PEDULI FAKTA

Twitter @PeduliFakta

Tampilkan postingan dengan label Nurcholish Madjid. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nurcholish Madjid. Tampilkan semua postingan
Membenci Islam, Menjajakan Sekulerisme Bermuara Komunisme dan Atheisme

Membenci Islam, Menjajakan Sekulerisme Bermuara Komunisme dan Atheisme


Pada salah satu tulisannya, mendiang Nurcholish Madjid  pernah menyatakan: “Komunisme adalah bentuk lain dan lebih tinggi dari sekularisme. Sebab, komunisme adalah sekularisme yang paling murni dan konsekwen. Dalam komunismelah seseorang menjadi atheis sempurna“

Pernyataan itu dikutip oleh Abdul Hadi W.M. melalui tulisannya berjudul Islam, Marxisme dan Persoalan Sosialisme di Indonesia yang dipublikaskan di situs Bayt al-Hikmah Institute, bisa juga ditemukan di http://ahmadsamantho.wordpress.com/2008/01/28/islam-marxisme-dan-persoalan/.

Bila komunisme adalah bentuk lain dan lebih tinggi dari sekularisme, maka logikanya, sekularisme adalah bentuk lain dan lebih rendah dari komunisme, yang belum murni dan belum konsekwen sebagaimana komunisme. Kalau begitu adanya, tentu dari benak kita timbul pertanyaan, Mengapa mendiang Nurcholish Madjid dan sekutunya begitu getol menjajakan sekularisme?”

Mungkin mendiang Nurcholish Madjid tahu –karena ia juga mengaku-aku ikut menumpas PKI (Partai Komunis Indonesia)– bahwa bila komunisme itu dijajakan apa adanya, pasti kalah, karena akan langsung dilibas oleh kekuatan Islam. Oleh karena itu, boleh jadi mendiang Nurcholish Madjid sedang bereksperimen dengan menjajakan komunisme namun melalui tingkatan yang lebih rendah, yaitu sekularisme. Bila sekularisme ini berhasil diserap, lama-kelamaan akan sampai ke puncaknya yaitu komunisme, dan komunisme merupakan puncak kesempurnaan atheisme. Padahal, atheisme bertentangan dengan Pancasila dan agama-agama yang diakui keberadaannya oleh pemerintah Indonesia.

Hanya Allah yang Maha Mengetahui, hanya Allah yang Lebih Mengetahui apa-apa yang tersimpan di balik hati seseorang, termasuk di balik hati Nurcholish Madjid (dan sekutunya) yang begitu getol menjajakan sekularisme. Bahkan kini komoditas ideologis itu berkembang menjadi sepilis (sekularisme, pluralisme agama, dan liberalisme).

Yang jelas, sebelum ajal menjemput (29 Agustus 2005), Nurcholish Madjid pada tahun 2004 pernah diganti hatinya di negeri tirai bambu (China), dari donor orang China. Dan di China, mayoritas penduduknya berpaham komunis tulen. Di tahun 1980-an, Bambang Irawan Hafiluddin dan Hasyim Rifa’i yang telah bertobat dan keluar dari kubangan kesesatan Islam Jama’ah (LDII), pernah berkunjung ke rumah Nurcholish Madjid di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Kepada Nurcholish Madjid mereka bertanya, ‘Negara mana di dunia ini yang pantas untuk ditiru sebagai teladan?_ Bambang dan Rifa’i spontan terkaget-kaget, karena ternyata jawaban Nurcholish Madjid adalah Negara China alias Tiongkok. Alasannya, karena di sana tidak ada perzinaan, pencurian dan sebagainya.

Dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati siapa tahu? Yang pasti, mendiang Nurcholish Madjid adalah pendiri Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta. Salah satu personil yang menjadi aktivis Paramadina adalah Saidiman, ketua Forum Muda Paramadina. Pada tanggal 1 Juni 2008 lalu, Saidiman yang juga aktivis komunitas utan kayu ini, menjadi koordinator lapangan  aksi AKKBB mendukung Ahmadiyah.

Dengan tameng merayakan Hari Lahir Pancasila dan Mendukung Minoritas Ahmadiyah, AKKBB bin CIA ini melakukan unjuk massa dan orasi di Bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta. Sebenarnya, tujuan mereka adalah untuk mengalihkan perhatian atau meng-counter aksi massa yang menolak kenaikan harga BBM. Amerika memang berkepentingan agar harga BBM di Indonesia setara dengan harga BBM di luar negeri pada umumnya. Mungkin dimaksudkan agar rakyat kecil yag berprofesi sebagai sopir angkot mati kelaparan karena berhenti beroperasi akibat harga bensin yang melambung.

