PEDULI FAKTA

Twitter @PeduliFakta

Tampilkan postingan dengan label Ulil Abshar Abdalla. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ulil Abshar Abdalla. Tampilkan semua postingan
Ade Armando dan Kebencian Terhadap Islam

Ade Armando dan Kebencian Terhadap Islam

By: Nandang Burhanudin
****

Di era Jokowi, semua terkuak. Penyanyi yang dahulu "kental" dengan ideologis perlawanan seperti Iwan Fals, kini sangat jelas, ideologi apa yang selama ini diperjuangkan. Sama halnya dengan Ade Armando, sosok yang cukup didengar dalam masalah kebebasan pers dan menghargai perbedaan pandangan. Namun kini menampakkan jati diri sebenarnya, bahwa dahulu ia "menampilkan kesan netral" sebab ketegasan Pak Harto yang "menghadiahi hotel prodio" bagi siapapun yang menodai agama (Islam).

Namun ocehannya di medsos, benar-benar menampilkan kebencian mendalam terhadap Islam dan umatnya. Adapun kebencian di lubuk hatinya, teramat besar. Entahlah, apakah ocehan-ocehan anehnya bagian dari strategi kaum Liberalis-Sekularis-Aliran sesat. Atau hanya "keganjenan intelektual" di tengah pesta pora kaum Islamphobia atas kemenangan Jokowi di panggung kekuasaan.

Bila di negara-negara Arab, kini marak kaum intelektual yang menjadi murtaziqoh (mercenaries/tentara bayaran), maka setali tiga uang di Indonesia pun sama. Prinsip yang dianut sama: Kencingi zamzam, engkau akan terkenal. Benci Islam sebenci-bencinya, dirimu akan kesohor. Lecehkan syariat sehina-hinanya, dirimu akan disebut intelektual handal dan disediakan media yang siap membesarkan.

Mempermasalahkan dana ibadah umroh atau haji, atau mengerdilkan Al-Qur'an, adalah bagian "proyek multinasional" yang teramat gurih. Mereka tahu, umat Islam akan bereaksi keras. Urat saraf akan tegang. Cukup untuk melupakan pelbagai sumber daya alam yang dikeruk Asing dan Aseng. Atau melupakan kebengisan penjajah berwajah pribumi yang berkolaborasi dengan penjajah berwajah China.

Ade Armando, Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi memang diarahkan untuk melakonkan peran "bulsit" (penimbul situasi). Menciptakan suasan kebencian yang dikemas dengan jargon-jargon yang susah dimengerti. Apapun sebutannya, meracuni adalah misinya.

Jamaknya seperti di Mesir. Balatentara berbayar ini bahu membahu. Menebar jala-jala jebakan. Kebencian terus ditebar di kalangan umat Islam. Satu persatu dibenturkan. Sebagai misal. Semua elemen dirayu untuk memusuhi dan membenci IM, hingga kudeta terhadap Presiden Mursi dan IM dihabisi. Sebelum itu, mereka memecah dulu kaum Salafy. Kemudian memecah belah kalangan Al-Azhar. Semua sukses dilakukan dan Mesir kini terbelah. Menjadikan HAMAS sebagai musuh dan Israel sebagai kekasih. Ulama-ulama yang telah mengabdi lebih dari 60 tahun dan dikenal penuh dedikasi, kini dipinggirkan.

Praktik di Mesir inipun akan dilakukan di Indonesia. Membenturkan NU-Muhammadiyah, NU vs Wahabi (kelompok Islam antiSyiah). Hingga seorang Ade Armando, membabat habis aib PKS, partai yang dikenal khalayak sebagai partai yang lahir dari rahim gerakan Islam yang masih eksis. Ade Armando menutup mata atas kejahatan-kejahatan BIG, SUPER, dan MAHA yang dilakukan partai berbasis Islam lainnya. Bahkan sama sekali tidak pernah kritis terhadap kejahatan terstruktur, massif, dan terencana dari partai Nasionalis-Kristen seperti PDIP atau parpol lainnya.

Ade Armando lupa, bahwa sebagai muslim, dirinya sepatutnya paham bahwa dalam Islam ada pintu taubat nashuha. Toch pada kenyataannya, sosok seperti LHI, Arifinto, jika pun pernah melakukan kesalahan. Mereka bisa jadi kini tengah menjalani pembersihan diri atas kekhilafan dan salah yang pernah dijalani. Lalu bagaimana dengan koruptor-koruptor MEGAskandal lainnya, yang kini "cuap-cuap" sebagai manusia suci? Apakah yakin mereka tidak menikmati video porno atau terbebas dari perzinahan? (bukan nikah halal seperti yang dilakukan LHI).

