwa satu-satunya solusi untuk hubungan cinta yang sehat adalah: menikah..
(Dian Jatikusuma)
Para wanita (muda), coba sekali-sekali nongkrong di PPA!
Oleh: Dian Kaizen Jatikusuma | 04 March 2012 | 22:06 WIB
*PPA = Perlindungan Perempuan dan Anak, unit khusus di kantor polisi untuk menangani pengaduan kekerasan terhadap perempuan dan anak
Beberapa bulan terakhir ini, saya harus mondar-mandir ke kantor polisi..
Saudara saya, menderita kasus KDRT selama sepuluh tahun pernikahannya. Sang suami kerap memukuli saudara saya, menganiaya ketiga anak lelakinya, tidak mempunyai pekerjaan tetap, berjudi, dan selalu mengganggu semua makhluk yang rambutnya melebihi pundak. Anda sebutkan semua kejelekan yang bisa dilakukan seorang suami, maka hal itu pernah dilakukan sang suami.
Semua usaha sudah dilakukan: komunikasi antar suami istri, mediasi lewat orang tua, mediasi lewat ketua RT, lewat pemuka agama, dan beberapa bulan ini mediasi lewat polisi. Mungkin hanya PBB saja yang belum pernah memediasi masalah ini. Hasilnya: nol besar. Siklus yang sama selalu terjadi: mediasi, sang suami membaik sebentar, lalu beberapa bulan kemudian, saudara saya akan muncul pagi-pagi di rumah dengan membonceng tiga anak kecil di sepeda motornya, biasanya salah satu dari mereka menderita luka-luka yang cukup parah akibat pukulan sang suami.
Setiap kali saya ke unit PPA, menemani saudara saya mengadu ke polisi (ternyata berurusan dengan polisi memang melelahkan), saya menyaksikan berbagai laporan yang masuk dalam satu hari, dan itu cukup mengubah cara pandang saya terhadap hidup..
Ada kasus pemerkosaan anak di bawah umur, seorang istri buta huruf yang dianiaya suaminya (yang PNS di kantor gubernur) karena protes suaminya menikah lagi, seorang remaja belasan dilarikan berhari-hari dari rumah oleh seorang lelaki yang sudah beristri, bahkan saya pernah menyaksikan seorang murid SD, ditemani oleh orang tuanya, mengadukan gurunya karena menghukumnya di sekolah (dan luar biasanya, orang tua si anak tidak mau berdamai..). Sungguh membuat saya jadi sadar, di balik kenyamanan yang selama ini saya alami di dalam rumah saya yang damai, di luar sana, setiap hari, ada ratusan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di luar sana.
Banyak dari para wanita ini, tidak tahu tentang sisi gelap sang suami sebelum menikah. Banyak juga yang sudah tahu bahwa sang calon suami punya sisi gelap, tapi karena sesuatu dan lain hal (biasanya menggunakan kata-kata yang membuat saya mengerutkan kening sambil tersenyum miris: “saya sudah cinta mati…”), tetap berkeras menikah dengan sang suami, sambil berharap sang suami akan berubah setelah menikah. Jika setelah menikah tidak juga berubah, maka sang wanita berharap sang suami berubah setelah punya anak. Jika tidak juga berubah, dan semuanya mulai tak tertahankan, maka keluarga lah yang harus turun tangan. Dan jika tidak berubah juga (dan itulah yang sering terjadi), maka muncul lah mereka ke PPA, dengan bekas-bekas kursi atau benda tumpul lainnya di sekujur tubuh mereka, sambil berharap aparat hukum melakukan mukjizat sehingga mampu mengubah suami mereka…
Harapan itu, sering kali terlalu tinggi.. Sering kali sang suami digiring ke kantor polisi dalam keadaan gemetar, menangis minta ampun kepada polisi dan sang istri, sambil bersumpah menghiba-hiba bahwa ia tidak akan pernah melakukannya lagi. Jika hal itu tidak mampu menggugah sang istri untuk mencabut gugatan, maka keluarga sang suami akan datang, menggunakan pengaruh, atau jurus menghiba-hiba yang sama, yang bertujuan menekan sang istri untuk menarik gugatan.