Menurut protap (prosedur tetap), seharusnya massa AKKBB bin CIA ini menempuh rute yang telah disepakati (antara AKKB dengan kepolisian), yaitu Gambir-Air Mancur Indosat-Bundaran HI, untuk kemudian berorasi di Bundaran HI. Rute ini melewati jalan Medan Merdeka Selatan melintas di depan Kedubes Amerika. Melintasi Kedubes AS bukan tanpa tujuan, tetapi memang begitulah aturan bakunya, untuk menunjukkan kepada majikannya bahwa mereka sudah menjalankan perintah sesuai pesanan. Sebagai ‘nomor bukti’ kira-kira begitulah.

Namun, pentolan AKKBB yang berkedok humanis ini ternyata serigala berbulu ayam. Begitu melihat ada massa Laskar Islam, watak aslinya keluar, naluri menghabisi musuh-musuhnya pun bangkit. Massa AKKBB bin CIA yang seharusnya menempuh rute yang telah disepakati, justru masuk ke kawasan Monas. Padahal, di Monas sudah disepakati menjadi tempat massa PDI-P dan massa Laskar Islam berkumpul untuk melakukan orasi dengan tema TOLAK KENAIKAN HARGA BBM.

Perubahan rute yang dilakukan AKKBB ternyata tidak dipedulikan pada persidangan Habib Rizieq dan Munarman, sehingga mereka berdua divonis 18 bulan. Seharusnya perubahan rute yang memicu terjadinya bentrokan, dijadikan novum penting yang dapat melemahkan tuduhan JPU (Jaksa Penuntut Umum) terhadap Habib Rizieq dan Munarman.

Karena akibat adanya perubahan rute itulah, terjadi bentrokan antara massa AKKBB dengan Laskar Islam, yang mengakibatkan Guntur Romli dan Saidiman bonyok. Massa AKKBB bin CIA jelas kalah. Karena, massa Laskar Islam (yang di dalamnya terdapat unsur laskar FPI), lebih solid dibanding dengan massa AKKBB bin CIA, yang merupakan massa cair dan spontan karena dibayar sekian puluh ribu rupiah per orang.

Ketika massanya dipentungi dan dipukuli, Saidiman sang Korlap (koordinator lapangan) yang juga aktivis Paramadina ini spontan mengeluarkan umpatan dan sumpah serapahnya, ‘dasar binatang-binatang. Islam anjing, orang Islam anjing.’

Demikian menurut laporan satu situs yang berpusat  di Surabaya di bawah lembaga yang memiliki cabang di berbagai wilayah.
Sejelek-jeleknya orang Islam, yang di dalam hatinya ada iman, ada keberpihakan kepada Islam, pasti tidak akan keluar kata-kata umpatan seperti itu. Kalau kita tuangkan isi teko, bila teko itu berisi air teh, maka yang keluar dan ditampung di dalam cangkir adalah air teh juga. Begitu juga dengan Saidiman, bila yang keluar dari mulutnya adalah anjing, maka hatinya dipenuhi dengan anjing.

Makian seperti dicetuskan mulut Saidiman itu jelas menunjukkan bahwa ia sesungguhnya membenci Islam. Kebencian Saidiman kepada Islam sudah menjadi pengetahuan umum. Karena, kebencian itu sering diungkapkannya di sebuah milis. Saidiman kerap menuturkan keburukan Islam dan Rasul-Nya, meski ia secara formal mengaku masih Islam. Padahal, yang membenci Islam, di Indonesia ini, bahkan membunuhi Ummat Islam adalah orang-orang komunis dan atheis. Contoh nyata adalah peristiwa Madiun 1948, yaitu dibantainya para Ulama dan Ummat Islam oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Saidiman ibarat murid yang sedang menunjukkan kepada kita, hasil belajar dan interaksinya selama ini dengan sang guru di tempatnya menggali ilmu.

Menunjukkan simpati pada Atheis

Akhir-akhir ini, kita dapati ada sejumlah orang yang gemar menunjukkan keberpihakannya kepada atheisme. Salah satunya Ahmad Syafi’i Ma’arif (ASM). Pada harian Republika edisi 27 Mei 2008, dalam rubrik Resonansi, melalui tulisannya berjudul Kaum Ateis Pun Berhak Hidup di Muka Bumi, ASM menunjukkan pembelaannya kepada kaum atheis. Menurut ASM, kaum anti agama (atheis) itu bisa masuk surga juga karena amal saleh yang mereka perbuat. Pernyataan itu, merupakan proses pemahaman ASM terhadap firman Allah pada surat Yunus ayat 99; Al-Baqarah ayat 256 dan Al-Isra ayat 107. Melalui ketiga ayat tadi, Allah memberikan hak kepada manusia berupa kebebasan untuk beriman atau tidak beriman. Begitu pemahaman ASM. (lihat artikel berjudul Lahn Qaul Ahmad Syafii Maarif June 5, 2008 10:06 pm).
Dalamnya lautan bisa diselami, tetapi dalamnya hati Ahmad Syafi’i Ma’arif siapa yang bisa selami? Untuk apa ia repot-repot membela kaum atheis dengan menyodorkan pemahaman bahwa kaum anti agama itu bisa masuk surga juga karena amal salehnya? Apalagi, belum tentu kaum atheis membutuhkan dukungan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Bahkan belum tentu kaum atheis merasa senang dikabarkan bisa masuk surga, karena mereka memang tidak mempercayai keberadaan surga. Yang juga mengherankan, mengapa kok Republika yang katanya koran Islam mau-maunya memuat tulisan seperti itu? Jangan-jangan jajaran redaksi dan pemiliknya sudah condong kepada atheisme bin komunisme juga.