Silahkan anda mencibir apapun terhadap tulisan di atas. Namun pada faktanya, kehadiran Islam di panggung kekuasaan memang dihalangi. Levni, mantan menteri Kehakiman Israel dan Moshe Dayan mantan Menhan Israel menegaskan, "Tugas kami adalah menghalangi siapapun dari kalangan Islamis, agar tidak meraih kekuasaan di manapun."

Ulil Abshar Abdalla

Ulil Abshar Abdalla

Ulil Abshar Abdalla, lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren. Pria kelahiran Pati Jawa Tengah,11 Januari 1967 itu sejak kecil sudah mengenyam pendidikan pondok pesantren setelah lulus Madrasah di Desa kelahirannya. Ayahya, Kyai Abdullah Rifa'i pengasuh pondok pesantren Mansajul Ulum Pati, tempat Ulil menimba ilmu. Setelah itu, Pendidikan menengahnya diselesaikan di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz (Ro'is Am PBNU 1999–2004 dan 2004–2009). Pernah kuliah di Fakultas Syari’at Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), Jakarta dan sempat mengenyam pendidikan di STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara, Jakarta.
Dia aktif di beberapa lembaga, Ketua Lakpesdam (Lembaga dan Kajian dan Pengembangan Sumber Daya manusia) Nahdlatul Ulama, Jakarta, Direktur Progam Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Penasehat Ahli harian Duta Masyarakat, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Direktur Freedom Institut, Jakarta.
Sebagai pendiri dan koordinator Jaringan Islam Liberal yang sering menyuarakan Liberalisasi tafsir Islam, Ulil menuai banyak kritik. Atas kiprahnya dalam mengusung gagasan pemikiran Islam liberal itu, Ulil disebut sebagai pewaris pembaharu pemikiran Islam, Gus Dur dan Nurcholish Madjid.
Pada awalnya, Ulil dikenal sebagai intelektual muda NU. Pernah menjabat ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Nahdlatul Ulama, Jakarta; kemudian ia aktif di Institut Studi Informasi (ISAI), Jakarta. Namanya jadi pembicaraan banyak orang ketika ia mendirikan Jaringan Islam Liberal (JIL) kelompok ini lantang menyuarakan Pluralisme dan bertujuan menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya, yakni Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang melindas.
Dalam memimpin JIL Ulil sering dianggap melecehkan Islam, dinilai mengajarkan kesesatan terhadap masyarakat. Paham Liberalisme yang dianutnya dianggap sebagai produk Barat. Terlebih karena organisasi yang dipimpinnya dibiayai oleh lembaga-lembaga dari luar negeri. Pihak JIL tidak keberatan dan mengakui bahwa JIL dibiayai The Asia Fondation dan sumber-sumber domestik Eropa dan Amerika. Tak Cuma kritik artikelnya dalam sebuah surat kabar  berjudul "Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam" yang dimuat di Harian Kompas 18 Nopember 2002 dipandang oleh Forum Ulama Umat Islam (FUUI) mendiskreditkan Islam. Gara-gara artikel itu, Ulil divonis mati oleh FUUI.
Vonis mati itu tak membuat Ulil goyah pada pemikiran dan gagasan-gagasannya. Soal pernika-han beda agama, misalnya ia tidak menentangnya. Bahkan ketika ia ditantang apakah akan memper-bolehkan jika hal itu terjadi pada anaknya sendiri, ia mengatakan dengan berat hati akan mengizin-kannya.
Saat ini, pada bulan Agustus 2009 direktur Freedom Institute Jakarta itu telah meraih gelar S2 sekaligus S3 bidang perbandingan agama setelah empat tahun kuliah di Universitas Boston, Amerika Serikat, dan mencalonkan diri sebagai kandindat ketua PBNU dalam Muktamar NU ke-32 di Makassar Sulawesi Selatan. (sumber: PDAT)
Jika kita bicara Ulil Absar Abdalla, pikiran kita langsung tertuju dengan JIL (Jaringan Islam Liberal). Meskipun pada saat ia tengah mengambil program doktor di Boston dan melepaskan jabatan sebagai kordinaor JIL, namun nama itu masih melekat pada dirinya karena memang ialah yang mendirikan dan membesarkan lembaga itu.
Berikut ini kutipan wawancara dengannya dalam situsnya perihal seluk-beluk JIL atau biasa juga disebut Islib (Islam liberal).
Red: Apa itu Islam Liberal?
Ulil: Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan :
1.  Membuka pintu ijtihad pada dimensi Islam. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Isam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman  Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi Muamalah (Interaksi sosial), Ubudiyyah (ritual) maupun Ilahiyah (teologi).