Dan coba tebak, sekali saja gugatan itu dicabut, maka akan susah sekali membangkitkan kembali kasus yang sama. Dan sering kali, begitu gugatan itu dicabut, kekerasan itu akan tetap berulang, tentu saja dengan modus yang lebih mengerikan: “kuculik dan kusiksa anak-anak jika berani mengadu lagi ke polisi”, bahkan ada beberapa kasus di mana sang suami langsung menghabisi sang istri, jika sang istri tidak bisa dihalangi lagi untuk mengadu ke polisi.. Tinggal serumah, berhadapan setiap hari, bahkan tidur di ranjang yang sama dengan ancaman terus menerus seperti itu, yakinlah, bukan kehidupan yang ingin kalian jalani…
Saya cuma bisa menyalurkan kegundahan hati saya, dengan tulisan ini. Saudari-saudariku, berfikirlah panjang.. Secinta mati apapun anda terhadap pasangan anda saat ini, berfikir panjanglah.. Jika pasangan anda pernah meletakkan tinjunya yang keras ke atas kulit lembut kalian bahkan di saat kalian masih pacaran, jangan lah terlalu berharap hal itu akan berubah menjadi sentuhan cinta kasih di saat kalian telah menikah.. Jika pasangan kalian menunjukkan taringnya setelah kalian menikah, segera lah cari bantuan di saat pertama kali hal itu terjadi.. Itu memang aib, dan pernikahan muda kalian akan terancam. Tetapi, itu bukan apa-apa, dibandingkan menghabiskan hidup bertahun-tahun mengalami kekerasan yang makin parah, yang bahkan akan merusak masa depan anak-anak kalian, dan menciptakan siklus kekerasan di masa depan…
Juga ingatlah, jangan terlalu mudah menyerahkan kesucian kalian terhadap pasangan kalian sebelum menikah.. Di PPA, kalian bisa menyaksikan setiap hari, pengaduan tentang mungkir janjinya sang kekasih untuk menikahi, betapapun mesranya rayuan pasangan sang wanita sebelum merenggut kesucian dan menghamilinya.. Kasus seperti itu dengan mudah kalian baca tiap hari di koran-koran kriminal, dan herannya, kalian sering tidak belajar apa-apa dari situ.. Harus kah kalian menyaksikan langsung?
Para wanita (muda), cobalah sekali-kali nongkrong di PPA, bukan hanya di mall atau cafe.. Maka, cara pandang kalian terhadap hidup, tidak akan pernah sama lagi…
fb: Dian Jatikusuma
twitter: @DianJatikusuma
Kenapa yang Enak-enak Diharamkan?
Kenapa yang Enak-enak Diharamkan?
Oleh: Dian Kaizen Jatikusuma | 27 May 2012 | 16:36 WIB
“Kenapa semua yang enak-enak, itu diharamkaaaan..” (Rhoma Irama)
Pernah baca koran? Jika ada judul headline besar: “Peresmian tempat ibadah di Kepulauan Seribu”, dan ada judul artikel kecil di halaman yang sama: “seorang nenek-nenek diperkosa 5 satpam”, yang mana yang duluan anda baca?
Jika anda ingin mengajak segerombolan orang untuk mengisi malam, mana yang lebih mudah: mengajak mereka ke pertemuan agama, atau mengajak mereka ke diskotik dan mencekik botol sampai pagi?
Berapa banyak para perokok yang tahu bahaya besar dari merokok? Nah pertanyaan saya selanjutnya: berapa yang berhasil berhenti? Berapa banyak pengguna narkoba yang sebenarnya tahu, bahwa hidup mereka kemungkinan besar berakhir dengan jarum suntik masih menancap di leher? Lantas, berapa banyak yang berhasil berhenti sebelum menginjak penjara atau terbaring di liang kubur?
Saya rasa, semua wanita juga tahu bahwa menjadi pelacur itu buruk. Menjadi pelacur sama saja seperti memilih menjadi media penyebar penyakit, memakan rezeki anak dan istri orang lain, dan sekaligus menghancurkan masa depannya sendiri. Tapi, kenapa banyak wanita yang memilih melakukannya?
Manusia, pada dasarnya, memang lebih mudah diajak melakukan sesuatu yang menyenangkan, daripada sesuatu yang membosankan.. Lebih memilih melakukan sesuatu yang mudah, daripada yang sulit. Lebih mudah diajak berbuat maksiat, daripada diajak lari pagi.. Tentu saja, jauh lebih menyenangkan mengejar-ngejar cewek mabuk di diskotik berjam-jam daripada mendengar ceramah seorang pemuka agama selama 2 jam. Tentu saja, bagi para wanita, jauh lebih mudah mencari nafkah dengan cara berbaring terlentang sambil memikirkan daftar barang yang ingin dibeli, daripada harus bersusah payah mengayuh sepeda untuk jualan jamu.. Tapi, dalam jangka panjang, manakah yang lebih baik?