Kalau yang agak condong membela atheisme bin komunisme itu media cetak seperti TEMPO, barangkali masih bisa dimengerti. Karena, sejak lahir media cetak itu memang tidak punya komitmen apa-apa terhadap Islam dan umat Islam. Apalagi, Goenawan Mohamad (GM) akhir-akhir ini, terkesan cenderung memberikan posisi terhormat untuk kalangan atheis.

Sebagaimana tercermin melalui salah satu catatan pinggirnya berjudul Atheis, yang pernah dipublikasikan Majalah Tempo Edisi 23/30 Juli – 05 Agustus 2007. Bagi Goenawan Mohamad, di zaman ini iman (atau agama) dikibarkan dengan rasa ketakutan, dan rasa ketakutan dengan segera diubah jadi kebencian. Akibatnya, dunia tidak bertambah damai. Nah, karena agama atau iman kepada ajaran agama –yang dikibarkan dengan rasa ketakutan– maka kedatangan para atheis dengan pisau argumennya yang tajam, adalah sesuatu yang dinantikan. Siapa tahu para atheis inilah yang akan membuat kalangan agama mengalihkan fokus mereka dan kemudian berhenti bermusuhan.”

Demikian tulisan Goenawan Mohammad yang biasa disebut caping (catatan pinggir) yang ia mengaku di suatu wawancara, setiap kali menulis caping itu, ia memakan waktu lima jam, non stop, kadang jam tiga pagi sampai jam 08. bahkan sering diulang-ulang, hingga kadang redaksinya bingung, mana yang dipakai.

Meskipun sudah memakan waktu lima jam dan diulang-ulang, namun sangat ketahuan belangnya. Dalam hal atheis dan agama, Goenawan tampak merem, tidak melek. Padahal di hadapannya telah terpampang sejarah hitam PKI Madiun dan sebagainya. Di antaranya, sejarah ini perlu dia baca kembali:

…pembantaian yang sadis telah dilakukan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berideologi marxisme, di antaranya dalam Affair Madiun atau Peristiwa Madiun (Pemberontakan PKI di Madiun, 18 September 1948 pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin).

Seorang wartawan asal Madiun menulis di Majalah Media Dakwah tentang hilangnya kemanusiaan berganti dengan kesadisan. Di antaranya ia mengemukakan adanya dokumentasi di kantor berita foto, Ipphos, tentang foto genangan darah ulama yang disembelihi PKI  (Partai Komunis Indonesia) dalam Affair Madiun atau Peristiwa Madiun 18 Sepetember 1948. Dia sebutkan, foto genangan darah ulama itu setebal bercenti-centi meter saking banyaknya ulama yang disembelihi PKI. Di Kampung Gorang Gareng Madiun saja, ungkap wartawan asal Madiun ini, ada seratusan lebih ulama beserta keluarganya yang dibantai PKI pimpinan Muso dan Amir Sjarifuddin.[1]

Sederhanya, dengan merem dan tidak melek terhadap kenyataan sejarah, GM sedang menjajakan atheisme, karena atheisme itu lebih baik daripada beriman (beragama) tapi tidak bisa menciptakan kedamaian, justru memproduksi permusuhan dan pertikaian.

Membaca pernyataan di atas, GM dan para pendukungnya sudah bisa diduga akan berkilah, ‘Anda salah memahami maksud yang terkandung dari dalam tulisan GM.”

Oh, ya? Masalahnya, selama ini GM lebih sering memposisikan diri –melalui tulisannya di catatan pinggir– tidak tegas, tidak jantan, alias banci. GM bagai bencong yang menjajakan diri di perempatan jalan yang sunyi dan gelap: di kejar dari kiri, dia belok ke kanan; di kejar dari kanan, dia belok ke kiri. Seharusnya digrebek dari segala penjuru, supaya tidak bisa lari kemana-mana.


Tapi khan dulu GM merupakan salah satu budayawan Indonesia yang dimusuhi dan diobok-obok PKI. Begitu mungkin alasan yang disodorkan GM dan pengikutnya. Betul, tapi manusia bisa berubah. Faktanya, ada sosok yang semula laki-laki, kini berhasil menjadi perempuan. Kalau jenis kelamin saja bisa berubah (seketika), apalagi hanya keberpihakan kepada sebuah paham?