2.  Mengutamakan semangat religioetik bukan makna literal teks. Ijtihat yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religioetik Al-Quran dan sunah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal teks. Penafiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religioetik, Islam akan hidup berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif. Sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu, terbuka. Karena setiap bentuk penafsiran mengandung kemungki-nan salah, selain kemungkinan benar, plural, sebab penafsiran keagamaan dalam satu dan lain acara adalah cermin dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas. Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, gender, budaya, politik dan ekonomi.
5. Meyakini kebebasan beragama. Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama  dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal membenarkan penganiayaan (persekusi) atas suatu pendapat atau kepercayaan.
6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrowi, otoritas keagamaan dan politik. Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijaksanaan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselengga-rakan melalui proses konsesus.
Red: Mengapa disebut Islam Liberal?
Ulil: Nama "Islam Liberal" mengembangkan prinsip-prinsip yang kami anut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. ”Liberal" di sini bermakna dua; kebebasan dan pembebasan. Kami percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataanya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsir-nya. Kami memilih jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu "Liberal". Untuk mewujudkan Islam Liberal, kami bentuk Jaringan Islam Liberal (JIL).
Red: Mengapa Jaringan Islam Liberal?
Ulil: Tujuan utama kami adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu kami memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk siapa saja yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.
Red: Apa misi JIL?
Ulil: Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang Liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya kepada khalayak seluas mungkin.
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.
Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
Red: Apa Kegiatan Pokok JIL?
Ulil: Di samping itu, dipublikasikan, juga beberapa kegiatan pokok Jaringan Islam Liberal yang sudah dilakukan, di antaranya:
1. Sindikasi penulis Islam Liberal
Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal (atau belum dikenal) oleh publik luas sebagai pembela Pluralisme dan  Inklusivisme. Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan tulisan yang baik. Dengan adanya "otonomi daerah", maka peran media lokal makin penting, dan suara-suara keagamaan yang toleran juga penting  untuk disebarkan melalui media masa daerah ini. Setiap minggu, akan disediakan artikel dan wawancara untuk koran-koran daerah.
2. Talk-show di Kantor berita Radio 68 H.
Talk-Show ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai "pendekar Pluralisme dan Inklusivisme" untuk berbicara tentang isu sosial keagamaan di tanah air. Acara ini akan diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan melalui siaran Radio Namlapanha di 40 Radio, antara lain; Radio Namlapanha Jakarta, Radio Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio UNISI (Yogyakarta), Radio PTPN (Solo), Radio MARA (Bandung), Radio Prima FM (Aceh).
3. Penerbitan Buku.
JIL berupaya menerbitkan buku-buku yang bertemakan Pluralisme dan Inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan tulisan, maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang masih relevan dengan tema-tema tersebut. Saat ini JIL sudah menerbitkan buku kumpulan artikel, wawancara, dan diskusi yang diselenggarakan oleh JIL, berjudul wajah Liberal Islam di Indonesia.
4. Penerbitan Buku Saku.
Untuk kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan Buku Saku setebal 50-100 halaman dengan bahasa renyah dan mudah dicerna. Buku Saku ini akan mengulas dan menanggapi sejumlah isu yang menjadi bahan perdebatan dalam masyarakat. Tentu, tanggapan ini dari perspektif Islam liberal. Tema-tema itu antara lain: jihad, penerapan syariat Islam, jilbab, penerapan ajaran "memerintahkan yang baik, dan mencegah yang jahat" (amar ma'ruf nahi mungkar), dll.
5. Website IslamLib.com.