Lucunya, walaupun manusia tahu perbuatannya itu buruk, tapi dia tetap ingin terlihat mulia. Contoh gampangnya: para perokok akan senang luar biasa jika ada yang memberi alasan “merokok kan menyumbangkan devisa buat negara”, atau “memberikan lapangan pekerjaan kepada ratusan ribu buruh pabrik rokok” sampai alasan yang ngarang-ngarang “agar penduduk dunia tidak terlalu padat bro..” Para pelacur juga sangat senang memberikan alasan: “semua ini karena pemerintah tidak sanggup menyediakan lapangan pekerjaan”, “saya berjuang demi anak-anak saya mas” dan apologi yang menjengkelkan “saya juga nyumbang mesjid lhoo”. Faktanya, ada jutaan wanita di luar sana, dengan keterbatasan pilihan pekerjaan yang sama, dengan jumlah anak yang jauh lebih banyak, tapi memilih banting kerja siang malam untuk mencari rezeki yang halal…
Dan parahnya lagi, jika kita memang hobi melakukan perbuatan buruk, kita sering tidak rela kalau kita melakukannya sendirian (‘kalau gue emang brengsek, gue harus brengsek berjamaah!’). Coba aja anda memproklamasikan niat anda berhenti merokok kepada semua orang, maka para perokok di sekitar anda akan gelisah.. Akan banyak muncul ucapan-ucapan “loe ga asyik lagi deh..”, “sebatang aja kan ga papa bro.. buat pergaulan..” Bahkan orang-orang yang biasanya menyembunyikan rokoknya di celana dalam (biar tidak diminta), tiba-tiba dengan sukarela akan melemparkan sebungkus rokok ke depan anda..
Itulah kenapa hukum agama kadang-kadang terlihat terlalu keras.. Itu memang untuk menekan naluri manusia, untuk memaksa diri kita sendiri menghindari perbuatan-perbuatan maksiat yang menyenangkan, yang sebenarnya demi kebaikan kita juga. Selama ini kita rasanya terlalu lunak menoleransi para kriminal, para pelaku maksiat, dengan alasan HAM, atau belas kasihan. Apa yang kita lakukan selama ini untuk membuat mereka bertobat? Kita berikan mereka tempat berteduh, makan gratis, dan kesempatan reuni dengan kriminal yang lain untuk saling menularkan ilmu kriminal mereka. Kenapa ga sekalian diberi beasiswa untuk belajar ke mafia Hong kong?
Jika saja korupsi, pemerkosaan, pembunuhan, pengedar dan pemakai narkoba diancam hukuman yang berat tanpa pandang bulu (misalnya: hukuman mati), mudah-mudahan, angka kejahatan akan berkurang drastis. Jika seorang pengedar narkoba mendapat hukuman mati, mungkin benar, itu tidak akan menyelamatkan para korban narkoba yang sudah jatuh.. Tapi, itu akan bisa menyelamatkan para calon-calon pengedar yang lain, dan para calon-calon korban narkoba yang lain, karena, mereka akan berfikir 100x lagi, sebelum tergoda mengikuti naluri manusia, untuk mencari kemudahan dan kesenangan..
Apa yang terlihat mudah dan menyenangkan, belum tentu baik untuk jangka panjang..
Orang yg mau, seribu daya
Orang yang tidak mau, seribu dalih..
Sebut saja dia si Jelita. Sepanjang hidupnya, dia bernasib sangat malang. Dia lahir di keluarga yang sangat miskin. Ayah dan ibunya meninggal saat dia masih kecil. Jelita kemudian dirawat oleh pamannya, dan pamannya kemudian memperkosa dia saat dia mulai menginjak bangku SD. Tidak tahan dengan perlakuan pamannya, ia melarikan diri dari rumah, dan ditampung oleh keluarga jauh ayahnya. Nasib malangnya belum berhenti di situ. Saat ia menyelesaikan SMUnya, ia menikah dengan pacarnya, yang ia sayangi dengan sepenuh hati. Sayangnya, sang suami sukses membuktikan apa yang sudah dikatakan keluarga dan teman-teman si Jelita jauh sebelum mereka menikah: bahwa sang suami memang pecundang. Sang suami pemabuk, tukang judi, main perempuan, dan seakan-akan itu belum cukup: ia juga gemar menjadikan Jelita sasaran tinjunya saat ia sedang terlalu mabuk untuk memukuli orang lain. Dan cerita itu ditutup dengan ending menyedihkan: sang suami menjual Jelita menjadi pelacur, untuk membayar hutangnya..
Ok, time out. Cerita sedihnya, cukup sampai di situ dulu. Sering mendengar cerita semacam itu? Di koran mingguan, majalah bulanan, atau acara di televisi? Kita terbawa oleh cerita itu, kita ikut berkaca-kaca, dan hati kita sebagai manusia, tersentuh. Itu normal. Kita jadi menaruh simpati kepada si Jelita, sebagai korban dari dunia yang kejam ini. Kita jadi memaklumi perbuatannya, dan naluri kita sebagai seorang penolong (dengan menunggang kuda putih dan menyanyikan lagu opera) bangkit. Mereka harus kita selamatkan!