Ada kemiripan pesan antara pendapat Ahmad Syafi’i Ma’arif dengan Goenawan Mohamad dalam membela kalangan atheis ini. Ma’arif seolah-olah berpesan, karena beragama atau tidak merupakan hak yang diberikan oleh Allah, maka pilihan menjadi atheis pun tidak ada sanksi apa-apa dari-Nya, bahkan tetap bisa masuk surga-Nya karena telah melakukan amal saleh. Sedangkan GM seolah-olah sedang berpesan, daripada beragama tetapi tidak mampu menciptakan kedamaian, mending atheis sekalian.

Bila dikaitkan dengan pernyataan Nurcholish Madjid di atas, ‘Dalam komunismelah seseorang menjadi atheis sempurna’, maka boleh jadi, Ma’arif dan Goenawan sedang menjajakan komunisme yang lebih rendah tingkatannya, yaitu atheisme. Kalau atheisme sudah mendapat posisi terhormat di kalangan bangsa Indonesia, kelak akan mudah membawa bangsa Indonesia menuju tingkat yang lebih sempurna yaitu komunisme.

Perlu pula kita tengok di kampus perguruan tinggi Islam (IAIN, UIN, STAIN, STAIS dan sebagainya). Kasus di Bandung, ajakan dzikir dengan ucapan Anjing hu Akabar  diteriakkan oleh seorang mahasiswa senior untuk ditirukan oleh mahasiswa baru UIN bandung). Di suatu media dikemukakan: Acara taaruf di UIN (Universitas Islam Negeri) Bandung Jumat, 27 September 2004 pun segera berbuah kecaman. Ulama Bandung, Athian Ali M Dai, menyatakan benih-benih materialis, atheis, dan komunis ternyata telah tumbuh liar dan mencemarkan integritas dan citra UIN SGD Bandung. Ditambahkannya, benarkah hanya IAIN saja yang mengalami nasib seperti ini? Karena yang sangat faktual kader-kader anti Islam dan anti tuhan mulai menampakkan diri secara jalang.

Dari kenyataan-kenyataan itu, siapa bilang ideology komunisme telah mati? Kenyataannya, ideology komunisme masih hidup di Paramadina, di UIN, di IAIN, di AKKBB, di Tempo Grup, di Utan Kayu, di Republika, di Kompas dan masih banyak tempat lain, termasuk di berbagai parpol.

Peringatan Allah dan Rasul-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا بَعْضُهُمْ أَوْلِياَءُ بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوْهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فيِ اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ
t73.  Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu[625], niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. ((QS Al-Anfal: 73)
[625]  yang dimaksud dengan apa yang telah diperintahkan Allah itu: keharusan adanya persaudaraan yang teguh antara kaum muslimin.

اْلمُناَفِقُوْنَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ اْلمَعْرُوْفِ وَيَقْبِضُوْنَ أيَدْيِهْمِ ْنَسُوْا اللهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ هُمُ اْلفَاسِقُوْنَ
67.  Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya[648]. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik. (QS At-Taubah: 67).

[648]  Maksudnya: berlaku kikir

إِنَّ اْلمُناَفِقِيْنَ فيِ الدَّرْكِ اْلأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيْراً -145- إِلاَّ الَّذِيْنَ تاَبُوْا وَأَصْلَحُوْا وَاعْتَصَمُوْا بِاللهِ وَأَخْلَصُوْا دِيْنَهُمْ للهِ فأولئك مع المؤمنين وسوف يؤت الله المؤمنين أجرا عظيما
145.  Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.
146.  Kecuali orang-orang yang Taubat dan mengadakan perbaikan[369] dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka Karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar. (QS An-Nisaa’: 145, 146)

[369] mengadakan perbaikan berarti berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat yang jelek dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan.


Hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمِ اللِّسَانِ (أحمد ، وابن أبى الدنيا فى ذم الغيبة ، وابن عدى ، ونصر فى الحجة ، والبيهقى فى شعب الإيمان ، والضياء عن عمر. قال الألباني في ” السلسلة الصحيحة ” 3 / 11 : إسناده صحيح )
Dari Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya yang paling saya takuti dari apa yang aku takuti atas ummatku adalah setiap orang munafik yang sangat pandai bicara. (HR Ahmad, Ibnu Abid Dun-ya, Ibnu ‘ِِِAdi, Nashr, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan Ad-Dhiyaa’; dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah juz 3/ 11). (haji/tede)
Harun Nasution dan Nurcholish Madjid

Harun Nasution dan Nurcholish Madjid


Harun Nasution dan Nurcholish Madjid Dalam Kasus Penyelewengan Tauhid Berkedok Ayat Tentang Ahli Kitab

Ikbal Irham seorang dosen IAIN Medan yang mengaku muridnya mendiang Harun Nasution di Pasca sarjana IAIN (UIN) Jakarta mengemukakan, Harun Nasution mengajarkan dalam perkuliahan bahwa Bunda Theresia (Nasrani) kelak masuk surga. Dan itu ada ayatnya:

لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ ءَايَاتِ اللَّهِ ءَانَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ(113) يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَأُولَئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ(114)

Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). (QS Ali Imran/ 3: 113).

Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. (QS Ali Imran/ 3: 114).

Dosen yang murid Harun Nasution itu mengemukakan hal tersebut dalam seminar di Masjid IAIN Medan, Sabtu 11 Maret 2006M/ 10 Shafar 1427 H. Dia juga berupaya membela Nurcholish Madjid di hadapan Dr Masri Sitanggang, seorang pembicara dalam seminar ini. Karena Dr Masri menegaskan bahwa Nurcholish Madjid dulu tidak mampu mempertahankan pendapatnya tentang Islam bukan nama agama, ketika dibantah oleh Masri dalam seminar di Medan, 27 Juli 1993. Saat itu, Masri membantah Nurcholish Madjid dengan makalah berjudul Kajian Kritis terhadap Makalah Nurcholish Madjid Berjudul: Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang.
Murid Harun Nasution dijawab

Ungkapan dosen yang murid Harun Nasution tentang Ahli Kitab itu saya (Hartono Ahmad Jaiz) jawab: Nah itulah buktinya. Karena pelajaran hafalan (ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) sudah dibredel di IAIN, maka mahasiswa (walaupun di pasca sarjana) tidak hafal ayat, tidak hafal hadits, tidak tahu tafsir ayat, dan tak kenal asbabun nuzulnya. Maka ketika dikemukakan hal yang sebenarnya bertentangan dengan isi ayat dan hadits, mahasiswa hanya ikut saja, tidak bisa membantahnya. Padahal kalau tahu asbabun nuzulnya, bahwa ayat itu berkaitan dengan Raja Najasyi, maka tahu bahwa Ahli Kitab di situ orang yang sudah masuk Islam. Sebagaimana orang yang beriman dari kalangan Fir’aun masih disebut min ali fir’aun, dari kalangan Fir’aun, tetapi sudah beriman, keyakinannya tidak seperti Fir’aun.

Di samping itu, kalau hafal hadits, maka akan menyanggah pernyataan Harun Nasution itu, karena ada hadits sohih riwayat Muslim, siapa saja yang sudah mendengar seruan Nabi Muhammad saw dan kemudian mati dalam keadaan tak beriman kepadanya maka pasti termasuk penghuni-penghuni neraka.

Haditsnya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ.(رواه مسلم).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii’in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).
Masalah Ahli Kitab yang beriman

Untuk menjelaskan sesatnya faham Harun Nasution mengenai ayat laisu sawa’ perlu kita merujuk kepada penjelasan ulama, di antaranya penafsiran Imam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Daqoiqut Tafsir juz 1 halaman 313-319. Kami susun dalam bentuk pemahaman yang diambil darinya (bukan terjemahan, tapi pemaparan dengan melandaskan padanya) sebagai berikut.

1. Orang yang beriman dari ahli kitab, maksudnya beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi tidak bisa melaksanakan syari’at Islam secara terang-terangan karena tidak dapat hijrah ke Darul Islam, masih di Darul Harb, hingga hanya mampu melaksanakan apa yang dapat ia lakukan, dan gugur dari apa yang tidak dapat dilakukannya. Itu sebagaimana Raja Najasyi di Habasyah yang dia beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun masih berada di lingkungan Nasrani dan hanya dapat melaksanakan apa yang dia mampu, maka gugur dari apa yang dia tidak mampu. Maka masih disebut min ahlil kitab (dari kalangan ahli kitab) karena dalam kenyataan secara lahiriah masih di golongan dan tempat Nasrani. Berbeda dengan yang sudah jelas melaksanakan Islam secara nyata, baik lahir maupun batin, dan berada di negeri Darul Islam, bukan Darul Harb, maka walaupun tadinya dari ahli kitab, ataupun kafir ataupun musyrik, maka sudah tidak disebut dari golongan ahli kitab, atau kafir atau musyrik.

2. Sebaliknya, orang-orang yang menampakkan dirinya sebagai muslim di Darul Islam, bahkan secara lahiriyah juga melaksanakan Islam, tetapi hatinya kafir, mengingkari Islam, maka secara lahir mereka disebut Islam. Tetapi orang ini adalah munafik. Jadi sebutannya muslim, namun hakekatnya kafir. Maka Abdullah bin Ubay bin Salul, walaupun dia berada di Madinah bersama Nabi Muhammad saw, menampakkan diri mengerjakan Islam, namun dia munafik, maka Allah melarang untuk menshalati jenazahnya, karena hakekatnya Abdullah bin Ubay itu kafir. Ini berbalikan dengan Raja Najasyi. Dalam riwayat yang jelas, ternyata Raja Najasyi beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya saja adanya di negeri Nasrani, maka ketika meninggal, kemudian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ghaib untuk Najasyi itu.