program ini berawal dari dibukanya milis Islam Liberall (islamLiberal @yahoogrups.com) yang mendapat respon positif. Ada beberapa anggota umtuk meluaskan milis ini ke dalam bentuk website yang bisa diakses oleh semua kalangan. Sementara milis akan tetap dipertahankan untuk kalangan terbatas saja. Semua produk JIL (sindikasi media, talk show radio, dll) akan dimuat dalam website ini. Web ini juga akan memuat setiap perkembangan berita, artikel, atau apapun yang berkaitan dengan misi JIL.
6. Iklan Layanan Masyarakat.
Untuk menyebar-kan visi Islam Liberal, JIL memproduksi sejumlah Iklan Layanan Masyarakat (Publik Service Adver-tisement) dengan tema-tema seputar Pluralisme, penghargaan atas perbedaan dan pencegahan konflik sosial. Salah satu iklan yang sudah diproduksi adalah iklan berjudul "Islam Warna-Warni".
7. Diskusi Keislaman.
Melalui kerjasama dengan pihak luar (Universitas, LSM, kelompok mahasiswa, pesantren dan pihak-pihak lain). JIL menyeleng-garakan sejumlah diskusi dan seminar mengenai keislaman dan keagamaan secara umum. Termasuk dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling melalui kerjasama yang diadakan dengan kelompok-kelompok mahasiswa di sejumlah Universitas Diponegoro Semarang, Institut Pertanian Bogor, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dll. Sumber: Tokoh Indonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia).
Beberapa komentar Ulil, baik di media massa, buku, maupun seminar-seminar sering menghebohkan kalangan Islam, di antaranya:
"Menurut saya, tidak ada yang disebut hukum Tuhan dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan oarang Islam. misalnya hukum Tuhan tentang pencurian, jual-beli, pernikahan, pemerintahan dan lain-lain" (Kompas, 18 November 2002)
"Rasul Muhammad adalah tokoh historis yamg harus dikaji dengan kritis (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang banyak kekurangannya)" (Kompas, 18 November 2002)
"Islam seperti yang dikemukakan Cak-Nur dan sejumlah pemikir lain adalah 'nilai generis' yang bisa ada Kristen, Hindu, Budha, Khonghucu, Taoisme,......bisa jadi, kebenaran "Islam" ada dalam filsafat Marxisme" (Kompas, 18 November 2002)
"Mengajukan syariat Islam menjadi solusi atas semua masalah adalah bentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah, bentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan." (Kompas, 18 November 2002)
"Tulisan saya sengaja provokatif, karena saya berhadapan dengan audiens yang juga provokatif, dalam istilah balaghahnya musyakalah. Dari segi substansi, saya tidak menyesali tulisan saya. Mungkin saya mengevaluasi cara saya yang kurang tepat." (Gatra, 21 Desember 2002)
"Semua agama sama. Semuanya menuju ke jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. Pemahaman serupa terjadi di Kristen selama berabad-abad. Tidak ada jalan keselamatan di luar gereja. Baru pada 1965 masehi, Gereja Katholik di Vatikan merevisi paham ini. Sedangkan Islam, yang berusia 1423 tahun dari hijrah Nabi, belum memiliki kedewasaan sama dengan Katholik." (Gatra, 21 Desember 2002)
"Larangan nikah beda agama bersifat konteks-tual, pada zaman Nabi, umat Islam sudah bersaing untuk memperbanyak umat. Nah, saat ini Islam sudah semilyar lebih, kenapa harus kawin dengan yang di dalam Islam. Islam sendiri sebenarnya sudah mencapai kemajuan kala itu, memperbolehkan laki-laki kawin dengan ahli kitab. Ahli kitab hingga saat ini masih ada. Malah, agama-agama selain Nasrani dan Yahudi pun bisa disebut dengan ahli kitab. Kawin beda agama hambatannya bukan teologi, melainkan sosial." (Gatra, 21 Desember 2002)
"Negara sekuler lebih unggul daripada negara Islam ala fundamentalis, sebab negara sekuler bisa menampung energi keshalehan dan kemaksiatan sekaligus." (Tempo edisi 19-25 November 2002)
"Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan laki-laki non-Islam, sudah tidak relevan lagi." (Kompas, 18 November 2002)
"Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat" (Jawa Pos, 11 Januari 2004)
"Agama tidak bisa "seenak udelnya" sendiri masuk ke dalam bidang-bidang itu (kesenian dan kebebasan berekspresi) dan memaksakan sendiri standarnya kepada masyarakat. Agama hendaknya tahu batas-batasnya." (pengantar Buku: Mengebor Kemunafikan Inul, Seks dan kekuasaan).
Fatwa mati atas kelancangan mulut Ulil tidak membuatnya bertaubat. Tidak sadarkah Ulil, bahwa dia akan mati, sedangkan seluruh perbuatannya akan dipertanggung jawabkan? Pembela kebenaran hendaknya tidak terpikat kepada kebathilan yang terkadang terasa indah dan menggiurkan. Apalagi mendukungnya. Kewajiban umat adalah mem-berantas kemungkaran. Sedang kemungkaran terbesar adalah perusakan agama.