Izinkan saya menceritakan pelatihan yang pernah saya ikuti. Dalam salah satu sesi, sang trainer membahas tentang berenang. Beliau bertanya: “siapa yang tidak bisa berenang?” Separuh dari peserta (dari sekitar 800 peserta) angkat tangan. Beliau kemudian menanyai satu per satu para non-perenang tadi: “kenapa anda tidak bisa berenang?”.
Muncullah berbagai jawaban: “rumah saya jauh dari kolam renang”, “saya pernah tenggelam saat belajar renang, jadi trauma..”, “saya sibuk, ga sempat belajar renang”. Semua memberikan alasan, yang bagi kami saat itu, terdengar sangat masuk akal dan luar biasa bagus. Sayangnya, sang trainer, menghancurkan kesan tersebut dalam sekejap..
“Baik, mari kita bahas satu per satu alasan yang diberikan. Alasan pertama: rumah saya jauh dari kolam renang. Wah, jadi semua yang bisa berenang ini, punya kolam renang di rumahnya? Ada tidak, yang rumahnya jauh dari kolam renang, tapi bisa berenang?” Banyak peserta yang angkat tangan.
“Ok, alasan kedua: saya pernah tenggelam saat belajar, jadi trauma. Jadi semua yang bisa berenang ini, langsung menggunakan gaya kupu-kupu saat belajar? Ada tidak, di antara mereka yang bisa berenang ini, tenggelam saat belajar?” Kali ini semua orang yang bisa berenang angkat tangan.
“Nah, alasan ketiga: saya sibuk. Jadi mereka yang bisa berenang ini, semuanya pengangguran ya? Ada tidak, di antara yang bisa berenang, sehari-harinya adalah orang yang luar biasa sibuk?” Banyak juga peserta yang angkat tangan.
Kita, manusia, adalah makhluk yang unik. Kita butuh alasan yang mulia, untuk membenarkan tindakan-tindakan buruk kita. Nyaris semua pelaku kriminal bisa menceritakan latar belakang perbuatannya dengan sangat bagus, bahkan luar biasa masuk akal, sehingga akhirnya para pelaku itu menyimpulkan: mereka terpaksa melakukan itu, dan yang salah adalah mereka yang “di luar sana”. Bahkan pelaku pembunuhan sadis seperti Crowley si Dua Pistol pun benar-benar menganggap dia terpaksa melakukan pembunuhan sadis, bahwa “sang korban lah yang memaksanya”, dan ia juga bercerita bahwa ia banyak melakukan perbuatan-perbuatan baik selama hidupnya.
Kembali ke masalah pelacuran tadi: nyaris semua pelaku pelacuran juga sanggup menceritakan kisah latar belakang yang membuat kita kadang-kadang manggut-manggut memaklumi sambil menyeka mata kita. Tapi terkadang, kita jadi melupakan fakta: ia bukan satu-satunya manusia di dunia ini yang pertama kali mengalami hal itu. Kisah Jelita pernah di alami ratusan, bahkan ribuan wanita lain sebelumnya. Tapi apakah semuanya tetap bertahan di dunia pelacuran? Saya yakin ada banyak wanita di dunia ini yang mengalami kisah yang persis sama, yang memilih menceraikan suaminya saat ia dijual menjadi pelacur, atau, jika sudah tercebur, ia akan berusaha segera keluar dan mencari jalan lain yang halal.
Jalan hidup kita, adalah hasil pilihan-pilihan kita. Apapun nasib malang yang pernah menimpa kita (ayolah, nasib malang juga pernah menimpa semua orang), tidak bisa menjadi pemakluman terhadap hal-hal buruk yang kita lakukan. Jika kita memilih tetap melakukan perbuatan buruk itu, itu lah pilihan kita, bukan keterpaksaan kita. Jika kita memilih menjadi salah satu media penyebar penyakit menular seksual, memakan rezeki anak dan istri dari laki-laki yang meniduri kita, dan merusak masa depan kita sendiri, maka, tidak ada latar belakang hidup, atau siapapun, yang berhak kita salahkan, selain diri kita sendiri.
Sangat banyak pelacur yang berkali-kali dibina, diberi keterampilan dan modal, yang kembali ke pekerjaan yang sama. Alasannya tentu saja sederhana: pekerjaannya mudah dengan penghasilannya sangat lumayan, apalagi untuk para pelacur kelas tinggi.
Terpaksa? Ada jutaan wanita di luar sana yang hidup di bawah garis kemiskinan, dengan latar belakang kisah yang jauh lebih menyedihkan, tetapi mereka tetap mengerahkan segala upaya mereka, banting tulang siang dan malam, untuk mencari rezeki yang halal. Terpaksa kah? Atau pilihan kah?
“Kita adalah makhluk yang unik, yang memerlukan alasan yang mulia untuk semua perbuatan buruk kita, kemalasan-kemalasan kita..”
Langganan:
Postingan (Atom)