Keadaan Najasyi itu sebagaimana pula orang mukmin yang menyembunyikan keimanan di antara warga Fir’aun (Ali Fir’aun), sebagaimana pula istri Fir’aun, Asiyah, masih disebut Ali Fir’aun (Warga Fir’aun), karena belum berhijrah ke Darul Islam, walau batinnya sudah beriman. Dan melakukan keimanannya sebatas apa yang dia mampui, sedang yang tidak dimampui maka gugur kewajibannya.

Itu bisa dirujuk pada firman Allah subhanahu wata’ala:

لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ ءَايَاتِ اللَّهِ ءَانَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ(113) يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَأُولَئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ(114)

Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). (QS Ali Imran/ 3: 113).

Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. (QS Ali Imran/ 3: 114).

وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خَاشِعِينَ لِلَّهِ لاَ يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلاً أُولَئِكَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ(199)

Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan-nya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya. (QS Ali Imran/ 3: 199).

وَقَالَ رَجُلٌ مُؤْمِنٌ مِنْ ءَالِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ أَتَقْتُلُونَ رَجُلاً أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ وَقَدْ جَاءَكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ رَبِّكُمْ وَإِنْ يَكُ كَاذِبًا فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ وَإِنْ يَكُ صَادِقًا يُصِبْكُمْ بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ(28)

Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir‘aun yang menyembunyikan imannya berkata: “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: “Tuhanku ialah Allah, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu”. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (QS Ghafir/40: 28).

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ(11)

Dan Allah membuat isteri Fir‘aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim”, (QS At-Tahrim/66 :11).

Dalam Al-Qur’an, isteri termasuk keluarga, maka istri Nabi Luth as adalah keluarga Luth, hanya saja karena kafir maka termasuk orang-orang yang diadzab.

قَالُوا إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَى قَوْمٍ مُجْرِمِينَ(58)إِلاَّ ءَالَ لُوطٍ إِنَّا لَمُنَجُّوهُمْ أَجْمَعِينَ(59)إِلَّا امْرَأَتَهُ قَدَّرْنَا إِنَّهَا لَمِنَ الْغَابِرِينَ(60)

Mereka menjawab: “Kami sesungguhnya diutus kepada kaum yang berdosa, kecuali Luth beserta pengikut-pengikutnya. Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan mereka semuanya, kecuali isterinya, Kami telah menentukan, bahwa sesungguhnya ia itu termasuk orang-orang yang tertinggal (bersama-sama dengan orang kafir lainnya)”. (QS Al-Hijr/ 15: 58. 59, 60).

Imam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, di kalangan orang-orang yang menampakkan dirinya sebagai Muslim ada yang munafik, yaitu batinnya kafir, baik (berideologi) Yahudi, musyrik, maupun menafikan sifat-sifat Allah (mu’thil). Demikian pula (sebaliknya) dari kalangan orang Ahli Kitab dan Musyrikin, ada yang tampaknya seperti mereka tetapi dalam batinnya beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, berbuat dengan ilmunya sebatas kemampuannya, dan gugur dari kewajiban mengenai apa yang dia tidak mampu mengerjakannya, Allah tidak membebani kecuali sekadar kemampuannya, sebagaimana Najasyi yang tidak mampu pindah ke negeri Muslim/ Darul Islam.[1]

3. Adapun sebelum datangnya Nabi Muhammad saw, makna Ahli Kitab yang mukmin itu adalah orang-orang yang beriman kepada nabinya sebelum agamanya diganti/ diubah dan dinasakh (dihapus oleh nabi yang baru). Umatnya Nabi Musa, maka yang mukmin yaitu yang mengikuti agama Nabi Musa as, memegangi Taurat dengan konsisten/ istiqomah. Ketika datang Nabi Isa as maka mengikuti dan beriman pula kepada Nabi Isa as. Demikian pula umatnya Nabi Isa alaihis salam, mengikuti dan beriman kepada Nabi Isa as, memegangi Injil dengan istiqomah sebelum ada penggantian/ perubahan tangan-tangan orang, dan sebelum dinasakh (datangnya Nabi baru lagi, Nabi Muhammad saw). Ketika datang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mengikuti dan mengimani Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itulah yang disebut beriman, yang dijanjikan surga oleh Allah swt atas mereka.

Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid atau biasa disapa Cak Nur (lahir 17 Maret 1939, meninggal 29 Agustus 2005). Sampai akhir hayatnya, Cak Nur masih tercatat sebagai Peneliti Senior, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Namun jarang ngantor

Nurcholish Madjid


Cak Nur jarang ngantor di LIPI, karena kesibukannya luar biasa banyak. Antara lain, sejak 1985 menjadi Dosen pada Fakultas Pasca Sarjana, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selama dua periode (1987-1992 dan 1992-1997) Cak Nur menjadi anggota MPR RI. Selama delapan tahun (1990-1998) menjadi angggota Dewan Pers Nasional. Tahun 1993 (selama beberapa tahun) menjadi anggota Komnas HAM. Sejak 1998 Cak Nur menjadi Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta. Ketika ICMI lahir, Cak Nur menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasehat ICMI (1990-1995). Belum lagi ditambah dengan seabreg kegiatannya yang bersifat internasional.