Sumber :


Buku  "Membuka Kedok Tokoh-Tokoh Liberal dalam Tubuh NU"karya KH. Muh. Najih Maimoen.
Siapakah yg menjadi Budak Orang Kafir Di Indonesia?

Siapakah yg menjadi Budak Orang Kafir Di Indonesia?


Para pengasong paham Sepilis tak lebih dari budak-budak kuffar yang ikut dalam gerbong imprealisme Barat untuk menaklukkan negeri-negeri Muslim. Keberadaannya tak hanya mengancam umat Islam, tapi juga bangsa ini secara keseluruhan.

Oleh: Artawijaya (Editor Pustaka Al-Kautsar Jakarta)

Istilah "Kelompok moderat" versi AS dan sekutu-sekutunya, yang harus dirangkul dan dijadikan partner dalam memerangi apa yang mereka sebut "ekstremisme Islam" dan "Radikalisme Islam" adalah mereka yang mempunyai komitmen kuat untuk memasarkan ide-ide tentang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme (Sepilis). Inilah tiga ide besar yang sedang dipasarkan oleh AS dan sekutunya, dengan bantuan para pengasong di negeri-negeri Muslim yang menjadi kaki tangannya, diantaranya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dimotori oleh Ulil Abshar Abdalla, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang dimotori oleh Siti Musdah Mulia, Freedom Institute yang dimotori oleh Luthfi Asy-Syaukanie, the Wahid Institute yang dimotori oleh Yeni Abdurrahman Wahid, Setara Institute yang dimotori oleh Hendardi, International Center for Islam and Pluralism yang dimotori oleh M. Syafi'i Anwar, Komunitas Salihara yang dimotori oleh Goenawan Mohammad dan Guntur Romli, LibforAll Foundation yang dimotori oleh C. Holland Taylor (orang yang seringkali mengajak tokoh-tokoh sekular Indonesia ke Israel), dan masih banyak lagi LSM-LSM komprador yang bekerja sebagai "babu asing" dan menjalankan aksinya untuk merusak akidah dan keyakinan umat Islam. Inilah organisasi "tadah hujan" yang bekerja demi kucuran dollar, merusak dan melakukan subversi terhadap Islam.

Secara representatif, keberadaan mereka dapat terlihat jelas dalam organisasi payung bernama Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Aliansi yang terdiri dari beragam keyakinan dan agama ini, hanyalah kedok untuk mem-back-up kelompok sesat Ahmadiyah agar tidak dibubarkan oleh pemerintah. Mereka juga menjadikan Pancasila sebagai tameng untuk melindungi penodaan yang dilakukan oleh Ahmadiyah terhadap ajaran-ajaran Islam. Pada 1 Juni 2008, kelompok ini menggelar acara "Apel Siaga Pancasila" di Monumen Nasional yang berujung pada bentrokan dengan Komando Laskar Islam.

Sebelum apel siaga itu dilakukan kelompok AKKBB telah membuat pra-kondisi dengan menebar iklan provokatif di berbagai media massa nasional dengan tagline besar, "Mari Selamatkan Indonesia Kita". Dalam iklan tersebut tertera 289 nama tokoh yang mendukung gerakan mereka, diantaranya Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Azyumardi Azra, Syafi'i Ma'arif, Siti Musdah Mulia, Rizal Mallarangeng, Adnan Buyung Nasution, Dawam Rahardjo, dan lain sebagainya. Sebagian tokoh ini juga kemudian terlibat dalam permohonan uji materi UU No.1 PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penodaan Agama. Dalam uji materi yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi ini kelompok liberal keok, karena MK menolak gugatan mereka.

Aroma keterlibatan asing dalam gugatan yang diajukan kelompok liberal terkait UU Pencehan Penodaan Agama itu tercium, tatkala mereka meminta Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan keterangan saksi dari Amerika, W Cole Durham. Durham adalah pakar hak asasi manusia dari Harvard University. Upaya mendatangkan saksi ahli dari Amerika mendapat tentangan keras Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Ketua PBNU saat itu, KH. Hasyim Muzadi menyatakan bahwa kehadiran saksi dari AS itu makin membuktikan adanya skenario internasional untuk mengacaukan kehidupan beragama di tanah air.