Kemampuan psikologis Cak Nur juga luar biasa, sehingga ia bisa meyakinkan Habibie (presiden kala itu) sedemikian rupa, sehingga Habibie menjatuhkan pilihan kepada Cak Nur untuk menerima penghargaan Bintang Maha Putera (1998), yang membuatnya layak dimakamkan di TMP (Taman Makam Pahlawan) Kalibata Jakarta. Habibie memang seorang teknokrat handal, namun ia amat awam di bidang politik praktis, apalagi di bidang pergerakan Islam. Sehingga sosok Cak Nur begitu luar biasa baginya.

Selain Cak Nur yang dianugerahi Bintang Maha Putera adalah Imaduddin Abdurrahim alias Bang Imad, yang juga teman dekat Habibie. Bang Imad meninggal dunia pada hari Sabtu, tanggal 02 Agustus 2008, dan telah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Tokoh lainnya, yang pernah mendapat anugerah Bintang Maha Putera adalah Amien Rais, mantan Ketua PP Muhammadiyah, mantan Ketua MPR RI yang mendukung aliran sesat Ahmadiyah. Kelak, Amien Rais juga berhak dimakamkan di TMP Kalibata.
Cak Nur menjadi salah satu tokoh news maker, karena pernyataan-pernyataannya yang nyeleneh. Di tahun 1985 (tepatnya tanggal 1 April), Harian Pelita menyeleggarakan sebuah Seminar, yang salah satu narasumbernya adalah Cak Nur. Di dalam makalahnya, Cak Nur menerjemahkan kalimah thoyyibah Laa Ilaaha illal laah menjadi Tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar). Terjemahan ngawur itu diprotes salah seorang peserta, bahkan dikategorikan sebagai terjemahan yang haram. Dua hari kemudian, wartawan Harian Pelita, Hartono Ahmad Jaiz, menurunkan tulisan yang mempersoalkan terjemahan ngawur Cak Nur itu.

Namun, sekitar lima belas tahun sebelumnya, dua tahun setelah Cak Nur meraih gelar sarjana dari IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, tepatnya tanggal 3 Januari 1970, ia sudah berani menggebrak melalui pidatonya bertajukKeharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat. Intinya, Cak Nur melontarkan gagasan sekularisasi, yang kemudian dibantah oleh Prof Dr HM Rasjidi, mantan Menteri Agama RI yang pertama. 

Selain menawarkan gagasan sekularisasi, Cak Nur juga mengecam dengan keras konsep negara Islam. Menurut Cak Nur, ‘Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep ‘Negara Islam’ adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi.”

Lontaran gagasannya itu dilanjutkannya pada tanggal 30 Oktober 1972, saat ia memberikan ceramah di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan judul Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia

Cak Nur juga pernah mengatakan, ‘Iblis kelak akan masuk surga, bahkan di tempat yang tertinggi karena dia tidak mau sujud kecuali kepada Allah saja, dan inilah tauhid yang murni._ Pernyataan itu dilontarkan Cak Nur dengan mengutip pendapat Ibnu Arabi yang pernah dimuat sebuah majalah yang terbit di Damaskus (Syria). Peristiwa itu terjadi pada forum pengajian Paramadina, 23 Januari 1987. Padahal, menurut firman Allah melalui surat Al-Baqarah ayat 34, iblis itu makhluk yang takabur dan kafir:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ(34)
‘Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.’ 

Ibnu Arabi sendiri telah dianggap kafir dan murtad oleh sejumlah ulama, akibat tulisan-tulisannya yang sangat bertentangan dengan aqidah Islam. Inti ajaran Ibnu Arabi didasarkan pada teori wihdatul wujud (menyatunya makhluk dengan Tuhan) yang menghasilkan wihdatul adyan (kesatuan agama, tauhid maupun syirik) sebagai sinkretisme dari teori-teori al-ittihad (manunggal, melebur jadi satu antara si orang sufi dan Tuhan) dengan mengadakan al-ittishal atau emanasi. Yang jelas, Ibnu Arabi banyak dipengaruhi oleh filsafat Masehi atau Nasrani.

Di tahun 1971, Cak Nur pernah melontarkan jargon Islam, Yes! Partai Islam, No! dalam rangka menggembosi partai Islam. Namun di tahun 2003, jargon Cak Nur berubah menjadi Islam, Yes! Partai Islam, Yes! dalam rangka menggalang dukungan dari partai Islam (antara lain PKS), soalnya Cak Nur kala itu bersyahwat mau mencalonkan diri jadi Presiden RI periode 2004-2009.

Sikap tidak konsisten Cak Nur juga terlihat ketika ia yang selama ini menjajakan pluralisme agama, justru gundah gulana ketika putrinya Nadia hendak menikah dengan lelaki Yahudi. Agustus 2001, Cak Nur mengirimkan e-mail kepada Nadia, isinya: ‘Kalau sampai terjadi perkawinan antara Nadia dengan David, itu termasuk dosa terbesar setelah syirik.”

Kalau gagasan pluralisme agama yang dijajakan Cak Nur dan kawan-kawannya itu merupakan konsep yang baik dan benar, seharusnya Cak Nur tidak perlu gundah-gulana sampai mengatakan perkawinan antara Nadia yang Muslimah dengan David yang Yahudi merupakan dosa besar setelah syirik. Sebaliknya, kalau gagasan itu memang tidak baik dan tidak benar, mbok ya jangan dijajakan kepada orang lain. Ini namanya kurang ajar.

Kenapa pemikirannya sangat rancu seperti itu?

Perlu ditelusuri, Nurcholish Madjid kuliah di Chicago Amerika, bertemu dengan guru besar Prof Fazlurrahman, seorang yang pendapatnya tentang Islam telah dipersoalkan oleh para Ulama di Pakistan hingga dia pergi ke Amerika sampai meninggalnya. Sebelum itu, Nurcholish Madjid di saat masih jadi santri di tingkat menengah (lanjutan pertama dan lanjutan atas) digencar dengan bahasa Arab dan Inggeris. Begitu kelas lima, sebagaimana pengakuan sebagian pengelola pesantren, langsung diberi pelajaran Kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, yakni fiqih perbandingan antar pendapat para ulama. 

Perlu diketahui, perbandingan pendapat antara para ulama fiqih itu perbedaannya memang tampak sekali, bahkan dapat saling bertentangan, atau jauh berbeda satu sama lain. Masing-masing memiliki landasan atau rujukan dalil. Namun perlu diketahui, perbedaan pendapat di situ hanyalah masalah ijtihadiyah, dalam masalah yang memerlukan ijtihad Ulama, masalah cabang (bukan pokok) dan dalilnya samar, tidak jelas, dan kemungkinan bukan hanya satu makna. Maka perbedaan antara pendapat para ulama di situ sifatnya biasa saja, dan ditolerir. Berbeda dengan masalah yang pokok, yang dalilnya sudah jelas, dan tidak memungkinkan makna lain, maka tidak mentolerir perbedaan. Siapa yang berbeda dengan dalil yang sudah pasti lagi jelas, maka berarti menyimpang alias sesat.

Jadi ada perbedaan yang ditolerir, dan ada yang tidak. Ketika yang dipelajari itu langsung mengenai aneka perbedaan yang sifatnya ditolerir, sedang para santri belum tahu betul bahwa sebenarnya di dalam Islam itu ada yang masalah ijtihadi yang boleh berbeda, tetapi selain itu ada yang sifatnya qoth’i (pasti) dan tidak boleh berbeda; kemudian santri disuguhi pelajaran yang isinya perbedaan-perbedaan ijtihadi dalam kitab Bidayatul Mujtahid, maka terbentuklah cara berfikir santri bahwa di dalam Islam itu semua perbedaan adalah boleh-boleh saja.bahkan kadang dikilahi dengan apa yang disebut hadits, padahal tak ada asal usulnya menurut ahli hadits, yaitu ikhtilaafu ummatii rohmah (Perbedaan ummatku adalah rohmat). Akibatnya sangat fatal, dan contoh kongkretnya adalah Nurcholish Madjid itu. Dan tidak sedikit yang kini sampai tidak membedakan antara yang mukmin dengan yang kafir, semua dianggap akan masuk surga. Ini adalah pendapat kufur.

Kenapa sampai separah itu? Ini di antaranya karena kurikulum di IAIN atau perguruan tinggi Islam di Indonesia, mata kuliahnya yang membentuk cara berfikir dan berpandangan dalam Islam itu bermetode model Barat, yaitu memahami Islam tetapi metodenya sosiologi agama dan antropologi agama. Yaitu agama itu hanya dianggap sebagai fenomena social, gejala yang terjadi di masyarakat. Maka kalau sudah menampilkan gejala-gejala social yang ada ya sudah. Tidak ada perujukan kepada dalil dan cara pemahaman dalil yang benar yaitu mengikuti pemahaman salaful ummah (generasi sahabat Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam). Akibatnya, semua aliran yang sesat pun dianggap sah-sah saja, dan tidak perlu dinilai sesatnya. Ini jelas manhaj (system pemahaman) yang tidak Islami, bahkan melindungi kesesatan serta kekafiran, dan menimbulkan pendapat yang kufur, bahkan lebih dari itu adalah menumbuhkan generasi yang pemahamannya kafir.  

Maka wajib ditinjau kembali kurikulum yang telah merusak cara pemahaman Islam itu, dan telah membuahkan doktor-doktor yang merusak Islam itu.