KH. Hasyim Muzadi yang juga menjadi saksi ahli yang diajukan oleh umat Islam dengan tegas menolak pakar HAM yang diajukan oleh kelompok liberal."Mahkamah kita adalah Mahkamah Konstitusi nasional bukan mahkamah internasional. Ukurannya tidak sama dengan asing,"tegas Kiai Hasyim yang juga menjabat sebagai Sekjend Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS) dan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP).

Hasyim Muzadi menegaskan, UU No.1 PNPS/1965 adalah upaya mengantisipasi penodaan agama, agar kehidupan beragama bisa berlangsung tertib dan harmonis, tanpa adanya pelecehan dan penodaan terhadap keyakinan tertentu. Hasyim juga menduga gugatan terhadap UU ini ditunggangi oleh kelompok atheis yang memang sudah lama ingin bangkit kembali di negeri ini. Dengan tegas Hasyim menyatakan bahwa gugatan tersebut bukan menguntungkan kepentingan umat beragama di Indonesia, tapi justru akan membuat pertentangan di kalangan masyarakat. "Ini hanya menguntungkan atheisme melalui neolib dalam memanfaatkan demokrasi yang over dosis," tegasnya. HAM kata Hasyim, diukur menurut ukuran konstitusi, bukan menurut pendapat orang asing.

Selain mengajukan permohonan uji materi UU Tentang Pencegahan Penodaan Agama, kelompok liberal dengan dukungan aktivis perempuan dan transgender (homo, lesbi, biseksual) bergerilya menolak Qanun Jinayat yang disahkan oleh Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Daarussalam (NAD) pada 14 September 2009. UU Qanun Jinayat mengatur hukuman badan terkait perjudian, khamar, khalwat (berduaan bukan mahram), zina, liwath (homoseksual), dan musahaqah (lesbian), dan lain-lain. Mereka bergerilya ke Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan qanun tersebut, dan melakukan berbagai aksi demo dan kampanye penolakan. Mereka menggalang dukungan organisasi HAM internasional (Human Right Watch).

Anehnya, penolakan terhadap Qanun Jinayat justru tidak datang dari rakyat Aceh sendiri, melainkan datang dari kelompok liberal dan transgender yang berada di luar Aceh. Istilahnya, Qanunnya berlaku di Aceh, eh yang menolak para gay, homo, lesbi, biseksual, dan gerombolan liberal di Surabaya. Dengan dukungan internasional, mereka melakukan kampanye, "An International Campaign for Sexual and Reproductive Right" (Kampanye Internasional untuk Hak Seksual dan Reproduksi) di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya. Acara ini diselenggarakan oleh NGO internasional the Coalition for Sexual and Bodily Right in Muslim Societies (CSBR), yang didukung oleh gabungan dari 20 LSM pengusung virus Sepilis, diantaranya LSM Gaya Nusantara yang merupakan tempat bernaungnya para gay, homo, dan lesbi.

Seminar dan kampanye tersebut dihadiri oleh Guntur Romli, aktivis AKKBB yang juga aktif di Jurnal Perempuan dan Komunitas Salihara. Guntur adalah orang yang memiliki syahwat tinggi untuk membubarkan Front Pembela Islam (FPI). Syahwat tersebut ia lampiaskan dengan menggalang segelintir begundal, homo, gay, dan lesbi untuk berteriak-teriak di Bunderan HI dalam kampanye "Indonesia Tanpa FPI". Selain Guntur Romli, tokoh Jaringan Islam Liberal yang sekarang mencari nafkah di Partai Demokrat, Ulil Abshar Abdalla, juga nampak dalam kerumunan kecil tersebut.

Kampanye kaum liberal dan mereka yang mengalami disorienteasi seksual tersebut tak lebih dari rasa frustasi mereka karena tak juga laku memasarkan paham Sepilis di Indonesia. Bahkan, karena tak juga mampu menjadi pengasong yang sukses memasarkan paham sesat tersebut, beberapa funding asing mulai mengurangi bahkan menghentikan transfer dollar kepada kelompok tersebut. Karena itu, tak heran jika Ulil Abshar Abdalla berpindah ke ketiak Partai Demokrat, partai yang beberapa kadernya diduga menjadi mesin ATM pengeruk uang rakyat. Di partai yang sudah "babak belur" karena kasus korupsi dan kebohongan publik ini, Ulil yang dulu menjadi pengasong di JIL, kini menjabat sebagai Ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan. Entah atas dasar apa, Demokrat menempatkan dirinya di posisi tersebut. Apakah partai yang dibidani oleh SBY ini ingin Ulil membuat strategi dan kebijakan untuk memasarkan liberalisasi di Indonesia? Wallahu a'lam.